Opini

Makna Syukur: Menyadari Berkat di Setiap Detik Hidup

Oleh: Karlina Helmanita

(Dosen UIN Syarif Hidayatullah dan Founder Yayasan Sanggar Baca Jendela Dunia)

Kata syukur adalah kata benda, dalam KBBI berarti rasa terima kasih kepada Allah swt. Makna syukur Ibnu Atha’illah seperti tuturannya berikut:

 اِنْ كَانَتْ عَيْنُ اْلقَلْبِ تَنْظُرُ اَنَّ اللهَ وَاحِدٌ فِي مِنَّتِهِ فَالشَّرِيْعَةُ تَقْتَضِيْ اَنَّهُ لَا بُدَّ مِنْ شُكْرِ خَلِيْقَتِهِ.

In kaanat ‘ainul qalbi tanzhuru annallaaha waahidun fii minnatihi fasysyarii’atu taqtadhii annahu laa budda min syukri khaliiqatihi.

“Bila mata hati memandang hanya Allah yang memberi segala karuniaNya, maka syariat menyuruh berterima kasih kepada sesama makhlukNya.”

Makna sufistik  ini menandakan adanya rasa syukur dari makhluk kepada sang khalikNya karena telah memberinya nikmat melalui tangan manusia. Maka sepantasnya manusia melihat bahwa nikmat tersebut semata-mata dari Allah yang nikmatnya selalu terberi dan tak bertepi. Namun, seringkali manusia lupa meletakkan rasa syukur itu, karena di saat ia menerima karuniaNya melalui perantara makhlukNya, Ia pun lupa bahkan berserah dan bersandar pada perantara yang memberinya karunia itu.

Orang yang memberi sesuatu dengan tangannya hanyalah manusia lemah dan sesungguhnya dikendalikan oleh TuhanNya, yang Mahabaik dan Mahakuasa. Karenanya, sepantasnya pula manusia memuji Tuhannya.  Namun, manusia tetap diminta menjaga hubungan baik antar sesamanya dan dapat berterimakasih kepada orang yang menjadi perantara sang Khalik  secara pantas dan tidak harus menjilat apalagi berbuat maksiat menyalahgunakan kepercayaan publik dalam genggaman yang fana.

Karenanya, makna sufistik kata syukur itu juga adalah pengakuan diri dalam hati tentang nikmat yang Allah berikan kepada manusia. Pengakuan itu tidak semata dinikmati pada diri sendiri, karena Rasulullah mengajak manusia untuk menerbarkannya kepada sesama. Orang yang dapat bersyukur ia tidak kikir, ia akan membuka diri, membuka sakunya, menebar kebaikannya pada orang lain. Sebaliknya kikir dinamakan kufur, maknanya menutup. Menutup sakunya menahan kebaikan semestanya. Kalau orang yang bersyukur maka sedikit yang diterimanya dianggapnya banyak, dan banyak yang diberikannya, dianggapnya sedikit.

Teruslah bersyukur di saat sempit atau pun lapang. Ibnu Atha’illah pun berpesan “siapa yang tidak mensyukuri nikmat, akan kehilangan nikmat itu. Siapa yang mensyukurinya, berarti ia telah mengikat nikmat itu dengan tali yang kuat.”

Semoga kita termasuk orang yang pandai bersyukur. Salam bersyukur untuk Semua.

What's your reaction?

Related Posts

1 of 140

Leave A Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *