EkonomiKlik NewsSpecial Klik

Hilman Latief: Filantropi Islam Sebagai Mitra Strategis Sekaligus Kritik Terhadap Pembangunan

Persepsi pemerintah dan dunia internasional terhadap gerakan filantropi Islam mulai banyak mengalami pergeseran.

Organisasi filantropi Islam yang terus tumbuh dan berkembang kini tidak lagi dicurigai sebagai musuh, melainkan sebagai mitra strategis pembangunan.

Hal tersebut disampaikan oleh Hilman Latief  dalam orasi ilmiah dengan judul Etika Islam dan Semangat Filantropisme, Membaca Filantropi Sebagai Kritik Pembangunan dalam acara Rapat Senat Terbuka Orasi Ilmiah Guru Besar Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Sabtu (30/01/2021).

Hilman mengatakan fenomena yang kerap terjadi belakangan ini menunjukkan bahwa organisasi filantropi Islam kerap dilibatkan dalam berbagai misi sosial dan kemanusiaan.

“Seperti di Palestina, Yaman, Syria, Thailand Selatan, Myanmar, Filipina dan lain-lain,” kata Hilman.

Padahal, dikatakan oleh Hilman, pasca peristiwa 11 September 2001, peta politik dunia, khususnya dunia Islam, berubah drastis.

Gerakan perang melawan terorisme yang disponsori negara-negara Barat di seluruh dunia sempat menggoncangkan aktivisme filantropi Islam yang mengurusi masalah sosial dan kemanusiaan di berbagai negara yang dicurigai adanya kelompok-kelompok teroris.

Seperti Saudi Arabia, Palestina (termasuk Gaza), Kenya, Lebanon, Chad, Somalia, Nepal dan termasuk juga Indonesia.

“Hal itu membuat beberapa lembaga amal dan organisasi filantropi oleng akibat semakin sulitnya transfer uang antarnegara yang dilakukan organisasi- organisasi Islam,” lanjut Hilman.

Baca juga :   Gelar Seminar Strategi Layanan Informasi di Era Global, Perpustakaan DPR Perkuat Kolaborasi di Kancah Internasional

Meski begitu, gerakan anti terorisme ini tidak serta merta menghentikan laju gerakan filantropi Islam.

Bahkan, tidak sedikit organisasi yang pernah dan masih dianggap ‘radikal’ kemudian dijadikan mitra oleh lembaga-lembaga humaniter dunia dalam menjalankan misi kemanusiaan di daerah-daerah yang ‘rawan’, seperti di Pakistan, Afghanistan, Syria, Turki dan Palestina, dan beberapa negara di Afrika.

Etika Islam

Hilman Latief mengungkapkan tumbuh suburnya gerakan filantropi dalam Islam tidak lepas dari spirit yang terkandung dalam ajaran Islam itu sendiri.

Banyak disebutkan di dalam Al Quran maupun Hadis dorongan kepada kaum beriman untuk berburu kekayaan secara wajar, namun pada saat yang sama ada dorongan untuk membelanjakan kekayaan yang telah diperoleh untuk hal yang bermanfaat.

Hilman menyebut hal itu sebagai bentuk keseimbangan (equilibrium) dalam perilaku seorang Muslim dalam mencari dan mengelola hartanya.

“Kita melihat adanya semangat yang bernuansa ‘kapitalistik’ dalam ajaran Islam yang dibatasi oleh prinsip-prinsip moralitas yang ‘sosialistik’ dan menjunjung rasa berkeadilan. Aspek inilah yang ingin saya sebut dengan ‘dimensi etik’ ajaran Islam,” lanjut Hilman.

Dimensi etik ajaran Islam ini, menurut Hilman, terus dipelihara di kalangan umat Islam, termasuk di dalam persyarikatan Muhammadiyah dan berbagai ormas Islam lainnya.

Baca juga :   Ekonomi Kreatif Dapat Tekan Angka Kemiskinan Kabupaten Boyolali

Hilman menyampaikan fikih zakat kaum Muslim di berbagai negara, dan khususnya di Indonesia, bisa berbeda-beda. Tetapi semangat etisnya yang berada di balik praktik filantropi mereka sama.

Namun, Hilman menyebut orang yang mengenal dan mengerti tentang Islam tidak selalu dapat menyelami ‘dimensi etik’ yang terkandung di dalamnya.

“Semangat etik Islam masih perlu dirumuskan melalui sebuah proses refleksi yang kuat yang menyentuh kesadaran spiritualitas dan pengalaman keagamaan Nabi Muhammad Saw.,” tambah Hilman.

Mengisi Ruang Kosong Pembangunan

Hilman menyebut pada awal tahun 2000, gerakan filantropi berbasis keagamaan masih menjadi isu pinggiran.

“Dalam beberapa laporan yang diterbitkan oleh BAPPENAS, hanya satu atau dua kali saja zakat dan peran organsiasi filantropi disebut-sebut,” kata Hilman.

Di sisi lain, lanjut Hilman, tujuan pembangunan millenium yang selesai pada tahun 2015, belum menunjukkan kemajuan yang terlalu menggembirakan.

Program pembangunan ini kemudian dilanjutkan dengan dideklarasikannya Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals-SDGs) 2015-2030.

Dalam mendukung dan mengakselerasi pencapaian SDGs pemerintah dan UNDP mulai melirik lembaga filantropi Islam.

Pada tahun 2017, lanjut Hilman, dilakukan penandatanganan nota kesepahaman (MoU) antara lembaga filantropi Islam yang diwakili oleh BAZNAS dengan UNDP dalam rangka mengurangi masalah kemiskinan meningkatkan kualitas hidup masyarakat di Indonesia.

Baca juga :   Terima Sekretariat Parlemen Korea, Indra Iskandar Urai Konsep 'Green Building' Gedung DPR di IKN

Di belahan dunia lain, the International Council of Voluntary Agencies (ICVA 2018) sedang merumuskan ‘Islamic Social Financing’ untuk ‘Islamic humanitarian financing’, untuk merespons berbagai keterbatasan dalam mendanai kegiatan kemanusian di berbagai belahan dunia.

Begitu pula dengan Harvard Medical School, Dubai Global Health Delivery, yang membuat policy paper tentang Muslim Philanthropy and Sustainable Healthcare Delivery (2016), untuk mengefektifkan peran filantropi Islam dalam menanggulangi penyakit-penyakit menular dan tidak menular di berbagai negara.

“Hal ini menunjukkan bahwa filantropi Islam sudah menjadi salah satu alternatif pendanaan global untuk kegiatan kemanusiaan,” kata Hilman.

Hilman melihat gerakan filantropi Islam bukan saja berperan sebagai entitas yang dapat berperan serta mengisi agenda pembanguan yang belum diisi pemerintah, melainkan menjadi satu kritik terhadap pemerintah yang masih belum dapat mewujudkan keadilan sosial secara merata.

“Lebih dari itu, saya juga ingin menekankan bahwa gerakan filantropi Islam yang secara persisten berkembang saat ini, tidak lepas dari kemampuan kelas menegah Muslim Indonesia untuk menjaga dan memodifikasi nilai kapitalisme dan sosialisme sekaligus dalam bingkai keagamaan,” demikian disampaikan Hilman Latief.

Peneliti, Penulis, Penikmat Bola

What's your reaction?

Related Posts

1 of 3,597