EkonomiOpini

Menyoal PP No 25 Tentang TAPERA

Melihat kondisi realita terkini di tengah pandmei dimana pertumbuhan ekonomi melambat, dengan rata-rata inflasi di atas 2%. Tingkat kesejahteraan masyarakat menurun, kemampuan membayar masyarakat atau disposible income  mengalami tekanan. 

Ketika kondisi pandemi seperti ini, konsep sharing the pain sebagaimana dalam ketentuan PP No 25 tentang Tapera merupakan kebijakan yang kurang tepat.

Pada Tanggal 20 Mei 2020 keluar Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera).

Memberlakukan PP Nomor 25 tahun 2020, dimana masyarakat secara disiplin harus menyisihkan sebesar 3% dari penghasilannya (2,5% ditanggung sendiri dan 0,5% ditanggung perusahaan) untuk selanjutnya dikelola oleh Badan Pengelola Tapera.

Tujuan PP ini tentunya bagus, melatih masyarakat untuk secara disiplin menabung, sehingga ada program terstruktur masyarakat bisa mempunyai tempat tinggal yang layak.

Hak yang sudah dijamin sebenarnya oleh UUD 1945 Pasal 28H (1), bahwa rakyat berhak hidup sejahtera, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat.

Potret yang ada di lapangan, masih terlihat sebuah kontradiksi, karena backlog, selisih gap kebutuhan dan ketersediaan perumahan, sebesar 7,6 juta unit, menurut data PUPR tahun 2019.

Kontradiksi di lapangan ini, dijawab dengan program pro rakyat dari pemerintah, yaitu sejuta rumah buat rakyat.

Untuk selanjutnya kita lihat, sejak tahun 2015-2019, telah terbangun 4.800.170 unit dengan proporsi 70% untuk rumah Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) dan 30% non MBR.

Dengan berlakunya PP Nomor 25 tahun 2020 tersebut, maka masyarakat secara disiplin harus menyisihkan sebesar 3% dari penghasilannya (2,5% ditanggung sendiri dan 0,5% ditanggung perusahaan) untuk selanjutnya dikelola oleh Badan Pengelola Tapera.

Sepertinya ini adalah aktualisasi dari konsep berbagi beban atau sharing the pain yang diungkapkan oleh pemerintah.

Permasalahannya adalah, ketika kita melihat realitas kondisi perekonomian di Indonesia, pertumbuhan ekonomi Q1 hanya sebesar 2,97% dan di Q2 lebih terkonstraksi lagi, bisa mendekati 0%, sedangkan rata-rata inflasi di atas 2%.

Ini menunjukkan bahwa tingkat kesejahteraan masyarakat sedang terus menurun, kemampuan membayar masyarakat atau disposible income nya sedang mengalami tekanan.

Ketika kondisi pandemi seperti ini, konsep sharing the pain dalam konteks penyelenggaraan Tapera cenderung kurang tepat.

Karena dalam kondisi punya beban, pemerintah bisa mengeluarkan obligasi bahkan bisa mendesain APBN sampai minus 6,34% dari PDB setara 1.039T, yang untuk selanjutnya pembayaran hutang tersebut dibayar oleh rakyat melalui pembayaran pajak.

Sedangkan, dalam kondisi pandemi ini, ketika masyarakat membutuhkan dana tambahan untuk belanja, harus pinjam ke perbankan, dan mereka harus bekerja untuk menutup hutang tersebut. Ini bedanya antara negara dan masyarakat.

Seharusnya penambahan tabungan, investasi atau apapun bentuknya, ketika menambah pengeluaran masyarakat, pemerintah menunda sampai dengan keadaan perekonomian kembali membaik dan kemampuan membayar masyarakat kembali normal.

Jangan sampai, program Penyelenggaraan Tapera, yang tujuannya bagus ini, justru menjadi tambahan penderitaan rakyat.

Ajib Hamdani : (Ketua Bidang Keuangan dan Perbankan BPP Hipmi)

What's your reaction?

Related Posts

1 of 482