Opini

Ihwal Kegentingan Memaksa Perpu Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja

Ramainya pemberitaan dan informasi terkait terbitnya Peraturan Pemerintah Penganti Undang-Undang (PERPU) Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja menjadikan penulis tertarik untuk menulis sebagai respon atas terbitnya PERPU Cipta Kerja. Harapannya, tulisan ini bisa menjadi bagian dalam diskusi menuju ke arah yang lebih baik, seperti doa dan harapan setiap orang ketika menjelang datangnya tahun baru.

Oleh: Mustakim
(Akademisi Universitas Nasional)

Membaca berbagai tulisan yang muncul di berbagai media elektronik termasuk di group-group WA terkait terbitnya Peraturan Pemerintah Penganti Undang-Undang (PERPU) Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja, yang pada intinya memberikan kesimpulan terbitnya PERPU sebagai suatu keputusan yang keliru dari Joko Widodo (Jokowi) sebagai Presiden Republik Indonesia.

Timbul pertanyaan: apakah benar demikian?

Untuk menjawab hal tersebut, ada beberapa hal yang perlu dilakukan kajian, yaitu berkaitan dengan kewenangan Presiden dalam menerbitkan PERPU, kriteria ihwal kegentingan memaksa sebagai alasan konstitusional penerbitan Perpu dan Perpu Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja itu sendiri, yang bisa dilihat dari aspek formil dan subtansinya.

DASAR KEWENANGAN PRESIDEN MENERBITKAN PERPU

Kalangan hukum sudah sangat memahami bahwa Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang atau disingkat PERPU merupakan produk peraturan perundang-undangan yang merupakan wewenang penuh Presiden sebagaimana diatur dalam Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945) yang menyebutkan bahwa:

“Dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan Peraturan Pemerintah sebagai Pengganti Undang-undang”.

Penegasan tersebut juga ditegaskan dalam Pasal 1 angka 4 Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang No. 15 Tahun 2019 dan terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menyatakan bahwa:

“Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang adalah Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa.”

Dengan dasar hukum di atas, jelas dan tegas bahwa Presiden mempunyai kewenangan dalam menetapkan PERPU dengan syarat terdapat kondisi atau hal ihwal kegentingan yang memaksa.

PENAFSIRAN IHWAL KEGENTINGAN MEMAKSA

PERPU memang menjadi kewenangan Presiden untuk menerbitkanya. Akan tetapi, syarat adanya “ihwal kegentingan yang memaksa” menjadi wajib untuk dipenuhi sebagai alasan terbitnya Perpu.

Mengenai makna “ihwal kegentingan memaksa” dapat dilihat dari beberapa Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia sebagai dasar rujukan hukum, yaitu Putusan MK No. 003/PUU-III/2005 tanggal 7 Juli 2005 dan Putusan Nomor 138/PUU-VII/2009.

Putusan MK No. 003/PUU-III/2005 tanggal 7 Juli 2005 memberikan kesimpulan bahwa hal ihwal kegentingan yang memaksa tidak harus disamakan dengan adanya keadaan bahaya dengan tingkatan keadaan darurat sipil, militer, atau keadaan perang melainkan kegentingan yang memaksa menjadi hak subyektif Presiden untuk menentukannya yang kemudian akan menjadi obyektif jika disetujui oleh DPR untuk ditetapkan sebagai undang-undang.

Ihwal kegentingan yang memaksa juga terlihat dalam Putusan Nomor 138/PUU-VII/2009 yang memberikan tafsir terhadap keadaan kegentingan yang memaksa dengan mensyaratkan beberapa hal, yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang, Undang-Undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada Undang-Undang tetapi tidak memadai dan kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat Undang Undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.

PERPU NOMOR 2 TAHUN 2022 TENTANG CIPTA KERJA

Nah, sekarang apakah PERPU Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja memenuhi syarat ihwal kegentingan yang memaksa?

Jelas, untuk mengukur kondisi tersebut harus merujuk pada Pasal 22 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, Putusan MK No. 003/PUU-III/2005 tanggal 7 Juli 2005 dan Putusan Nomor 138/PUU-VII/2009. Dengan demikian, penerbitan Perpu Nomor 2 Taun 2022 Tentang Cipta Kerja harus memenuhi syarat 3 (tiga) hal sebagai berikut:

A. Syarat adanya kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang.

Kondisi mendesak ditimbulkan atas Putusan MKRI No. 91/PUU-XVIII/2020 yang menyatakan bahwa UU Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat dan memerintahkan pembentuk Undang-Undang untuk melakukan perbaikan dalam jangka waktu paling lama dua tahun sejak putusan diucapkan dan jika tidak diindahkan dinyatakan inkonstitusional secara permanen, serta memerintahkan Pemerintah untuk menangguhkan segala tindakan atau kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas serta tidak dibenarkan pula menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

Kondisi tersebut jika tidak segera dipenuhi maka UU Cipta Kerja akan menjadi inkonstitusional permanen sehingga Presiden dan juga DPR dapat dianggap telah melakukan pebuatan melanggar hukum. Adanya ketidakpastian hukum pelaksanaan UU Cipta Kerja dan berhentinya kebijakan pemerintah yang bersifat strategis dan tentunya berpengaruh terhadap ekonomi nasional.

PERPU Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja yang terbit pada tanggal 30 Desember 2022 oleh Joko Widodo (Jokowi) selaku Presiden Republik Indonesia telah memenuhi syarat adanya kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat. Hal tersebut terlihat pada 7 (tujuh) alasan terbitnya PERPU Cipta Kerja sebagaimana konsideran menimbang PERPU Nomor 2 Tahun 2022 yaitu:

  1. bahwa, untuk mewujudkan tujuan pembentukan Pemerintah Negara Indonesia dan mewujudkan masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil, dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara perlu melakukan berbagai upaya untuk memenuhi hak warga negara atas pekerjaan dan penghidupan yanng layak bagi kemanusiaan melalui cipta kerja;
  2. bahwa dengan cipta kerja diharapkan marmpu menyerap tenaga kerja Indonesia yang seluas-luasnya di tengah persaingan yang semakin kompetitif dan tuntutan globalisasi ekonomi serta adanya tantangan dan krisis ekonomi global yang dapat menyebabkan terganggunya perekonomian nasional;
  3. bahwa untuk mendukung cipta kerja diperlukan penyesuaian berbagai aspek pengaturan yang berkaitan dengan kemudahan, pelindungan, dan pemberdayaan koperasi dan usaha mikro, kecil, dan menengah, peningkatan ekosistem investasi, dan percepatan proyek strategis nasional, termasuk peningkatan pelindungan dan kesejahteraan pekerja;
  4. bahwa pengaturan yang berkaitan dengan kemudahan, pelindungan, dan pemberdayaan koperasi dan usaha mikro, kecil, dan menengah, peningkatan ekosistem investasi, dan percepatan proyek strategis nasional, termasuk peningkatan pelindungan dan kesejahteraan pekerja yang tersebar di berbagai Undang-Undang sektor saat ini belum dapat memenuhi kebutuhan hukum untuk percepatan cipta kerja sehingga perlu dilakukan perubahan;
  5. bahwa upaya perubahan pengaturan yang berkaitan kemudahan, perlindungan, dan pemberdayaan koperasi dan usaha mikro, kecil, dan menengah, peningkatan ekosistem investasi, dan percepatan proyek strategis nasional, termasuk peningkatan pelindungan dan kesejahteraan pekerja dilakukan melalui perubahan Undang-Undang sektor yang belum mendukung terwujudnya sinkronisasi dalam menjamin percepatan cipta kerja, sehingga diperlukan terobosan dan kepastian hukum untuk dapat menyelesaikan berbagai permasalahan dalam beberapa Undang-Undang ke dalam satu Undang-Undang secara komprehensif dengan menggunakan metode omnibus;
  6. bahwa untuk melaksanakan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 9 I/PUU-XVIII/2O2O, perlu dilakukan perbaikan melalui penggantian terhadap Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2O2O tentang Cipta Kerja;
  7. bahwa dinamika global yang disebabkan terjadinya kenaikan harga energi dan harga pangan, perubahan iklim (climate change, dan terganggunya rantai pasokan (supply chain) telah menyebabkan terjadinya penurunan pertumbuhan ekonomi dunia dan terjadinya kenaikan inflasi yang akan berdampak secara signifikan kepada perekonomian nasional yang harus direspons dengan standar bauran kebijakan untuk peningkatan daya saing dan daya tarik nasional bagi investasi melalui transformasi ekonomi yang dimuat dalam Undang-Undang tentang Cipta Kerja;

B. Syarat ada UU (UU CIPTA KERJA) tidak memadai.

Putusan No. 91/PUU-XVIII/2020 berdampak UU Cipta Kerja sebagai UU yang ada saat ini tidak memadai dan perlu segera dilakukan perubahan. Salah satu upaya terkait dengan metode Omnibus Law dalam pembentukan peraturan telah diakomodir dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

Begitu juga Perpu Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja telah melakukan sinkronisasi dan perubahan subtansi yang dianggap keliru sesuai amanat Putusan No. 91/PUU-XVIII/2020.

C. Syarat Kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat Undang Undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.

Sejak Putusan MKRI No. 91/PUU-XVIII/2020 telah menyatakan UU Cipta Kerja cacat formil dan menyatakan dilarangnya melakukan tindakan-tindakan yang strategis, maka sebetulnya terjadi kekosongan hukum bagi pemerintah untuk melakukan tindakan-tindakan untuk mewujudkan hak-hak konstitusional warga negara, karenanya UU Cipta Kerja perlu dilakukan perubahan, namun karena perubahan UU secara prosedural memerlukan tahapan dan waktu yang cukup lama, maka mempertimbangkan kepentingan yang subtansial bangsa dan hak-hak konstitusional warga negara, maka syarat ini menjadi terpenuhi.

Merujuk pada Pasal 22 ayat (2) dan (3) UUD NRI Tahun 1945, maka Perpu ini harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut, namun Jika tidak mendapat persetujuan, maka Peraturan Pemerintah itu harus dicabut. Di sinilah kontrol bagi Dewan Perwakilan Rakyat dilakukan terhadap terbitnya PERPU ini sebagai bentuk pelaksanaan kedaulatan rakyat sebagai kekuasaan tertinggi.

SOLUSI KONSTITUSIONALNYA

Fakta penolakan masyarakat sejak terbitnya UU Cipta Kerja dan PERPU Nomor 2 Tahun 2022 sampai saat ini masih terus banyak. Atas kondisi tersebut Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menjadi rujukan untuk menguji bahwa PERPU Nomor 2 Tahun 2022 inkonstitusional dengan mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi dan Pasal 9 ayat (1) UU Nomor 15 Tahun 2019 sebagaima diubah dengan UU Nomor 13 Tahun 2022 Tentang Perubahan Kedua atas UU No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan juga menegaskan bahwa: “Dalam hal suatu Undang-Undang diduga bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.”

PERPU sebenarnya secara materil adalah undang-undang. Bajunya Peraturan Pemerintah, tetapi isinya adalah undang-undang, yaitu undang-undang dalam arti materiel atau wet in materiele zin. Dengan demikian PERPU itu sebagai undang-undang dalam arti materiel itu dapat diuji konstitusionalitasnya oleh Mahkamah Konstitusi sebagaimana mestinya.

Demikian tulisan singkat ini dibuat sebagai bahan diskusi sekaligus pertimbangan dalam hal menyikapi terbitnya PERPU Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja.

“SELAMAT TAHUN BARU 2023”

What's your reaction?

Related Posts

1 of 140

Leave A Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *