Info KlikersKlik NewsSosial Budaya

Dosen UNU NTB Teliti Perang Topat, Susun Model Moderasi Antar Umat Beragama

MataramTertarik dengan fenomena Perang Topat yang dilaksanakan setiap tahun di Pura Lingsar, Kabupaten Lombok Barat, Dewi Puspita Ningsih,M.Pd. dosen Program Studi Pendidikan Sosiologi Universitas Nahdlatul Ulama Nusa Tenggara Barat (UNU NTB) mencoba meneliti praktik moderasi antar umat beragama yang ada di Lingsar untuk disusun sebagai model moderasi antar umat beragama, Jum’at (28/07/2023).

Menurut Dewi, penelitian mengenai Perang Topat sendiri sudah banyak dilakukan oleh kalangan akademisi. Berbagai sudut pandang seperti halnya komunikasi, fungsi, dan aspek nilai dari fenomena ritus tahunan itu sudah banyak dijumpai di berbagai publikasi jurnal. Akan tetapi menurutnya, ia belum menjumpai upaya untuk memformulasikannya sebagai sebuah model moderasi antar umat beragama.

Photo: Dewi Puspita Ningsih,M.Pd. Dosen Prodi Pendidikan Sosiologi UNU NTB, Ketua Tim Peneliti Penyusunan Model Moderasi Antar Umat Beragama

“Sampai sejauh ini memang banyak kajian-kajian yang membahas Perang Topat, tapi saya belum melihat adanya upaya untuk memformulasikannya sebagai salah satu model moderasi antar umat beragama. Karena kita tahu bahwa dalam tradisi atau ritus itu, Perang Topat melibatkan dua komunitas umat beragama, yaitu umat Hindu dan masyarakat Islam Wetu Telu.” Ungkap Dewi saat dijumpai di kampus UNU NTB Jl. Pendidikan No. 6 Mataram, NTB (28/07)

Baca juga :   Cucurak: Tradisi Berbagi dan Kebahagiaan dalam Menyambut Bulan Suci Ramadan di Bogor

Tujuan dari pembuatan model ini, adalah untuk menyuarakan praktik baik yang dilakukan masyarakat Lingsar dalam mensikapi adanya perbedaan. Hal itu ditujukan agar masyarakat dunia mengenali, mengetahui, dan dapat mencontoh bagaimana menjaga kerukunan di tengah perbedaan dan adanya kepentingan antar kelompok.

“Apa yang sudah dilakukan masyarakat Lingsar hari ini, merupakan bentuk kearifan lokal yang kita patut bangga dan bersyukur. Dan tentu saja hal ini harus diketahui oleh masyarakat luas, atau bahkan masyarakat dunia. Terlebih lagi, saat ini marak terjadi konflik antar umat beragama seperti yang terjadi di India dan China misalnya.” Jelas Dewi

Photo: Dewi Puspita Ningsih,M.Pd. bersama Tim melakukan kunjungan ke kantor Desa Lingsar, Kecamatan Lingsar, Kabupaten Lombok Barat (dokumentasi: klikers.id)

Di dalam pelaksanaannya Dewi selaku ketua peneliti akan dibantu oleh Gde Agus Mega Saputra,S.Sn.,M.Sn. seorang dosen di Program Studi Seni Drama Tari dan Musik UNU NTB dan Nurtikawati,S.Sn.,M.Hum. seorang dosen jurusan Tradisi Lisan di Universitas Haluoleo, Kendari, Sulawesi Tenggara.

Baca juga :   Menyongsong Ramadhan 2024: Antusiasme, Tradisi, dan Tren Digital dalam Persiapan Menyambut Bulan Suci

“Di dalam penelitian ini, saya dibantu oleh Bapak Gde Agus salah seorang dosen Sendratasik di UNU NTB yang kebetulan juga beragama Hindu. Dan Ibu Nurtikawati salah seorang dosen dari Universitas Haluoleo Kendari.” Lanjut Dewi memperkenalkan timnya

Komposisi tim ini dinilai Dewi tepat untuk dapat melihat tradisi Perang Topat dari berbagai sudut pandang.

“Tim ini saya pikir cukup dan tepat, untuk dapat melihat keberadaan Perang Topat secara obyektif dari berbagai sudut pandang. Kebetulan ada Pak Agus yang akan dapat melihat fenomena itu melalui kacamata pelaku yang beragama Hindu, saya sendiri sebagai muslim, dan Ibu Nurtikawati yang akan menjadi bagian dari orang luar dalam membaca fenomena ini secara bersama-sama.” Jelasnya

Perang Topat adalah tradisi budaya masyarakat Lombok yang dilaksanakan setiap tahun di Wilayah Lingsar, Kabupaten Lombok Barat.  Tradisi perang topat ini merupakan warisan leluhur yang mengajarkan masyarakat untuk menghargai perbedaan dan bersikap toleransi. Perang ini merupakan wujud atau symbol perdamaian antara umat Hindu dan Muslim di Lombok.

Baca juga :   Tradisi Nyadran: Ungkapan Syukur dan Pemeliharaan Warisan Budaya di Desa Balongdowo, Sidoarjo

Perang dilakukan dengan saling melempar ketupat antara masyarakat Muslim dan Hindu. Ketupat itu kemudian saling diperebutkan, untuk dibawa pulang masyarakat karena diyakini akan dapat membawa kesuburan dan panen yang berlimpah mengingat mayoritas masyarakat di Lingsar memiliki mata pencaharian sebagai petani.

What's your reaction?

Related Posts

1 of 3,758

Leave A Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *