Opini

Generasi Z: Transformasi Politik dan Tantangan Komunikasi di Era Digital

Oleh: I. Aeni Muharromah (Humas-BRIN)

Bencsik dan Machova adalah dua peneliti yang menambahkan generasi terbaru dalam teori generasi, yakni i-generation, atau Generasi Z selanjutnya disebut Gen Z. James Oblinger menyebutnya post-milenial. Oleh Majalah Forbes tahun 2015 Gen Z disebut sebagai fase generasi global pertama. Gen Z lahir dan tumbuh pada fase dunia memasuki disrupsi informasi dan teknologi yang membuat perubahan perubahan sosial sedemikian cepat.

Forbes menjuluki Gen Z sebagai generasi teknologi tinggi. Generasi yang hidup dalam kompleksitas sosial. Karena mereka bergaul secara global dengan jendela dunia bernama internet, ada kecenderungan penguasaan mereka terhadap multi bahasa menjadi cukup baik. Bencsik dan Machova (2016) menjuluki Gen Z sebagai tenaga kerja terampil, karyawan yang mumpuni di era digital.

Memasuki bulan politik, pantaslah kalau Gen Z menjadi sorotan. Keberadaan dan peranannya menjadi sangat menarik. Orientasi politiknya menjadi sangat penting untuk diketahui dan terus didekati. Terlebih tahun 2020-2035 Indonesia sedang mengalami bonus demografi, yaitu kondisi struktur penduduk yang didominasi oleh kalangan usia produktif.

Karakteristik

Jika generasi milenial menempatkan internet sebagai bagian dari part of its everyday life, bagi Gen Z internet yang banyak menghasilkan informasi tak terbendung dan tak tersaring telah menjadi bagian dari intuisi.

Gen Z cenderung memiliki nilai nilai hidup untuk hari ini, inisiator yang pemberani, mudah bereaksi, terbiasa multitasking, pencari konten dan pengakses informasi dengan cepat. Perilaku ini terlihat sangat diwarnai dari ‘kehidupan’ di internet. Pendek kata, internet sebagai basis produksi mereka yang membentuk horizon hidup mereka.

Menurut Subhan salah satu pembicara dalam FGD tentang Peran Generasi Muda dalam Membangun Nasionalisme yang digagas Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) 01/11 di Jakarta ‘’Ada beberapa karakteristik dari generasi Milenial dan Z ini, pertama, inklusive & progressive. Mereka terbuka dengan perbedaan dan ingin sekali cepat bergerak maju, tidak hanya dalam tindakan tapi juga pikiran. Salah satu faktornya karena adanya perkembangan digital dan informasi yang sangat berpengaruh. Mereka tidak suka eksklusivitas, menolak konservatif, menolak sesuatu yang konvensional, dan mereka berpikir harus mencari cara baru’’.

Baca juga :   Bajingan Politik dan Keteladanan Megawati Soekarnoputri

Dia memaparkan, cara baru itu terlihat dalam banyak hal seperti dalam bekerja yang berpatokan tidak hanya terikat pada jam kerja. Mereka bisa bekerja kapan saja, jam berapa saja, yang penting ada output nya. Mereka ingin bahwa mereka bekerja, mereka hidup dengan caranya masing-masing.

Kedua, authenticity atau otentisitas, mereka ingin mencari ontentisitas dalam diri mereka, generasi ini adalah generasi yang tenggelam dalam dunia digital. Mereka sebetulnya ingin mencari jati diri mereka sendiri, tapi karena terlalu banyak informasi yang berkembang membuat mereka memaknai diri mereka dengan penafsiran yang sangat beragam.


Kontestasi Politik

Pemilu sebagai kegiatan lima tahunan sangat menentukan warna kehidupan politik. pemilu sangat menentukan warna kehidupan politik. Partisipasi rakyat pada pemilu akan sangat menentukan arah kepemimpinan politik ke depan. KPU telah melansir Data Pemilih Tetap (DPT) 2024. Jumlahnya mencapai 204,8 juta pemilih. Sebanyak 66,8 juta pemilih atau 33,6 persen diantaranya dari generasi milenial, dan 46,8 juta atau 22,85 persen dari Gen Z.

Data ini menggambarkan arah politik kita ke depan sangat ditentukan oleh kaum muda karena mendominasi jumlah pemilih, setara 56,45 persen. Corak pasar politik seperti ini harus menjadi orientasi dari strategi canvasing dari para kandidat, baik pileg maupun pilpres. Berpaling dari dari pandangan mereka dalam memaknai politik, tentu akan ditinggalkan oleh pemilih mayoritas.(antara)

Baca juga :   Polling Calon Wali Kota Bekasi Periode 2024-2029

Dalam hal berkomunikasi, anak-anak muda ini suka menggunakan bahasa prokem. prokem menjadi trendsetter komunikasi anak-anak muda sebagai citra diri maju, gaul, dan intelek. Bila ingin masuk ke dunia mereka tentu komunikasi 2 arah harus dilakukan dengan situasi duduk sama rendah, berdiri sama tinggi.

Karakter individual mereka menjadi tantangan besar bagi caleg atau capres/cawapres. Gen Z seperti magnet yang memiliki medan besar, punya daya tarik sehingga harus dilalkukan secara khusus dan hati-hati. Dengan informasi yang begitu deras tak terhindar dan faktor kejiwaan yang cenderung belum stabil maka gen-Z butuh pendekatan ekstra. Meraih hati milenial dan Gen Z jelas menjadi tantangan semua kontestan pemilu.

Daya Tawar

Mengikuti dan menelisik performa mereka lebih jauh jadi tantangan yang tampak di depan mata. Para Tim pemenangan tidak bokeh abai mengkalkulasikan Gen Z ini. Pendekatan yang kekinian harus terus diupayakan, penggunan medsos dan intensitas menyapa Gen Z ini tidak boleh asal. Program-program menyasar Gen Z harus dilakukan secara berkesinambungan dan mengarah khalayak banyak.   

Oleh sebab itu mengenali sikap kaum milenial dan Gen Z terhadap politik menjadi sangat penting. Seperti yang saya utarakan diatas, milenial dan Gen Z membuka jendela hidupnya dari internet. Mereka mendapatkan asupan informasi dari sana. Virtualitas telah menjadi ruang hidupnya.

Terkait dengan pentas politik yang tampak saling jegal di tengah jalan, presiden yang ikut cawe-cawe menentukan sosok pasangan calon untuk 2024 menjadi salah satu poin yang direspons generasi Z. Menurut Muhammad Danu Winata, pakar Komunikasi Politik Universitas Negeri Surabaya (UNESA) respons mereka ini mungkin tidak sampai ke aksi golput, tetapi dalam bentuk kritik terbuka dan mengulas itu di berbagai platform media sosial.

Baca juga :   Gapai Kemenangan Ramadhan: PC PMII Jaktim Gelar Sekolah Pergerakan dan Pendidikan Advokasi

Banyaknya artis yang masuk bakal caleg menurutnya itu menjadi penilaian tersendiri bagi generasi Z yang tentu memahami betul bahwa parpol tidak memiliki kaderisasi yang baik, lebih mementingkan popularitas dan elektabilitas ketimbang kualitas.

Banyak perilaku politik yang dipertontonkan tidak pantas di mata Gen Z ini, mereka  langsung merespon melalui medsos.

Tidak bisa dihindari, tim pemenangan harus mengolah seluruh pendekatan diseminasi visi-misi dengan wacana yang familiar dengan Gen Z. Capres Anis dengan pendekatan dialogis mendatangi kampus, diskusi dengan para gen Z. Menggunakan jokes melalui  medsos. Begitupun pilihan Ganjar intens dalam bermedia sosial sebagai upaya meraih simpati.

Prabowo dengan semangat berapi-api lalu diiringi joget-joget santai dalam rangka menarik simpati kaum Gen Z yang tengah diperebutkan atensi dan dukungannya.  Perlu menjadi perhatian bahwa Gen Z memiliki kelebihan sangat melek dengan informasi. Mereka akan searching menggali informasi dan dapat menyimpulkan sendiri sehingga doktrin sudah tidak berpengaruh.

Influenser dari kalangan Gen Z harus dipertimbangkan untuk menarik mereka. Namun demikian Gen Z memiliki kesadara tidak mudah percawa pada apa yang mereka lihat saat ini.

Mereka selalu mencari tau dengan caranya sendiri. Sikap dan cara bijaksana adalah melibatkan mereka dalam berbagai kegiatan untuk memberikan edukasi yang bermanfaat untuk mereka sendiri dan kemajuan negara. Memberikan ruang Gen Z berpartisipasi dalam kancah politik. Sementara itu para seniornya memberikan role model yang baik dalam menjalankan fungsi politik sehingga menciptakan harmoni. Hal ini dapat mempersempit ketimpangan dan gap.

What's your reaction?

Related Posts

1 of 140

Leave A Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *