HeadlineOpini

Mewujudkan Hakikat Lumbung Pangan (Food Estate) Indonesia

Oleh : Maha Pandita Utama Suhadi Sendjaja
(Ketua Umum Parisadha Buddha Dharma Niciren Syosyu Indonesia (NSI)

Makan adalah aktivitas pokok yang dilakukan oleh semua makhluk untuk mempertahankan kehidupannya. Makhluk hidup pada umumnya menggunakan cara berburu dan mengumpulkan makanan untuk memenuhi kebutuhan makannya sehari-hari, cara tersebut pun digunakan oleh manusia pada zaman purba.

Namun seiring berjalannya waktu, manusia menggunakan akal pikirannya yang tidak dimiliki oleh makhluk hidup lain, mereka berkontemplasi, berinovasi secara kreatif dan sadar untuk mempertahankan hidupnya, mulailah mereka menemukan cara bercocok tanam, beternak, mengembangbiakkan hewan-hewan yang bisa dijadikan sumber makanan.

Inovasi dalam hal tersebut terus dikembangkan untuk bisa memenuhi kebutuhan makanan umat manusia yang jumlah populasinya semakin banyak, pada Tahun 2024, menurut data perserikatan bangsa-bangsa, jumlah penduduk dunia sudah mencapai 8 Miliar jiwa.

Indonesia dengan jumlah penduduk 278,69 juta jiwa menurut data Badan Pusat Statistik tahun 2023 pun perlu memikirkan cara untuk bisa memenuhi kebutuhan makan penduduknya, maka pada tahun 2020 pemerintah Indonesia telah menyiapkan rencana antisipasi dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2020-2024, yaitu dengan membuat Program Lumbung Pangan Nasional (Food Estate).

Sekretariat Kabinet Republik Indonesia menyampaikan bahwa Food Estate ini merupakan program pemerintah yang memiliki konsep pengembangan pangan yang dilakukan secara terintegrasi mencakup pertanian, perkebunan, bahkan peternakan di suatu kawasan.

Program kebijakan ini masuk dalam salah satu Program Strategis Nasional (PSN) 2020-2024. Pengembangan kawasan food estate ditujukan sebagai perluasan lahan untuk meningkatkan cadangan pangan nasional. Sampai saat ini Food Estate telah diterapkan di 8 provinsi, yaitu, Sumatera Utara, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Tengah, Nusa Tenggara Timur, Papua, Papua Selatan.

Mengenai lumbung pangan, yang berkaitan erat dengan ketahanan pangan ini, kita perlu belajar dan mencontoh apa yang telah dilakukan oleh masyarakat suku Baduy, di Provinsi Banten, dengan kearifan lokalnya, tanpa listrik dan teknologi modern, mereka mampu mencukupi kebutuhan beras warganya dan punya cadangan, lumbung pangan sampai seratus tahun ke depan.

Masyarakat suku Baduy saling membantu dan saling memenuhi kebutuhan satu sama lain, sebagai contoh, jika ada warga yang hendak membangun rumah, maka warga lainnya turut hadir bergotong royong untuk membangunkan rumah tersebut, hasil panen dari ladang dikumpulkan di dalam sebuah lumbung pangan bersama dan digunakan sesuai dengan kebutuhan dari masing-masing warga, tidak ada yang mengambil lebih banyak, menimbun sendiri untuk kepentingan pribadi sampai mengakibatkan warga lain tidak kebagian pangan. Saat ada permasalahan di desa, mereka pun akan berkumpul, dengan dipimpin oleh kepala adat untuk bermusyawarah mufakat, agar memperoleh solusi kemaslahatan bersama.

Mereka pun sangat menjaga kelestarian alam sekitar tempat mereka tinggal, saat ingin menebang pohon, mereka tidak asal menebang, mereka memilih dulu, jika pohonnya dinilai sudah mencapai usia yang cukup, baru ditebang, dan akan menanam kembali, begitupun saat ingin membuka lahan ladang pertanian, mereka mempertimbangkan aspek-aspek ekologis agar lingkungan tempat tinggal mereka bisa tetap lestari.

Mereka meleburkan diri dengan alam semesta, menjadi bagian yang manunggal dengan semesta tempat ia hidup, mereka memiliki pemikiran, jika lingkungan rusak, hancur, maka dirinya pun akan rusak, hancur, jika mereka menjaga alam/lingkungan, maka lingkungan/alam pun akan turut menjaga mereka.

Masyarakat suku baduy memiliki prinsip hidup “Gunung teu meunang dilebur; lebak teu meunang diruksak; pendek teu meunang disambung; lojong teu meunang dipotong”, (Gunung tidak boleh dihancurkan; Lebak/ tempat air yang tergenang dan di dalamnya terdapat lumpur yang dalam tidak boleh dirusak; pendek tidak boleh disambung; panjang tidak boleh dipotong), prinsip hidup ini menggambarkan betapa mendalamnya hati masyarakat baduy untuk hidup manunggal dengan alam semesta, dan membiarkan alam semesta tetap berjalan sesuai iramanya.

Dari hal tersebut, kita dapat melihat bahwa Masyarakat Baduy betul-betul mewujudkan nilai luhur dari bangsa Indonesia, Gotong Royong, dan seluruh sila Pancasila dalam kehidupan sehari-hari, yang nampaknya mulai luntur di kalangan masyarakat Indonesia pada umumnya saat ini.

Jika dipandang secara logis, dengan kemajuan teknologi modern dari hasil inovasi manusia, seharusnya Pemerintah Indonesia dan perguruan tinggi dengan teknologi dan sistem manajemen modern, dapat lebih baik dari suku Baduy dalam mewujudkan swasembada pangan, memenuhi kebutuhan pangan warganya, namun demikian fakta di lapangan malah sebaliknya, masih banyak terjadi kelangkaan pangan yang mengakibatkan harga pangan menjadi mahal, dan masyarakat sulit mendapatkannya, antre untuk sekadar bisa membeli kebutuhan pangannya.

Kita ambil contoh, dalam rapat kerja Menteri Perdagangan Republik Indonesia dengan Komisi VI DPR RI disampaikan bahwa harga beras pada bulan Desember 2023 Rp55.000 per 5Kg di pasar bahkan sempat mencapai Rp 100.000 per 5Kg, dan terjadi antrean panjang di pasar untuk sekadar membeli beras.

Pada 16 Maret 2024 ini, berdasarkan panel harga pangan Badan Pangan Nasional (Bapanas) rata-rata harga beras kualitas premium, Rp16.750 per Kg atau seharga Rp83.750 per 5 Kg, sedangkan harga beras kualitas medium Rp14.280 per Kg, atau seharga Rp71.400 per 5 Kg, padahal impor beras saat ini merupakan yang tertinggi selama 25 tahun terakhir, yaitu sebanyak 3,5 juta ton, impor tinggi, tetapi harga berasnya tetap mahal, impor tinggi seharusnya bisa menstabilisasi harga beras di dalam negeri, faktanya beras tetap langka dan mahal berarti masih ada masalah di tengah masyarakat.

Melihat fakta tersebut, kita menjadi bertanya, dimana nilai Gotong Royong dan Pancasila yang merupakan filosofi hidup, nilai-nilai luhur bangsa Indonesia? Di mana negara yang dibanggakan sebagai ‘gemah ripah loh jinawi toto tentrem kerto raharjo’ (kondisi masyarakat yang subur makmur, dengan keadaan wilayah yang tertib, tentram, sejahtera, serta berkecukupan segala sesuatunya)? Oleh karena itu perlu kesadaran kolektif dari seluruh lapisan masyarakat, untuk kembali dan benar-benar menghidupkan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia tersebut, seperti halnya masyarakat suku Baduy yang benar-benar hidup dengan bergotong royong dan Pancasila di dalam masyarakatnya.

Hal ini sesungguhnya dapat dimulai dari membangun Kabupaten-kabupaten di seluruh Indonesia yang swasembada pangan, tidak hanya terbatas di 8 Provinsi saja, tetapi seluruh Bupati harus menjadi kepala daerah yang mampu swasembada pangan bagi kabupatennya sendiri, membuat lumbung-lumbung pangannya sendiri, karena lahan-lahan pertanian, peternakan, perikanan terdapat di kabupaten, kemudian kabupaten dapat memenuhi kebutuhan kota-kota yang ada di Indonesia, bergotong royong mewujudkan ketahanan pangan Indonesia.

Jika kita bersatu hati untuk mewujudkan tujuan luhur, Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia, kembali ke hakikat alam semesta yang maitri (memberi kebahagiaan kepada makhluk hidup) karuna (menghilangkan penderitaan), mewujudkan hakikat Lumbung Pangan (Food Estate), layaknya masyarakat suku Baduy, niscaya Indonesia mampu memiliki Ketahanan Pangan yang kuat.

What's your reaction?

Related Posts

1 of 727

Leave A Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *