BloggerInfo KlikersKlik NewsOpiniSosial BudayaThinker

Perjalanan Islam Menuju Pribumisasi dan Kondisi Jiwa Umat Manusia dalam Tantangan Modern

Dalam perjalanan sejarah yang panjang, Islam telah menjadi pilar kehidupan bagi masyarakat di berbagai penjuru dunia. Pertanyaannya pun muncul, sudahkah Islam benar-benar membumi dan memberikan kontribusi positif secara menyeluruh?

Apakah Islam Sudah Benar-benar Membumi?

Siti Fatimah menyampaikan dalam tulisannya berjudul “Menuju Pribumisasi Islam: Gagasan dan Strategi” dalam buku “Pesantren Masa Depan: Wacana Pemberdayaan dan Transformasi Pesantren” bahwa pertanyaan ini dapat dijawab dengan seksama memerhatikan fenomena-fenomena yang terjadi. Secara jujur, jawaban yang tepat adalah bahwa Islam memang sudah tersebar luas namun belum merata baik secara teritorial, sistem, maupun kondisi jiwa.

Merata secara teritorial mengacu pada kenyataan bahwa Islam telah tumbuh subur di seluruh dunia, namun masih banyak tempat yang belum tersentuh oleh ajaran Islam. Merata secara sistem berarti bahwa prinsip-prinsip Islam seharusnya tercermin dalam setiap aspek kehidupan, termasuk dalam sistem pemerintahan. Ketika Islam menjadi bagian dari sistem pemerintahan, seharusnya tercipta pemerintahan yang adil, jujur, bersih, dan berwibawa.

Baca juga :   Keunikan Islam dalam Kebudayaan Jawa: Memelihara Harmoni dan Kekayaan Budaya

Sementara itu, merata dalam kondisi jiwa mengacu pada perubahan yang terjadi pada jiwa individu yang menerima dan mengamalkan ajaran Islam. Jiwa yang telah disentuh oleh Islam akan menjadi lebih tenang dan tentram, sehingga individu tersebut mampu memiliki pemahaman yang lebih tajam dalam membedakan antara yang benar dan yang salah.

Apakah Jiwa Umat Manusia Semakin Menjauh dari Ajaran Islam?

Dalam skala pengamatan kasar, terlihat bahwa hanya sebagian kecil umat manusia yang tetap kokoh berpegang pada nilai-nilai Islam, sementara yang lainnya semakin menjauh dan terpaku pada dunia materi. Faktor-faktor yang menyebabkan hal ini kompleks, salah satunya adalah kelalaian manusia dalam urusan agama dan dunia, yang sering kali terjebak dalam kesibukan dan godaan dunia.

Di samping itu, pengaruh pemikiran Barat yang cenderung antroposentris juga turut memainkan peran dalam menjauhkan manusia dari akar spiritualnya. Pandangan yang menempatkan manusia sebagai pusat segalanya, seringkali membuat manusia melupakan kodratnya sebagai makhluk yang lemah dan bergantung pada Sang Pencipta. Pemikiran ini sering kali mendewakan materi dan kemampuan akal manusia, sehingga jiwa umat manusia semakin menjauh dari nilai-nilai spiritual yang sejati.

Baca juga :   Cucurak: Tradisi Berbagi dan Kebahagiaan dalam Menyambut Bulan Suci Ramadan di Bogor

Seyyed Hossein Nasr, seorang tokoh sufi modern, mengomentari bahwa meskipun terdapat manfaat dari perkembangan pemikiran dan budaya modern Barat, namun manfaat tersebut lebih condong pada kebutuhan jasmani dan dunia. Hal ini memunculkan kecenderungan di mana dunia materi menjadi tujuan utama hidup, mengabaikan pesan-pesan agama dan asal kejadian manusia.

Dampak buruk dari mendewakan pemikiran yang berlebihan ini adalah manusia terjebak dalam kebingungan dan kekosongan batin. Namun, dalam kegelapan itu, masih ada yang tertatih-tatih menuju kerinduan jiwanya pada kedamaian sejati. Hal ini menunjukkan bahwa, pada hakikatnya, keberadaan Tuhan adalah kekal dan abadi, dan pada saat yang tepat, kerinduan itu akan muncul kembali.

Seperti ibarat burung yang terbang jauh meninggalkan sarangnya, suatu hari nanti mereka akan merindukan kandangnya. Begitu juga dengan manusia, sejauh apapun ia melupakan kodratnya, suatu hari nanti ia akan kembali kepada akar spiritualnya ketika menemui jalan buntu dalam hidupnya.

What's your reaction?

Related Posts

1 of 3,877

Leave A Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *