HeadlineOpini

Memahami Islam Dalam Sifatnya yang Absolut dan Relatif

Islam adalah agama yang ajarannya diwahyukan Allah kepada Nabi Muhammad SAW, dengan perantaraan Jibril. Yang dimaksud wahyu di sini adalah al-Qur’an dan teks Arabnya.

Oleh: Fuad Mahbub Siraj, Ph.D

Dosen Filsafat dan Agama Universitas Paramadina

Ini berarti, teks Arab wahyu bukanlah berasal atau pilihan dari Nabi, melainkan seutuhnya dari Allah, yang disebut dengan Kalâm Allah. Oleh karena itu, teks Arab al-Qur’an bila diganti dengan teks Arab sinonimnya atau diubah susunan katanya, atau diterjemahkan ke dalam bahasa lain, maka teks Arab pengganti dan perubahan susunan kata tersebut, juga terjemahannya bukanlah wahyu yang bersifat absolut, melainkan adalah penafsiran dan hasil pemikiran manusia yang bersifat relatif.

Dengan kata lain, penafsiran dan terjemahannya itu tidak mengikat manusia, sedangkan wahyu dalam teks Arab itulah yang mengikat bagi manusia.

Berbeda dengan sifat dasar al-Qur’an sebagai sumber pertama dari ajaran Islam, hadis sebagai sumber kedua bukanlah wahyu dalam arti di atas.

Hadis pada umumnya mengandung ucapan-ucapan, perbuatan-perbuatan dan ketetapan-ketetapan Nabi. Beliau terpelihara dari kesalahan dan menjadi ma’shûm.

Dengan kata lain, apabila ada ucapan, perbuatan dan ketetapan Nabi yang salah, ia langsung mendapat teguran dari Allah. Kalau tidak mendapat teguran, berarti ucapan, perbuatan dan ketetapan beliau itu benar. Ia (hadis) pada dasarnya berfungsi sebagai penjelas tentang isi al-Qur’an.

Adapun hadis yang sama kuatnya dengan al-Qur’an dalam keabsolutan dan kebenaran mutlaknya adalah Hadis Mutawatir, yang jumlahnya sangat sedikit.

Perlu dijelaskan, bahwa tidak seluruh ayat-ayat al-Qur’an yang mengandung ajaran yang mengatur kehidupan manusia di dunia dan akhirat. Menurut perkiraan dalam buku ‘Ilm Ushûl al-Fiqh lebih kurang 500 ayat atau 8% dari seluruh ayat al-Qur’an yang berisikan ajaran tentang akidah, ibadah dan hidup kemasyarakatan.

Baca juga :   Mengapa Hukum Surgawi Ditetapkan? Temukan Jawabannya dalam Empat Tujuan Utamanya

Sementara, ayat yang dimaksud hanya sebanyak 200 ayat. Perbedaan ini hanya terletak dalam menetapkan ayat ahkâm dan tidaknya.

Adapun ayat-ayat sebagaimana disebutkan di atas hanya datang dalam bentuk prinsip-prinsip pokok dan garis-garis besar saja tanpa penjelasan lebih lanjut tentang maksud, rincian dan cara pelaksanaannya.

Ternyata bentuk-bentuk ayat seperti ini serasi dengan kedinamisan manusia. Manusia bersifat dinamis yang selalu mengalami perubahan dan berkembang menurut kemajuan zaman.

Sekiranya ayat-ayat absolut dimaksud berjumlah banyak dan terinci, maka dinamika masyarakat yang diatur sistem tersebut akan menjadi terhambat. Karena itu, amat tepat soal-soal hidup kemasyarakatan atau soal-soal hidup keduniaan diserahkan Tuhan kepada akal manusia untuk mengaturnya.

Kendati demikian, tidak berarti Islam yang dipahami sebagai agama yang memiliki totalitas, — dalam pengertian meliputi seluruh aspek kehidupan manusia — tidak mengandung sistem-sistem, seperti sistem keuangan Islam, sistem ekonomi Islam, pemerintahan Islam dan lain sebagainya.

Akan tetapi, sistem-sistem tersebut dipahami oleh akal manusia dari ayat-ayat al-Qur’an yang datang dalam bentuk prinsip-prinsip dasar saja. Perlu dikemukakan bahwa al-Qur’an tidak memerintahkan membentuk sistem tertentu dari sistem-sistem di atas dan al-Qur’an hanya menawarkan prinsip-prinsip pokok saja.

Karena itu, bentuk sistem apa saja yang dilahirkan akal manusia selama ia sesuai dengan prinsip-prinsip al-Qur’an, maka ia dapat dikatakan Islami.

Ijtihad Para Mujtahid

Berdasarkan uraian di atas, dapat dipahami bahwa sistem-sistem di atas merupakan hasil pemikiran manusia dan karenanya ia dapat berubah dan diubah. Hanya dalam perubahan tersebut yang tidak boleh diubah dan berubah ialah prinsip-prinsip dasar (ayat) yang tercantum dalam al-Qur’an.

Baca juga :   Keunikan Islam dalam Kebudayaan Jawa: Memelihara Harmoni dan Kekayaan Budaya

Ayat-ayat serupa inilah yang menjadi pegangan umat Islam sejak periode Rasulullah SAW, sampai sekarang bahkan sampai akhir zaman.

Pada masa Rasulullah masih hidup, apabila ada masalah baru, atau sesuatu yang belum ada kejelasannya dalam al-Qur’an, maka pada sahabat langsung bertanya kepada Rasulullah dan oleh Rasulullah ada di antaranya dijawab secara langsung dan ada pula ia menyuruh salah seorang dari sahabat memutuskan sesuatu perkara dengan berijtihad di hadapannya.

Dengan cara demikian, maka persoalan-persoalan pada masa itu dapat diselesaikan secara baik.

Pada periode sahabat, daerah yang dikuasai Islam bertambah luas, sedangkan masalah-masalah baru yang dihadapi semakin banyak pula, maka timbullah penafsiran-penafsiran dan penjelasan-penjelasan tentang ajaran Islam yang juga berasal dari ajaran-ajaran dasar tersebut.

Hasil penafsiran atau ijtihad para sahabat ini, walaupun tidak ma’shûm seperti Nabi, namun ia banyak membawa pengaruh pada zaman sekarang.

Pada masa ulama-ulama besar, daerah Islam sudah sangat luas, yang mencakup berbagai bangsa, kebudayaan dan adat-istiadat. Sejalan dengan luasnya daerah, maka masalah yang dihadapi semakin komplek pula.

Sementara itu, para ulama tidak pula berdiam pada satu daerah, tetapi mereka berpencar  pada daerah-daerah yang berbeda. Akibat dari itu, muncullah penafsiran-penafsiran yang banyak tentang ajaran Islam, tidak hanya berbeda antara satu sama lain, bahkan ada yang bertentangan.

Pada periode ini pula penafsiran-penafsiran dari ajaran Islam tersebut mengambil bentuk mazhab-mazhab dan aliran-aliran. Bahkan perbedaan penafsiran-penafsiran terjadi tidak hanya antar mujtahid, tetapi ia terjadi pada seorang mujtahid, seperti yang terjadi pada diri Imam Syafi’i dengan qaul qadîm dan qaul jadîd.

Dari uraian di atas dapat dilihat bahwa ijtihad para ulama tentang ajaran dasar dan prinsip-prinsip dasar yang terkandung dalam al-Qur’an terjadi sepanjang masa.

Baca juga :   Etika dalam Menuntut Ilmu: Memahami Sepuluh Prinsip Bijak dari Kiai Hasyim Asy’ari

Hasil penafsiran atau ijtihad ini kian lama kian banyak jumlahnya, bahkan jauh lebih banyak dari ayat-ayat al-Qur’an itu sendiri. Hasil ijtihad mujtahid ini, karena hasil pemikiran manusia, maka bersifat tidak absolut, tetapi relatif.

Dengan demikian dapat ditegaskan bahwa ayat-ayat al-Qur’an dapat dibagi kepada dua kelompok. Kelompok pertama, disebut ayat-ayat muhkamat, yaitu ayat-ayat yang artinya pasti sebagaimana yang diberikan teks dan tidak dapat ditafsirkan lagi.

Kelompok kedua, apa yang dinamakan dengan ayat-ayat mutasyabihat, yaitu ayat-ayat yang artinya tidak pasti dan masih dapat ditafsirkan. Dalam al-Qur’an yang terbanyak adalah ayat-ayat dalam bentuk kedua dan dari ayat bentuk kedua inilah terjadi proses perkembangan ajaran Islam dalam berbagai bidang.

Dari uraian-uraian di atas dapat disimpulkan bahwa ajaran Islam yang sebenarnya terdiri dari dua kelompok:

1. Ajaran Islam yang bersifat absolut, universal, kekal, tidak berubah dan tidak dapat diubah, sebagai terdapat dalam al-Qur’an dengan teks Arabnya dan dalam hadis Mutawatir.

2. Kelompok ajaran yang bersifat relatif, bisa berubah, bisa diubah, bahkan kadang-kadang harus diubah karena tidak cocok lagi dengan zaman. Ajaran Islam kelompok kedua ini adalah ajaran Islam hasil ijtihad dan kewenangan manusia dalam menjabarkannya.(*)

What's your reaction?

Related Posts

1 of 661

Leave A Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *