Special Klik

Mengenal Mubeng Beteng, Tradisi Masyarakat Yogyakarta Menyambut Tahun Baru Hijriyah

Keraton Yogyakarta Hadiningrat biasa menyambut tahun baru Hijriyah dengan melakukan ritual perjalanan mengitari benteng keraton.Tradisi itu dikenal dengan Mubeng Beteng.

Namun, karena faktor pandemi Covid-19 tradisi Mubeng Beteng itu ditiadakan.

“Dengan ini kami informasikan bahwa agenda Hajad Kawula Dalem Mubeng Beteng memperingati Tahun Baru 1 Sura Alip 1955/ 1 Muharram 1433 H ditiadakan,” kata Penghageng Kawedanan Hageng Panitrapura Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, GKR Condrokirono.

Peniadaan Mubeng Beteng ini merupakan kali kedua. Tahun lalu, dengan alasan yang sama, Mubeng Beteng ditiadakan.

Asal Mula

Mubeng Beteng  dikatakan merupakan tradisi Jawa-Islam yang dimulai ketika Kerajaan Mataram (Kotagede) membangun benteng mengelilingi keraton. Benteng itu selesai dibangun pada tanggal 1 Suro 1580 dan para prajurit rutin berkeliling benteng untuk mengamankan keraton.

Dalam catatan di suaramuhammadiyah.id, Ashad Kusuma Jaya mengungkapkan ada dua tradisi Mubeng Beteng di Yogyakarta.

Pertama, mubeng beteng malam satu suro menyambut tahun baru; dan kedua, Mubeng Beteng untuk mengarak Kyai Tunggul Wulung bendera pusaka Keraton Yogyakarta yang bertuliskan lafadz syahadat, surah Al-Kuatsar, asmaul husna dan ornamen pedang zulfikar Ali bin Abu Thalib.

Baca juga :   DPR RI Dorong Dibentuknya Komisi Perempuan di APA

Ashad menjelaskan Mubeng Beteng mengarak Kyai Tunggul Wulung hanya dilakukan jika ada pageblug atau suatu wabah penyakit yang menimpa banyak penduduk di wilayah Keraton Yogyakarta.

Mengutip Majalah Mekar Sari nomor XIX Juni 1967, Ashad menyatakan pada tahun 1919 Keraton Yogyakarta mengarak bendera pusaka Kyai Tunggul Wulung mengelilingi benteng keraton di saat berjangkitnya wabah penyakit influenza.

“Kanjeng Kiai Tunggal Wulung ini bahannya dari bekas kiswah atau kain penutup Kabah di Makkah yang didapatkan Sultan Hamengkubuwono I pada tahun 1784 Masehi,” tulis Ashad.

Ia menegaskan soal bendera pusaka milik Kasultanan berwarna wulung (ungu kehitaman) dari kiswah ini pernah disampaikan Sri Sultan Hamengku Buwono X pada Pembukaan Kongres Umat Islam Indonesia VI 2015 (KUII-VI 2015) di Yogyakarta.

Pelaksanaan

Ashad menuliskan dalam catatannya itu, upacara Mubeng Beteng sudah dilakukan sejak maghrib, yaitu saat pergantian hari dalam penanggalan Jawa / Hijriyah

Di waktu itu, beberapa abdi dalem sudah berada di Masjid Kagungan ndalem untuk menjalankan shalat dan memanjatkan doa hingga waktu shalat isya. Hal itu dilakukan untuk memohon agar kegiatan Mubeng Beteng dapat berjalan lancar.

Baca juga :   Kurangi Angka Stunting dan Kematian Ibu, Komisi VIII Komitmen Selesaikan RUU KIA

Sementara itu, sebagian lainnya menyiapkan uba rampe berbagai hal yang akan digunakan untuk prosesi selanjutnya.

Selesai isya sekitar pukul 20.00 WIB, acara dilakukan di Bangsal Pancaniti dengan mendengarkan uraian bacaan kitab suci Al-Qur’an dalam wujud tembang macapat, yang sebelumnya dimulai dengan membaca tahlil.

Hingga tengah malam baru kemudian acara Mubeng Beteng menyambut tahun baru Jawa / hijriyah dilakukan.

Napak Tilas Hijrah Nabi

Dalam sebuah catatan yang dimuat di blog pribadi dosen sejarah IAIN Manado, Rusdiyanto, tradisi Mubeng Beteng pada malam tahun baru Hijriyah merupakan cara orang-orang Jawa, khususnya Yogyakarta, menapaktilasi peristiwa hijrah Nabi Muhammad SAW.

Dalam peristiwa hijrah itu, diceritakan bahwa Muhammad SAW harus berjalan dari Makkah ke Madinah yang berjarak sekitar 600 KM, tanpa alas kaki, dan tanpa bekal yang mencukupi.

Bisa dibayangkan bagaimana beratnya peristiwa hijrah yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW. Keringat mengucur, kaki berlumur darah, namun ia tetap kuat memacu langkah.

Baca juga :   Efek Pengganda Pembangunan Infrastruktur Belum Berdampak pada Sektor SDM di Kulon Progo

Diceritakan dalam catatan itu pula, perjalanan Nabi Muhammad SAW dalam peristiwa hijrah itu dilakukan tanpa berkata-kata dan bersuara. Hal itu meminimalkan jejak untuk menghindari kejaran orang-orang Quraisy.

Dalam masyarakat Jawa, khususnya Yogyakarta, peristiwa itu dihayati dalam tradisi Mubeng Beteng.

Para peserta Mubeng Beteng ini tidak sekedar berjalan mengelilingi benteng keraton, tetapi ia harus menanggalkan alas kaki. Hal ini dimaksudkan agar peserta ikut merasakan pedihnya peristiwa hijrah Nabi.

Selain itu, para pelaku Mubeng Beteng tidak diperkenankan berkata-kata, sebagaimana yang dilakukan Nabi saat hijrah. Dalam tradisi Mubeng Beteng hal itu dikenal dengan istilah Tapa Bisu.

Penghayatan akan pedihnya peristiwa hijrah itu tidak selesai dengan Mubeng Beteng. Sepanjang bulan Muharram atau Suro dalam penanggalan Jawa, ada pantangan untuk bersenang-senang.

Oleh karena itu, jarang sekali ditemukan dalam masyarakat Jawa, ada pesta di bulan Muharram atau Suro. Hal itu tidak lain dan tidak bukan adalah dalam rangka menghormati pedihnya peristiwa hijrah Nabi Muhammad SAW.

Peneliti, Penulis, Penikmat Bola

What's your reaction?

Related Posts

1 of 556