Info KlikersRegionalSosial BudayaSpecial KlikSpesial Klik

Ponpes Al Hamdaniyah Sidoarjo, Tempat Nyantri Hasyim Asy’ari dan Para Ulama Besar Indonesia

Pondok pesantren adalah lembaga pendidikan Islam yang memiliki peran sentral dalam pengembangan kehidupan keagamaan dan sosial di masyarakat Muslim. Sejak awal sejarah Islam, pendidikan telah menjadi bagian integral dari ajaran agama.

Di Indonesia, pondok pesantren telah menjadi salah satu pilar utama dalam pembentukan karakter dan pemahaman keagamaan bagi umat Muslim

Pondok pesantren pada masa kini perlu dianggap sebagai warisan dan kekayaan intelektual budaya Nusantara yang sangat berharga. Lebih dari itu, dalam beberapa aspek yang khusus, pesantren juga harus diakui sebagai benteng pertahanan budaya itu sendiri, berdasarkan peran bersejarah yang telah dimainkannya.

Seiring dengan perkembangan sejarahnya, peran yang menonjol dan sangat berpengaruh dari pesantren adalah fokus dan komitmennya dalam mempertahankan serta melestarikan ajaran Islam Sunni (Ahl as-Sunnah wa al-Jama’ah), serta memajukan studi keagamaan melalui kekayaan literatur kitab kuning, yang sering disebut sebagai tafaqquh ad-din atau pemahaman agama yang mendalam.

Pondok pesantren telah memainkan peran yang signifikan dalam sejarah Indonesia, terutama selama masa penjajahan Belanda. Selama periode tersebut, pondok pesantren menjadi pusat perlawanan dan penyebaran semangat nasionalisme.

Para kyai, yang sering kali menjadi pemimpin di pondok pesantren, berperan penting dalam perjuangan melawan penindasan kolonial dan menyebarkan semangat perjuangan kemerdekaan.

Ponpes Al Hamdaniyah

Salah satu pondok pesantren yang memiliki sejarah panjang adalah Pondok Pesantren Al-Hamdaniyyah.

Terletak di Jawa Timur, pondok pesantren ini terbilang sebagai salah satu pondok pesantren tertua setelah Pesantren Sidogiri.

Berdiri sejak tahun 1787 M, Pondok Pesantren Al-Hamdaniyyah telah berhasil mencetak banyak ulama-ulama besar, di antaranya KH M Hasyim Asy’ari, KH As’ad Syamsul Arifin, dan pencipta lambang Nahdlatul Ulama, KH Ridwan Abdullah.

Baca juga :   Tradisi Nyadran: Ungkapan Syukur dan Pemeliharaan Warisan Budaya di Desa Balongdowo, Sidoarjo

Lalu, KH Alwi Abdul Aziz, KH Wahid Hasyim, KH. Cholil, KH. Nasir (Bangkalan), KH.Wahab Hasbullah, KH. Umar (Jember), KH. Utsman Al Ishaqi, KH. Abdul Majid (Bata-bata Pamekasan) dan KH. Dimyati Banten.

Di Pondok ini juga, sering dibuat pertemuan tokoh-tokoh pergerakan nasional pada zaman revolusi, di antaranya adalah Soekarno, Bung Hatta, KH Abdul Wahab Chasbullah, KH Abdul Wahid Hasyim, KH. Idham Cholid, Hamka, Bung Tomo, dan tokoh-tokoh besar lain.

Pendirinya adalah Kiai Hamdani, seorang ulama besar asal Pasuruan yang juga merupakan keturunan langsung dari Rasulullah yang ke-27.

Dengan sejarahnya yang kaya dan sumbangsihnya dalam perjuangan nasional, Pondok Pesantren Al-Hamdaniyyah menjadi salah satu contoh nyata tentang pentingnya peran pondok pesantren dalam memperjuangkan kemerdekaan dan menjaga nilai-nilai keagamaan di Indonesia.

Melalui pendidikan dan pembinaan yang diberikan, pondok pesantren seperti Al-Hamdaniyyah telah memberikan kontribusi yang signifikan dalam membentuk generasi ulama dan intelektual yang berperan aktif dalam pembangunan dan kehidupan beragama di tanah air.

Kiai Hamdani lahir di Pasuruan pada tahun 1720 M. Beliau merupakan putra dari Murroddani bin Sufyan bin Khasan Sanusi bin Sa’dulloh bin Sakaruddin bin Mbah Sholeh Semendi Pasuruan.

Kiai Hamdani dikenal sebagai pribadi yang zahid (tidak memetingkan urusan duniawi), ‘abid (ahli ibadah), waro’ (berhati-hati dalam segala hal). Pada usia yang cukup tua, Kiai Hamdani hijrah dari Pasuruan menuju ke daerah sebelah timur laut kota Sidoarjo.

Pada waktu Kiai Hamdani hijrah ke Sidoarjo, daratan Sidoarjo masih berupa perairan rawa-rawa. Beliau bertahun-tahun bermunajat serta beriyadloh kepada Allah berharap agar daerah tersebut kelak ditinggikan oleh Allah dan menjadi kawah candradimuka mercusuar ilmu sehingga daerah yang dulunya rawa-rawa diubah menjadi daerah yang subur dan bisa didirikan oleh Pondok Pesantren Al-Hamdaniyyah.

Baca juga :   Tradisi Nyadran: Ungkapan Syukur dan Pemeliharaan Warisan Budaya di Desa Balongdowo, Sidoarjo

KH Hasyim Asy’ari

KH Hasyim Asy’ari lahir pada tanggal 10 November 1871 di Desa Gedang, Pasuruan, Jawa Timur. Beliau merupakan seorang ulama dan pendiri Nahdlatul Ulama (NU), organisasi Islam terbesar di Indonesia. KH Hasyim Asy’ari wafat pada tanggal 25 Juli 1947 di Jombang, Jawa Timur. Warisannya sebagai tokoh ulama dan pendiri NU terus dikenang dan dihormati hingga saat ini.

Menurut Dewan Pengasuh Pesantren Al-Hamdaniyah Siwalan Panji, KH Hasyim Fahrurozi, ketika menjadi santri di pesantren Al-Hamdaniyyah, KH Hasyim Asy’ari tergolong sebagai santri yang rajin belajar, rendah hati, menghormati guru, dan konsisten, terutama dalam melakukan ibadah.

Kisah ini disampaikan langsung oleh buyutnya, yaitu KH Ya’kub dan KH Abdurrohim (keturunan pendiri pesantren), yang diceritakan melalui kedua orang tuanya. KH Hasyim Asy’ari diceritakan belajar di Pondok Pesantren Siwalan Panji sekitar tahun 1890 setelah menimba ilmu di Tanah Suci, Makkah.

Di Pesantren Siwalan Panji, KH Hasyim Asy’ari belajar dari KH Ya’kub dan KH Abdurrohim. Karena sifat kealiman dan ketawadhuannya, para santri mengangkatnya sebagai ketua pondok (luraa pondok).

KH Ya’kub semakin mengenal KH Hasyim Asy’ari dan menyadari bahwa KH Hasyim Asy’ari memiliki keahlian dalam ilmu agama Islam, rendah hati, menghormati guru, dan konsisten. Setelah menyaksikan kecerdasan dan akhlaknya, KH Ya’kub menikahkan KH Hasyim Asy’ari dengan putrinya, Khadijah.

Beberapa waktu setelah pernikahan, KH Ya’kub meminta mereka pergi ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji dan memperdalam pengetahuan agama. Selama di Makkah, istri KH Hasyim Asy’ari, Khadijah meninggal dunia setelah melahirkan anak pertama.

Baca juga :   Tradisi Nyadran: Ungkapan Syukur dan Pemeliharaan Warisan Budaya di Desa Balongdowo, Sidoarjo

Menurut Gus Hasyim Al-Hamdaniyah, KH Hasyim Asy’ari menerapkan beberapa amalan yang diajarkan oleh para guru di Pesantren Siwalan Panji, seperti thoriqoh ta’lim muta’alim, membaca Al-Qur’an, mengenal asmaul husna, dan berbakti kepada guru dan pesantren.
Kesetiaannya terhadap Pesantren Siwalan Panji membawa keberkahan dan memungkinkannya mendirikan pesantren dengan ribuan santri di Jombang.

KH As’ad Syamsul Arifin

KH. As’ad Syamsul Arifin Situbondo, lahir pada tanggal 10 September 1945 di Situbondo, Jawa Timur, Indonesia, adalah seorang ulama dan pendakwah Islam terkemuka di Indonesia. Beliau dikenal sebagai tokoh yang berpengaruh dalam dakwah dan pendidikan Islam.

KH. As’ad juga mendirikan Pondok Pesantren “Darul Ulum” di Situbondo, Jawa Timur, yang menjadi lembaga pendidikan Islam terkemuka. KH. As’ad Syamsul Arifin Situbondo wafat pada tanggal 4 April 2018. Warisannya sebagai seorang ulama dan tokoh pendidikan tetap dikenang dan diwariskan kepada generasi selanjutnya.

KH Ridwan Abdulloh

KH. Ridwan Abdullah lahir pada 1 Januari 1884 di Bubutan Surabaya. Nama KH. Ridwan Abdullah sangat terkait dengan kontribusinya dalam menciptakan lambang Nahdlatul Ulama (NU), yang diingat oleh banyak orang terutama warga Nahdliyyin.

KH. Ridwan Abdullah menceritakan bahwa sebelum merancang lambang NU, beliau melakukan shalat istikharah dan memohon petunjuk dari Allah Swt. Dalam mimpinya, beliau melihat sebuah gambar di langit yang biru jernih, persis seperti lambang NU yang kita kenal saat ini.

Setelah menerima petunjuk tersebut, beliau merancang lambang NU yang kemudian menjadi simbol penting bagi organisasi tersebut. Beliau wafat pada tanggal 16 Februari 1962, beliau wafat pada usia 78 tahun dan dimakamkan di Pemakaman Tembok Surabaya. [Muhammad Syahrul Hasan].

What's your reaction?

Related Posts

1 of 2,246

Leave A Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *