Dalam mengungkap suatu tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku maka perlu yang namanya alat bukti, alat bukti ini merupakan syarat agar dapat tidaknya seseorang yang dituduh melakukan suatu tindak pidana dapat jerat. Guna pembuktian maka penyidik harus berusaha menemukan alat bukti. diantaranya lima alat bukti yang dijelaskan dalam pasaL 184 KUHAP yang salah satunya tertuang didalam pasal 184 Huruf b menyatakan secara tegas bahwa salah satu alat bukti yang sah adalah “keterangan ahli”
Tindak pidana pembunuhan yang dilakukan oleh pelaku selalu berkembang dan berubah serta dengan cara-cara yang sulit diselidiki secara kasat mata, kesulitan untuk mencari dan menemukan sebab tersebut bisa terlihat dibeberapa kasus yang terjadi di Indonesia. Selain dari itu sarana atau alat yang digunakan oleh pelaku kejahatan tindak pidana ini sangat variatif, Misalnya kasus Wayan miran Solihin (menggunakan racun sianida) untuk membunuh korban, senjata tajam (Sajam), serta senjata api (senpi). Perbuatan pelaku tindak pidana pembunuhan sering berusaha menghilangkan jejak perbuatannya dan berusaha menyamarkan barang bukti dan alat bukti. Akan tetapi menariknya pada setiap peristiwa pidana yang dilakukan oleh pelaku pembunuhan senantiasa meninggalkan jejak. Jejak inilah yang akan dilakukan pemeriksaan oleh kedokteran forensik (jejak biologis)
Dalam kasus wayan mirna solihin tersebut alat bukti yang dihadirkan oleh penyidik dan jaksa penuntut umum bukan saja terbatas pada saksi mata (orang yang melihat peristiwa pidana), digital forensik (penilaian rekaman CCTV) akan tetapi terdapat sejumlah ahli forensik yang berusaha menjelaskan hasil autopsi terkait sebab matinya Wayan Mirna secara pasti.
Ahli forensik ini yang berusaha menjelaskan secara scientifik tentang penyebab kematian Wayan Mirna Solihin tersebut yaitu dokter forensik yang melakukan autopsi (bedah mayat) korban, atau penilaian sample pemeriksaan mayat tersebut.
Artinya kehadiran kedokteran forensik dalam mengungkapkan sebab-sebab matinya korban tindak pidana tersebut sangat memiliki peran penting.
Ilmu forensik atau kedokteran forensik mengenal istilah Autopsi atau yang biasa dikenal oleh masyarakat umum yaitu “Bedah Mayat”, Autopsi merupakan suatu istilah yang digunakan oleh kedokteran forensik (medis) sebagai spesialis untuk menangani korban yang luka, kekerasan, pemerkosaan, pembunuhan (kematian) atau telah mati dalam kondisi tidak wajar.
dalam perkara tindak pidana pembunuhan ini sering sekali menjadi salah alat bukti yang dapat membantu penyidik untuk mengetahui secara pasti sebab kematian dan dapat menjerat pelaku tindak pidana.
Autopsi Forensik Bersifat “Diminta” Oleh penyidik
Berangkat dari pikiran itu hadirnya dokter forensik untuk melakukan autopsi tidak bisa berdiri sendiri untuk melakukan secara sukarela atau inisiatif pribadi dalam melakukan autopsi melainkan kehadiran dokter forensik ini bersifat “diminta” oleh pihak penyidik guna sebagai penyidikan, dan hasil autopsi Forensik akan dituangkan kedalam bentuk surat “Visum et repertum“.
Permintaan autopsi terhadap jenazah yang diduga adanya tindak pidana ini sebenarnya diatur secara tegas dan jelas didalam Undang-undang No. 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (Yang selanjutnya disebut KUHAP) sebagai mana Tertuang dalam pasal 133 KUHAP yang menjelaskan bahwa :
“Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya” Artinya pasal ini secara eksplisit mengatakan bahwa penyidik memiliki kewenangan untuk meminta dokter forensik untuk melakukan Autopsi terhadap jenazah tersebut”.
Selain itu autopsi Forensik ini dilakukan dalam rangka mencari dan menemukan sebab kematian korban tindak pidana yang masih sulit ditemukan pelakunya serta sebagai alat bukti dalam peradilan.
Pada prinsipnya penyidik, Jaksa penuntut Umum (JPU) serta Hakim yang apabila berbicara tentang adanya suatu tindak pidana maka dalam rangka penegakan hukum tidak boleh menjatuhkan Pidana terhadap orang (pelaku) yang sekurang-kurangnya harus terdapat dua alat bukti sebagai dasar dapat di tuntut dimuka hakim, Hal tersebut dasarkan petunjuk pasal 183 KUHAP yang menyatakan bahwa :
“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya” artinya frasa sekurang-kurangnya diartikan sebagai paling sedikit atau “minimal” artinya alat bukti yang dihadirkan tersebut tidak boleh kurang dari dua alat bukti.
Adapun alat bukti yang dimaksud agar seseorang dapat di jatuhi pidana yaitu mengacu pada petunjuk pasal 184 KUHAP yang megatakan bahwa :
“Alat bukti yang sah adalah :1. Keterangan saksi ;2. Keterangan Ahli; 3. Surat; 4. Petunjuk; 5. Keterangan terdakwa;
Autopsi dan bukan Autopsi
Sebagaimana yang diuraikan diatas otopsi merupakan serangkaian tindakan yang untuk menangani korban yang luka, kekerasan, pemerkosaan, pembunuhan (kematian) atau telah mati dalam kondisi tidak wajar.
pada prinsipnya autopsi (bedah mayat) baik bagian luar maupun bagian dalam akan dibuka atau akan dikeluarkan semua untuk kemudian dilakukan pemeriksaan. Membuka rongga tubuh, semua rongga tubuh dan semua organ akan dikeluarkan, rongga kepala juga turut dibuka, rongga dada, rongga perut, dan bagian yang ada didalam masing-masing bagian rongga yang dibuka akan dikeluarkan isi rongga, otak, jantung, paru, lidah sampai leher akan dikeluarkan semua sampai pada organ kelamin
Jadi apabila ada yang mengatakan autopsi kalau misalkan hanya membuka lambung (tegasnya itu bukanlah otopsi). Tindakan yang dilakukan oleh dokter forensic sangat terbatas pada apa yang “Diminta” oleh dokter, hal ini bisa dilihat petunjuk pada Pasal 133 ayat (1) KUHAP menyebutkan:
“Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya”.
Artinya tindakan autopsi atau sekedar pengambilan sample yang dilakukan oleh dokter forensik hanya terbatas pada tingkat perintah dan permintaan penyidik dalam surat permintaan autopsi tersebut. Tegasnya disini adalah kewenangan penyidik untuk meminta apa yang harus dilakukan oleh dokter guna kepentingan penyidiknya.
Cara Mengajukan Permintaan Autopsi Pada Ahli Forensik
Dalam mengajukan permintaan autopsi pada ahli forensik, pada surat permintaan penyidik harus menyatakan secara tegas pemeriksaan apa yang dikehendaki penyidik kepada ahli forensik. Dari permintaan penyidik tersebut ahli forensik dapat melakukan atau menentukan pemeriksaan luka, pemeriksaan mayat, ataupun pemeriksaan autopsi bagian luar maupun dalam.
Adapun mengenai surat keterangan yang dikeluarkan sudah secara tegas berdasar ketentuan Pasal 133 ayat (1) dan (2), didalam pasal ini dijelaskan lebih lanjut dalam penjelasan pasal tersebut, yang menyatakan bahwa :
- keterangan yang diberikan oleh ahli kedokteran kehakiman disebut “keterangan ahli”:
- Sedang keterangan yang diberikan oleh dokter bukan ahli kedokteran kehakiman disebut “keterangan” saja.
Memang hal ini perlu dibedakan, untuk kepentingan pemeriksaan di depan persidangan. Sebab menurut ketentuan Pasal 184 ayat 1 huruf b, keterangan ahli termasuk salah satu “alat bukti yang sah” menurut hukum. Dengan demikian, keterangan ahli kedokteran kehakiman termasuk kategori alat bukti yang sah, sedang keterangan dokter bukan alat bukti yang sah, tetapi bisa dimasukkan kepada klasifikasi alat bukti surat (Pasal 184 ayat (1) huruf c). selain itu ahli forensik yang diminta oleh penyidik untuk melakukan pemeriksaan terhadap suatu peristiwa pidana, maka wajib hukumnya ahli forensik tersebut untuk melakasnakannya, hal tersebut dijelaskan pada Pasal 179 Ayat (1) dan (2) KUHAP yang menyatakan bahwa :
(1) “Setiap orang yang diminta pendapatnya sebagai ahli kedokteran kehakiman atau okter atau ahli lainnya wajib memberikan keterangan ahli demi kebaikan”.
(2) “Semua ketentuan tersebut di atas untuk saksi berlaku juga bagi mereka yang memberikan keterangan ahli, dengan ketentuan bahwa mereka mengucapkan sumpah atau janji akan memberikan keterangan yang sebaik-baiknya dan yang sebenar-benarnya menurut pengetahuan dalam bidang keahliannya.
Second Opinion
Dalam suatu tindakan kedokteran terdapat perbedaan pendapat tentang suatu tindakan forensik, penilaian, Dimana ada dua pendapat yang saling bersilangan tidak menjadi persoalan. Second opinion ini sebenarnya pernah terjadi pada kasus brigadir Joshua adanya otopsi pembanding, Dimana pihak kepolisian meminta melakukan suatu autopsi sementara pihak keluarga melakukan autopsi pembanding, karena autopsi yang dilakukan oleh pihak kepolisian dinilai oleh pihak keluarga masih dianggap kurang memuaskan atau tidak dapat menjelaskan secara detail dan dinilai ada cacat dalam prsoese otopsinya.