Special Klik

Supersemar; Surat Sakti yang Penuh Kontroversi

Sebelas Maret 1966, di Istana Bogor, Soekarno menerima kedatangan Mayjen TNI Basuki Rachmat, Brigjen TNI Amir Machmud, dan Brigjen TNI M. Yusuf. Versi sejarah lain menyebut ada juga Mayjen TNI Maraden Panggabean.

Saat itu, Soekarno tengah beristirahat, setelah agak tergesa-gesa meninggalkan rapat kabinet di Istana Jakarta. Ia tiba lebih awal di Istana Bogor setelah pada saat rapat Brigjen Saboer, pengawal dan ajudan kepercayaannya mengatakan situasi tidak aman.

Soekarno menyerahkan sisa rapat kepada Leimena dan segera meninggalkan istana menaiki helikopter bersama pengawalnya.

Pada hari itu memang tengah marak demonstrasi yang dilakukan oleh mahasiswa. Mereka menuntut pembersihan kabinet dari para terduga pelaku Gestapu.

Kepala Badan Pusat Intelijen (BPI) Soebandrio mengatakan demonstrasi pada hari itu ditunggangi oleh kelompok liar yang mengenakan seragam loreng dan bersenjata lengkap namun tanpa tanda pengenal.

Kunjungan Tiga Jenderal

Sebelum berangkat ke Bogor, Basuki Rachmat, Amir Machmud, dan M. Yusuf sempat menemui Soeharto. Pada hari itu, Soeharto tidak ikut rapat karena sakit.

Saat itu, Soeharto merupakan Panglima Pemulihan Keamanan dan Ketertiban. Ia menitip pesan kepada tiga jenderal itu bahwa dirinya menyatakan siap memikul tanggung jawab untuk melaksanakan stabilitas keamanan dan politik berdasarkan Tritura apabila diberi wewenang.

Baca juga :   Gelar Seminar Strategi Layanan Informasi di Era Global, Perpustakaan DPR Perkuat Kolaborasi di Kancah Internasional

“Saya bersedia memikul tanggungjawab apabila kewenangan untuk itu diberikan kepada saya untuk melaksanakan stabilitas keamanan dan politik berdasarkan Tritura,” kata Soeharto yang dikutip dari merdeka.com (23/02/2015).

Ketiga jenderal tersebut menyampaikan hal itu kepada Soekarno dan kemudian terbitlah Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar).

Surat itu berisi pemberian wewenang kepada Soeharto selaku Panglima Angkatan Darat guna mengambil tindakan yang diperlukan dalam pemulihan keamanan dan ketertiban.

Ariel Heryanto dalam historia.id (28/09/2017) menuliskan Soekarno menandatangani Supersemar di bawah todongan senjata Maraden Panggaben dan Basuki Rachmat.

Dalam catatannya itu, ia menyebut ada perlawanan dari Wilardjito, letnan dua dan perwira jaga istana Bogor. Ia mencabut senjatanya, berusaha untuk membela Soekarno.

Namun, Soekarno mencegahnya. Sang Presiden memilih menandatangani surat yang sebelumnya ditolaknya karena berkop surat militer, bukan kepresidenan.

Ditekan, bukan Dipaksa

Keterangan Ariel Heryanto itu berbeda dengan keterangan Sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Asvi Warman Adam.

Dalam sebuah wawancara yang diwartakan kompas.com (12/03/2016), Asvi mengatakan Soekarno saat itu tidak dipaksa, apalagi dengan todongan senjata. Menurut Asvi hal itu mustahil dilakukan di istana.

Baca juga :   Gelar Seminar Strategi Layanan Informasi di Era Global, Perpustakaan DPR Perkuat Kolaborasi di Kancah Internasional

“Saya menggunakan istilah “ditekan” bukan “dipaksa”. Dipaksa dalam arti penodongan juga saya bantah karena tidak mungkin. Karena di sana ada pasukan Tjakrabirawa, ring 1, ring 2, dan ring 3,” kata Asvi.

Soekarno, menurut Asvi, tidak hanya oleh tiga orang jendral, tapi oleh serangkaian kejadian dan peristiwa yang menyebabkan Soekarno tidak punya pilihan lain selain Soeharto.

“Istilah yang tepat adalah ditekan,” kata Asvi.

Salah Penafsiran Supersemar

Supersemar adalah surat sakti yang dimiliki oleh Soeharto. Surat itu menjadi legitimasi Soeharto untuk mengambil alih kekuasaan dari Soekarno secara perlahan hingga ia menjadi Presiden RI ke-2 dan berkuasa selama 32 tahun.

Selain itu, Supersemar juga menjadi legitimasi Soeharto untuk melarang Partai Komunis Indonesia (PKI) dan membantai anggotanya.

Asvi mengatakan Supersemar itu memandatkan untuk pengamanan masyarakat, Soekarno dan keluarganya. Namun, hal itu salah ditafsirkan oleh Amir Machmud dan dilaksanakan oleh Soeharto.

Menurut Amir Machmud, Supersemar adalah pengalihan kekuasan.

“Tafsirannya seperti itu, lalu diserahkan ke Soeharto. Lalu kata Soeharto, suratnya dibutuhkan oleh Soedharmono dengan stafnya waktu itu Moerdiono, yang waktu itu sedang mempersiapkan konsep untuk pembubaran PKI. Mereka sudah diminta untuk pembubaran PKI, ketika surat itu datang. Mereka punya alasan kuat untuk itu,” kata Asvi.

Baca juga :   Parlemen Antar-Negara Asia Komitmen Jaga Warisan Budaya dan Sejarah Kawasan Asia

Asvi menjelaskan dalam konteks pembubaran PKI, hal itu berawal dari kalimat melakukan hal yang dianggap perlu untuk mengamankan situasi.

“Jadi apapun. Itu yang dijadikan dasar untuk pembubaran PKI. Jadi sangat sakti surat itu,” ungkap Asvi.

Tidak Ada yang Asli

Meskipun dikenal sebagai surat sakti, ternyata Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) tidak menyimpan Supersemar yang asli.

Pada tahun 2015, ANRI bekerja sama dengan Pusat Laboratorium Forensik Badan Reserse Kriminal Polri telah menguji tiga versi Supersemar. Kesimpulannya, tak ada satu pun yang orisinal.

Dilansir Antara, ANRI mengakui arsip Supersemar yang dimilikinya kini tidak asli. Pengakuan itu disampaikan pada 13 Desember 2020 oleh Pelaksana Tugas (Plt) Deputi Konservasi ANRI, Multi Siswanti.

“Kita memiliki arsip Supersemar, tapi itu dari berbagai versi. Setelah kita lihat dari autentikasinya, ternyata itu bukan arsip yang asli,” kata Multi Siswanti saat diskusi daring. (*)

Peneliti, Penulis, Penikmat Bola

What's your reaction?

Related Posts

1 of 556