Opini

Bangsa Indonesia Sakit Parah

Oleh: Guruh Sukarnoputra

Membaca judul tersebut di atas, mungkin ada di antara pembaca yang berpendapat bahwa penulis mengada-ada, atau membesar-besarkan, melebih-lebihkan (exaggerate) dari apa yang ada. Seolah-olah keadaan Indonesia begitu mengkhawatirkan, gawat darurat, siaga satu.

Padahal Negara dan bangsa keadaan sehar-harinya dirasa biasa-biasa saja, nggak gitu-gitu amat, kata bahasa gaul.

Tulisan ini hasil dari renungan bersama dalam diskusi rutin bulanan saya dengan teman-teman mahasiswa setiap akhir bulan dalam satu wadah kelompok diskusi yang bernama Sriwijaya26 lesehan di samping rumah saya di Jl. Sriwijaya Raya no 26.

Marilah kita menganalogikan Negara dan bangsa Indonesia dengan raga dan jiwa manusia. Negara adalah rasa, jasmani atau tubuh (badan). Bangsa adalah jiwa, ruh atau karakter (watak).

Bagaimana keadaan raga dan jiwa kita bila sedang sakit?. Tentu rasanya menjadi tidak nyaman, tidak enak. Ingat ungkapan “sedang tidak enak badan?” ingat juga hubungannya dengan pepatah kuno “mensana in corporesano” di dalam tubu yang sehat terdapat jiwa yang kuat.

Analogi Virus

Nah, keadaan yang rasanya seperti itu biasa-biasa saja itu, persis seperti keadaan tubuh kita jika kemasukan virus. Pada mulanya seperti biasa-biasa saja. Itu tandanya si virus perlu waktu dan sedang berinkubasi. Masa inkubasi bisa cepat bisa lambat, bisa dalam tempo singkat, bisa lama.

Sampai beberapa waktu, lalu mulai timbul tanda-tanda (indikasi) dan gejala-gejala (symptom). Dan seterusnya sehingga yang punya badan kemudian merasa tidak enak badan atau sakit. Sakit ada yang mudah disembumbuhkan, tapi ada yang sampai berakibat fatal.

Baca juga :   Media Punya Peran Strategis Dukung Pembangunan KEK di Batam

Semakin parah sakit, semakin sulit disembuhkan, apalagi jika sudah terjadi komplikasi. Terkadang ada penyakit yang mudah terasa sembuh, tetapi faktanya yang sembuh adalah gejalanya, bukan penyakit yang sesungguhnya. Karena, sifat virusnya yang laten, misalnya virus hepatitis. Demikianlah uraian ibarat untuk direnungkan, analogi antara raga dan jiwa dengan Negara dan bangsa.

Sakit Parah

Sudah barang tentu, setiap manusia menginginkan jiwa-raganya sehat. Semua manusia ingin hidup sehat lahir batin. Demikian pula dengan keadaan tanah airnya, karena setiap manusia itu merupakan warga suatu masyarakat, maka mereka menginginkan keadaan tanah airnya yang telah berbentuk menjadi Negara, keadaan harus selalu baik dan sehat.

Negara kebangsaan republik Indonesia adalah tempat rakyat Indonesia hidup dan bertahan hidup (survive), jadi tentulah rakyat Indonesia menghendaki Negaranya sehat, baik, maju dan berjaya sepanjang masa.

Tidak sehat atau sakit merupakan sesuatu keadaan yang tidak menyenangkan. Sekali lagi pengertian sakit adalah terjadinya keadaan yang tidak nyaman akibat adanya sesuatu (organ) yang tidak beres, tidak berjalan atau fungsinya dengan baik, apakah itu kelumpuhan, kemecetan atau bahkan kematian (gagal).

Di dalam tubuh atau jiwa jika banyak terjadi eror atau kegagalan maka inilah yang disebut sakit parah. Jika itu barang (benda tak bernyawa) maka disebut rusak. Jika sering terjadi kerusakan atau kerusakannya parah di sana-sini maka lazim disebut bobrok.

Dalam keadaan ini sepatutnya tidaklah diambil tindakan yang parsial, gali lobang tutup lubang.

Seyogyanya harus diambil tindakan segera (gawat darurat) yang sasarannya sumber. Kalau perlu dapat diambil tindakan drastis.

Baca juga :   Putu Supadma: EVP 2024 Momentum Naikkan Indeks Demokrasi Indonesia

Dalam ilmu kedokteran misalnya tindakan seperti amputasi, tranplatansi, anastesi, tranfusi, shock therapy dan lain-lain. Dengan catatan: semuanya harus dilaksanakan secara seksama, konseptual dan terencana.

Progresif Revolusioner

Berkenaan dengan masalah negara dan bangsa yang sedang sakit, penanggulangannya dengan satu jalan yaitu: revolusi! Revolusi dengan tindakan yang progresif revolusioner. Revolusi yang berpedoman pada asas, terkonsep dan terencana. Bukan hanya sekadar spontanitas ngawur atau revolusi atas suatu rekayasa pragmatikal yang adalah selalu jadinya bersifat retrogresif destruktif.

Harus diingat bahwa meletusnya revolusi tidak dapat dibikin-bikin baik oleh seseorang maupun kelompok. Revolusi itu adalah akibat dari sebuah keadaan dalam masyarakat, yang ibaratnya seorang ibu hamil. Kehamilan itu bisa dibikin, dibikin-bikin atau direkayasa.

Tetapi kelahiran si jabang bayi dapat direkayasa melalui operasi Caesar, namun syarat mutlaknya hal “kematangan” si janin. Saat meletusnya revolusi selalu melalui suatu proses (keadaan) dari mentah ke matang.

Tafsir Revolusi

Revolusi seringkali menjadi kata yang menakutkan bagi banyak orang yang tidak dekat mengenalnya. Revolusi sering sekali dipandang sebuah gerakan berdarah yang membutuhkan banyak korban.

Padahal bukanlah demikian. Revolusi bisa diartikan sebuah cara yang dipergunakan untuk melakukan perubahan secara seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.

Dalam perjalanan sejarah, revolusi terbukti memberikan banyak perubahan positif dalam tatanan masyarakat, termasuk masyarakat Indonesia.

Belajar dari Sejarah

Sebelum revolusi yang digerakkan para pendiri bangsa, masyarakat Indonesia masih banyak yang belum bisa membayangkan dan mungkin belum pernah membayangkan sama sekali apa saja arti dan dampak sebuah revolusi.

Baca juga :   Gelar Seminar Strategi Layanan Informasi di Era Global, Perpustakaan DPR Perkuat Kolaborasi di Kancah Internasional

Mereka juga mungkin membayangkan bahwa sudah tidak diperlukan sebuah perubahan dalam kehidupan mereka, walaupun pada hakikatnya mereka dijajah.

Di tengah masa kolonialisme yang panjang, penjajahan bahkan dianggap sebagai sebuah takdir yang harus diterima. Toh, walaupun penjajahan terjadi, kehidupan masih tetap berlangsung, begitu kira-kira sesuatu yang dipikirkan. Petani masih bisa bercocok tanam, nelayan masih bisa melaut, walaupun semuanya dengan penuh keterbatasan.

Hasil bumi yang diambil oleh para pejajah dianggap sebuah kewajaran karena mereka adalah penguasa, dan kita adalah rakyat yang patut menghamba.

Eksploitasi akan kekayaan kita yang dilakukan penjajah dianggap sebagai sebuah kewajaran. Perjuangan yang dilakukan para pejuang dianggap sebagai sebuah pemberontakan.

Pemahaman masyarakat pada masa kolonialisme telah dan harus mengikuti alur pemikiran dan logika para penjajah. Hukum yang “ditegakkan” kaum kolonialis dianggap sebuah supremasi yang harus dijunjung tinggi.

Sehingga orang yang berjuang dengan keputusan pengadilan layak dianggap pemberontak dan penjahat yang pantas untuk dihukum penjara atau dibuang ke daerah-daerah terpencil.

Jika bagi sejumlah masyarakat hal ini dianggap sebagai sebuah kewajaran, namun bagi para pejuang hal ini adalah sebuah ketidakadilan dan merendahkan nilai-nilai kemanusian.

Pun dalam kondisi sekaang, saat Indonesia dalam kondisi sakit parah tidak ada jawaban lain, tidak ada cara lain untuk memperbaikinya. Reformasi, bukanlah jawabannya, revolusi adalah jawabannya, keadaan Indonesia sekarang haruslah diubah dengan jalan revolusi Indonesia yaitu revolusi yang hanya bisa dilakukan oleh kaum progresif revolusioner.  

What's your reaction?

Related Posts

1 of 140