Opini

Melihat Kembali Arah Transisi Energi Indonesia

Penulis :
Hadi Priyanto (Renewable Energy Campaigner Greenpeace)

Biasanya terlihat orang-orang duduk bersila sambil merokok dan bersenda gurau saban sore di Setu Asih Pulo, Depok, Jawa Barat. Tetapi tidak pada Rabu sore, 10 Oktober lalu, saat saya singgah di sana. Danau itu tidak lagi punya ruang untuk ikan-ikan berenang dan berkembang biak. Permukaan airnya surut, hanya tanah retak yang terlihat dikelilingi rumput liar.

Tak hanya Setu Asih Pulo, banyak danau, situ maupun empang yang biasa dijadikan tempat wisata atau pemancingan warga Depok saat ini mengalami kekeringan. El Niño tahun ini memang tidak main-main.

Jika banyak tempat penampungan air yang kering begitu, ancaman selanjutnya adalah keringnya sumber air warga. Bulan ini, tukang gali pompa dekat rumah mengeluh pada saya karena kelelahan akibat kebanjiran order. Alih-alih senang karena rezeki datang, mereka yakin bahwa permintaan memperdalam sumur air hanyalah solusi sementara jika hujan tidak kunjung turun.

Musim kemarau yang lebih panjang dari biasanya dan kenaikan temperatur yang luar biasa kini memang jadi topik hangat yang dibicarakan, dari kompleks perumahan hingga media sosial. Ini menandakan bahwa banyak orang sebenarnya menyadari adanya dampak krisis iklim. Derita warga Depok juga dialami masyarakat di penjuru Indonesia, mulai dari Sumatra, Jawa, NTB, NTT hingga Sulawesi.

Bukan hanya sulitnya air bersih, kemarau panjang ini juga memicu sebagian kasus kebakaran hutan dan lahan, gagal panen hingga efek turunan lainnya yang berdampak langsung pada manusia, seperti kelaparan karena kenaikan harga bahan pangan.

Di Desa Bura Bekor, NTT, warga terpaksa membeli air seharga Rp500 ribu per tangki sebab sumber air di desa mereka habis tak bersisa. Mereka juga harus menebang pohon pisang demi memperoleh sedikit air dari pangkal pohonnya.

Di Ibu Kota, kekeringan mungkin belum menjadi persoalan utama. Namun temperatur suhu yang luar biasa panas membuat warga tidak bisa beraktivitas dengan sehat. Banyak dari mereka dilanda penyakit pernapasan, sebab kenaikan suhu juga dibarengi dengan peningkatan kualitas udara yang buruk. Kombinasi mematikan ini pada akhirnya membuat biaya kesehatan semakin membengkak.

Baca juga :   Panama, Perubahan Iklim & Perdagangan Global

Apa yang kita alami dan rasakan hari ini bukannya tanpa sebab. Sektor energi–yang tak bisa dipungkiri sangat kita butuhkan dalam keseharian–adalah penyumbang utama emisi penyebab kenaikan suhu bumi yang kita tanggung hari ini.

Dengan 73,2% emisi yang dihasilkannya, sektor energi wajib menjadi prioritas transisi demi menjawab kebutuhan energi sekaligus mengatasi masalah iklim. Sayang, Indonesia masih mengandalkan bahan bakar fosil, terutama batu bara yang porsinya sebesar 67% di akhir 2022.

Inkonsistensi Komitmen

Sudah saatnya kita mengakui bahwa apa yang terjadi saat ini adalah krisis iklim; sebuah kegentingan yang akan mengantarkan kita menuju kehancuran mutlak jika kita tidak mencegah kenaikan temperatur bumi lewat perubahan perilaku dan kebijakan.

Sebagai salah satu negara yang sudah meratifikasi Perjanjian Paris pada 2015 lalu, Indonesia berkomitmen untuk menurunkan emisi serta beralih dari energi fosil menuju energi terbarukan. Namun, ketimbang tunduk pada komitmen itu lewat usaha serius untuk menyelesaikan masalah, pemerintah terus mengeluarkan aturan-aturan yang membuat krisis semakin parah.

Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik adalah contoh bagaimana kekuasaan mencoba menipu dengan judul yang manis. Dalam aturan tersebut, Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berbahan bakar batu bara masih boleh dioperasikan untuk kepentingan industri.

Daripada memperbaiki jaringan dan memaksimalkan cadangan listrik yang berlebih (oversupply), pemerintah memilih membangun pembangkit batu bara baru yang malah menambah beban negara atas kelebihan nilai produksi listrik.

Entah bagaimana pemerintah melakukan mekanisme perhitungan penambahan kapasitas pembangkit listrik. Yang jelas, perhitungan ini selalu meleset dalam sembilan tahun terakhir. Kondisi oversupply ini memaksa kita mengubur sementara harapan untuk memiliki pembangkit listrik dari energi bersih yang mampu menurunkan emisi karbon dan menyelamatkan Indonesia dari bencana iklim.

Selain Perpres 112/2022, ada pula Rancangan Undang Undang Energi Baru Energi Terbarukan yang hampir lima tahun sudah mangkrak di legislatif. Undang-undang yang harusnya mampu mendorong akselerasi penuh untuk pembangunan energi terbarukan ini bagaikan bus bermuatan penuh yang mengarungi jalan terjal dan berliku.

Baca juga :   Autopsi Forensik Sebagai "Alat bukti Keterangan Ahli"

RUU EBT dijejali beragam kepentingan demi memperpanjang napas batu bara dan berbagai turunannya, juga Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) yang telah lama ditolak dan ditetapkan sebagai pilihan terakhir dalam Kebijakan Energi Nasional.

Jikapun kebijakannya disusun dengan baik, implementasinya seringkali terhambat, misalnya Peraturan Menteri ESDM Nomor 26 Tahun 2021 tentang Sistem PLTS Atap yang Terhubung Dengan Jaringan Pemegang IUPTLU. Meski berhasil menjabarkan penerapan pengembangan energi terbarukan yang sesuai dengan tujuan transisi energi, implementasi kebijakan ini menemui jalan buntu akibat resistensi dari perusahaan penyedia tenaga listrik terbesar di negara ini.

PLN selaku perusahaan penyedia tenaga listrik pelat merah yang menyalurkan listrik ke seluruh penjuru Indonesia seharusnya menjadi pemimpin dalam proses transisi energi, ketimbang mencegatnya dan membuat beban negara semakin besar.

Dalam Peta Jalan Net Zero Energy 2060 yang disusun oleh Ditjen EBTKE Kementerian ESDM, Indonesia berkomitmen untuk menambah bauran energi terbarukan hingga 23% pada 2025. Namun, pada kuartal kedua tahun ini, Indonesia baru bisa mencapai 11,4%. Artinya, Indonesia butuh melipatgandakan kecepatan pengembangan energi terbarukan dalam dua tahun yang tersisa, sebuah cita-cita yang berat untuk digapai.

Keseriusan pemerintah dalam reformasi kebijakan, implementasi dan berbagai mekanisme insentif sangat diperlukan dalam rangka membuka jalan yang jauh lebih besar dan masif untuk pengembangan energi terbarukan.

Demokrasi Energi

Yuyun berwajah muram karena turbin air di Desa Cinta Mekar, Kabupaten Subang, Jawa Barat tidak lagi berputar setelah 12 tahun menghasilkan listrik. Pembangkit Listrik Mikro Hidro di Desa Cinta Mekar dibangun pada 2004 atas inisiatif Yayasan IBEKA dengan bantuan pendanaan dari Jerman.

Dengan kapasitas 120 kilowatt, pembangkit ini sebelumnya mampu menghidupi koperasi yang keuntungannya digunakan untuk menyambung listrik ke rumah-rumah warga. Setelah beberapa tahun berjalan, keuntungan dari penjualan listrik tersebut dialokasikan kembali untuk pendanaan sosial di bidang pendidikan, kesehatan, serta infrastruktur desa.

Baca juga :   Autopsi Forensik Sebagai "Alat bukti Keterangan Ahli"

Di lain tempat, ada Noer Chanief, seorang guru di SMK Negeri 1 Blora, Jawa Tengah, yang berinovasi dengan mengembangkan pembangkit listrik tenaga angin untuk menerangi jalan desa sepanjang satu kilometer. Sebab, akses listrik negara tidak masuk ke beberapa desa di Blora meski terdapat kabel listrik bertegangan tinggi yang melintasi desa tersebut.

Berbekal peralatan sederhana, dia berhasil membangun pembangkit energi angin sumbu vertikal yang mampu berputar walau kecepatan angin rendah. Saat ini, pembangkit listrik buatan Noer sudah dimanfaatkan di 57 tempat di Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Energi terbarukan bisa menjadi katalis untuk rentetan perubahan sosial yang mampu mendorong kesejahteraan masyarakat melalui pembukaan lapangan kerja hijau, peningkatan ekonomi, penguatan kapasitas, dan perbaikan kualitas kesehatan masyarakat.

Apa yang terjadi di Subang dan Blora merupakan bukti bahwa masyarakat mampu membangun dan mengelola energi secara mandiri sesuai dengan potensi setempat. Bila diperkuat dengan pendampingan dan riset studi yang mumpuni, langkah ini mampu mendorong percepatan pengaplikasian energi bersih di seluruh penjuru Indonesia. Segala daya dan upaya perlu dioptimalkan untuk memaksimalkan potensi Indonesia sebagai archipelagic nation yang mampu mengembangkan dan memanfaatkan energi terbarukan.

Tahun ini, Indonesia memperingati Hari Listrik Nasional ke-78, sebuah angka yang matang untuk menentukan arah peta jalan energi. Apakah kita masih akan kecanduan batu bara hingga stoknya tidak tersisa, atau pindah haluan menuju masa depan cerah dengan energi bersih yang dikelola sendiri oleh anak bangsa.

Ini adalah waktu yang tepat untuk membuka kesempatan kolaborasi bagi masyarakat akar rumput untuk menentukan pengelolaan energi yang selaras dengan konteks lokal. Sebab perihal energi bukan hanya milik perusahaan multinasional dan investor dari negara maju.

Energi adalah persoalan bangsa, dan bangsa yang besar adalah yang berani memberi kepercayaan pada anak mudanya. Semakin luas ruang yang diberikan pada pemuda, semakin efektif terobosan dan solusi yang kelak ditemukan untuk memecahkan masalah krisis iklim dan mengurai benang kusut transisi energi.

Foto Ist.

Source: Katadata.co.id

What's your reaction?

Related Posts

1 of 146

Leave A Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *