Info KlikersKlik NewsSosial Budaya

Geger Cilegon 1888 : Tragedi yang Menggentarkan Banten

Pada abad ke-19, Banten menjadi saksi dari salah satu pemberontakan petani yang paling signifikan dalam sejarah Indonesia. Pemberontakan ini merupakan bentuk perlawanan terhadap penindasan yang diterapkan oleh penguasa kolonial Belanda, yang telah lama mengeksploitasi petani lokal untuk kepentingan ekonomi mereka sendiri. Dalam artikel ini, kita akan menjelajahi latar belakang, penyebab, dan dampak dari pemberontakan petani Banten yang terkenal itu.

Latar Belakang Sejarah Banten

Jauh sebelum hadirnya Kerajaan Sunda Tarumanegara, Sriwijaya, Padjajaran, maupun Majapahit. Banten telah hadir untuk Menyusun tata kehidupan serta eksis dalam meramaikan jalur perdagangan dan politik Tingkat Internasional dibawah Kerajaan Salakanagara. Eksistensi Banten sebagai peradaban tertua di Nusantara dapat dilihat dari masa Nirleka Megalitikum, Dimana terdapat arca, menhir, dan gerabah peninggalan masa megalithikum.

Mengutip dari sebuah Jurnal karya Andika Ariwibowo dituliskan bahwa pada awal abad ke-16, Pelabuhan Banten merupakan salah satu Pelabuhan terbesar Kerajaan Padjajaran setelah Sunda Kelapa yang ramai dikunjungi para pedagang asing. Wilayah ini dikuasai oleh suatu Kerajaan yang bercorakan Hindu dan merupakan daerah vassal dari Kerajaan Padjajaran, nama Kerajaan itu dikenal dengan nama Banten Girang. Penguasa terakhir Kerajaan Banten adalah Pucuk Umun.

Berkembangnya agama Islam secara bertahap di wilayah Banten, pada akhirnya menggantikan posisi politis Banten Girang sebagai Kerajaan bercorak Hindu. Pada abad ke-16, Kesultanan Banten mengalami fasse pembentukan yang signifikan. Sunan Gunung Jati, tokoh kunci pada pertengahan abad tersebut mendirikan sebuah kesultanan di wariskan pada keturunanya, yaitu Sultan Maulana Hasannudin.

Pada saat yang sam, kesultanan ini berkembang menjadi pusat perdagangan yang strategis. Terletak di jalur perdagangan yang sangat penting. Kesultanan Banten memainkan peran utama dalam perdagangan yang strategis. Kesultanan Banten memainkan peranya dalam perdagangan rempah-rempah dan berdagang bahan dagangan lainya. Pelabuhan Surowan dan Pelabuhan Banten lama menjadi pusat perdagangan maritim yang sangat penting.

Baca juga :   Misteri Keanekaragaman: Jejak Sejarah Agama di Nusantara

Pergantian abad membawa kesultanan ini ke puncak kejayaanya pada abad ke-17 di bawah pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa. Kesultanan Banten menjadi salah satu kekuatan ekonomi dan politik yang sangat dominan di Nusantara pada masanya.

Namun, kejayaan ini tidak datang tanpa adanya tantangan. Tantangan yang dimaksud ialah konflik yang intens dengan VOC Benlanda. Konflik tersebut menyebabkan Perang Giri pada tahun 1628-1629 adalah pertempuran utama yang melibatkan Kesultanan Banten dengan VOC Belanda.

 

Penyebab Pemberontakan di Banten

Dalam buku Perlawanan terhadap Penjajah di Sumatera dan Jawa karya Samsudar (2019) dituliskan bahwa anttar tahun 1882 dan 1884, rakyat Serang dan Anyer telah ditimpa dua malapetaka, yaitu kelaparan dan penyakit sampar (pes) Binatang ternak. Hal itu disebabkan oleh musim kemarau yang berkepanjangan yang menyebabkan tanaman tidak tumbuh dan munculnya wabah pes.

Untuk mengatasi masalah tersebut, pemerintah colonial menginstruksikan untuk membunuh semua ternak, termasuk Binatang yang tidak terkena penyakit. Akibatnya, muncul benih-benih kebencian rakyat terhadap pemerintahan Belanda yang dianggap telah melakukan kekejian dan kesewenag-wenangan.

Karena jumlahnya yang sangat banyak, tidak semua ternak dapat dikubur, sehingga bangkainya ditemukan Dimana-mana dan mengundang penyakit yang baru lagi untuk Masyarakat. Sebanyak 120.000 orang yang tercatat terkena penyakit, diantaranya ada yang meninggal dunia akibat penyakit itu.

Masyarakat pun semakin sengsara saat Gunung Krakatau Meletus pada Tahun 1883 dan menimbulkan gelombang laut yang sangat tinggi. Gelombang itu menghancurkan Anyer, Merak, dan Caringin yang Dimana merenggut banyak korban jiwa. Musibah yang datang bertubi-tubi masih diperburuk oleh pemerintah colonial Belanda yang melaksanakan system perpajakan yang baru.

Berbagai pajak dikenakan kepada mashyarakat setempat, yaitu pajak tanah pertanian, pajak perdagangan, pajak pasar, dan pajak jiwa, yang besarnya di luar dari kemampuan Masyarakat setempat. Ditambah lagi dari berbagai kecurangan pegawai pemungut pajak yang membuat Masyarakat semakin resah dan membenci para colonial.

Baca juga :   Misteri Keanekaragaman: Jejak Sejarah Agama di Nusantara

Akibat dari penderitaan yang dialami oleh Masyarakat inilah yang membuat mereka mulai percaya akan takhayul. Merekan memberikan sesajen di pohon-pohon besar yang dikramatkan, agar permohonan mereka untuk memusnahkan segala macam bencana dikabul oleh penunggu pohon keramat itu.

Faktor-faktor ketidakpuasan terhadap system ekonomi, politik, dan kebudayaan inilah yang menyulutkan perlawanan

 

Perjalanan Pemberontakan Berujung Penumpasan

Dilansir dari Historia.id bahwasanya pemberontakan bermula pada tanggal 9 Juli 1888. Para pemberontak bergerak dari tempat Haji Ishak di Saneja untuk menyerang rumah residen Francois Dumas, selaku juru tulis di kantor asistenm residen VOC. Akan tetapi Dumas melarikan diri dan terpisah dengan anak dan istrinya.

Saat itu para pemberontak bertitik temu di Pasar Jombang Wetan, Cilegon. Sebagai pemimoin, Ki Wasyid membagi pasukan menjadi 3 kelompok. Pertama, pasukan yang dipimpin oleh Lurah Jasim, Kedua pasukan yang dipimpin oleh Haji Abdul Ghani dan Haji Usman, Ketiga pasukan yang dipimpin oleh Haji Tb, Ismail. Fokus penyeranganya pada saat itu adalah tentang pembebasan tahan politik, kepatiham, dan rumah asisten residen yang terletak di alun-alun Kota Cilegon.

Pada saat itu, Haji Tb. Ismail dan pasukannya menemukan Alfred Dumas yang bersembunyi di rumah seorang Tionghoa bernama Tan Heng Kok. Dumas akhirnya terluka dan dibawa ke kantor kepatihan oleh seorang ajudan kolektor. Ini menjadi serangan pertama yang berhasil dilakukan oleh pasukan Haji Tb. Ismail. Anak dan istri Dumas juga menjadi korban dalam serangan tersebut. Pembantu Dumas, Minah, dan anaknya juga ditemukan dalam kondisi terluka parah di sawah.

Pasukan pemberontak di bawah pimpinan Haji Usman menyerang Ulrich Bachet, seorang kepala penjualan garam. Bachet bersembunyi di rumah penduduk setelah berhasil membunuh dua orang pemberontak dengan tembakannya. Namun, akhirnya Bachet juga tewas dalam serangan pasukan Haji Usman.

Baca juga :   Misteri Keanekaragaman: Jejak Sejarah Agama di Nusantara

Sebagian pemberontak yang dipimpin oleh Lurah Jasim berhasil membebaskan 20 tahanan, termasuk dengan membunuh seorang sipir bernama Mas Kramadimeja. Namun, istri Gubbels, Anna Elizabeth van Zutphen, wedana, dan kepala penjara berhasil melarikan diri menuju kepatihan. Ini membuat para pemberontak yang dipimpin Lurah Jasim mengepung kepatihan dan membunuh Sadiman, seorang pelayan di sana.

Para pemberontak di bawah pimpinan Lurah Jasim kemudian membawa Wedana Cilegon, Raden Cakradiningrat, Jaksa Cilegon Mas Sastradiwiria, dan Ajun Kolektor Raden Purwadiningrat menuju alun-alun Kota Cilegon untuk dieksekusi. Kasidin, seorang mantan tahanan politik, melampiaskan amarahnya terhadap wedana Cilegon dengan melompat ke arahnya dan meminta agar wedana tersebut menjadi korban pertama. Setelah itu, para pemberontak menyerang Jacob Grondhout, seorang insinyur pengeboran, dan istrinya, Cecile Wijermans, yang akhirnya tewas. Beberapa orang lainnya yang menjadi target serangan termasuk Mas Asidin, Mas Jayaatmaja, Jamil, dan Jasim, yang semuanya dibunuh oleh para pemberontak.

Meskipun pemberontakan petani Banten menimbulkan ancaman serius bagi kekuasaan kolonial Belanda, pihak Belanda tidak tinggal diam. Mereka mengirim pasukan bersenjata untuk menekan pemberontakan tersebut. Pertempuran sengit terjadi di berbagai wilayah, dan akhirnya kekuatan militer Belanda yang lebih besar berhasil menekan perlawanan petani Banten. Pemberontakan berakhir dengan kekalahan, tetapi semangat perjuangan terus hidup dalam hati Masyarakat dan mempengaruhi perjalanan perlawanan lainnya di masa mendatang.

Meskipun pemberontakan berakhir dengan kekalahan, dampaknya terasa dalam sejarah perjuangan Indonesia. Pemberontakan tersebut menjadi simbol perlawanan terhadap penindasan kolonial dan menginspirasi gerakan perlawanan lainnya di masa depan. Warisan pemberontakan ini mengingatkan kita akan pentingnya perjuangan untuk keadilan dan kebebasan, serta menghormati tekad dan semangat perlawanan para pahlawan tanpa nama yang berani melawan penindasan.

What's your reaction?

Related Posts

1 of 3,749

Leave A Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *