Hukum-KriminalKlik News

UU Ciptaker Inkonstitusional, Prodi Ilmu Hukum UAI Beri Catatan Kritis

Putusan MK mengenai UU Cipta Kerja yang inkonstitusional bersyarat menjadi polemik baru dalam beberapa hari terakhir. Banyak pro dan kontra khususnya dari para pengkaji hukum di Indonesia.

Hal tersebut menginisiasi Prodi Ilmu Hukum Universitas Al Azhar Indonesia (UAI) untuk mengadakan diskusi virtual dengan tema “Catatan Kritis Putusan MK tentang UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja” yang diselenggarakan pada Senin (29/11/2021).

Diskusi ini dimoderatori oleh Zuhad Aji Firmantoro, selaku Dosen FH UAI, sementara narasumber yang dihadirkan adalah Viktor Santoso Tandiasa (Kuasa Hukum Pemohon), Prof Dr. Aidul Fitriciada Azhari (Ketua Komisi Yudisial RI 2016-2018) dan Prof. Dr. Suparji (Pengamat Hukum UAI).

Acara dimulai dengan sambutan dari Dekan Fakultas Hukum UAI, Dr. Yusup Hidayat, M.H. yang mengingatkan bahwa catatan kritis terhadap putusan MK ini adalah kerja akademis yang berdampak pada masa depan pembangunan hukum di Indonesia, di mana hukum itu harus memberikan kepastian.

Viktor Santoso menilai bahwa persoalan putusan MK ini sebenarnya harus diulang prosesnya, artinya kalau salah satu prosesnya tidak bisa dipenuhi, maka mungkin diuji lagi untuk kedua kalinya.

“Contohnya dalam hal partisipasi, kalau masyarakat yang terkait dengan klaster UU Ciptaker ini tidak mau diundang untuk hadir berarti UUnya cacat lagi secara formil. Kalau begitu terus artinya UU ini tidak dapat menciptakan kepastian hukum” ungkap Viktor.

Prof Suparji menambahkan bahwa dilihat dari sisi manapun, putusan MK tentang UU Ciptaker ini tidak menyelesaikan masalah, malah menimbulkan masalah, dan sulit mencari relevansinya terhadap kebutuhan masyarakat serta pada akhirnya membingungkan kita semua.

“Kalau pun pemerintah akan menindaklanjuti dengan perbaikan, Lembaga mana yang dapat mengukur, bahwa pemerintah dan DPR sudah berhasil melakukan perbaikan.” Ungkap Prof Suparji

“Ada berapa banyak orang yang menjadi korban akibat UU Cipta Kerja melalui demo-demo kemarin, berapa milyar dana yang telah dihabiskan negara, seolah-olah kemudian UU ini hanya bahan percobaan baik oleh pemerintah maupun melalui putusan MK ini”. Lanjutnya.

Sementara Prof Aidul menilai bahwa putusan MK tentang UU Ciptaker ini sebagai bentuk keseimbangan atau dalam bahasa politiknya kompromi.

“Saya awalnya menduga UU Ciptaker yang dibawa ke MK ini nasibnya hampir sama dengan UU KPK dan UU Minerba yaitu ditolak, tetapi ternyata hakim memutuskan inkonstitusional bersyarat yang lebih kompromistis dari putusan sebelumnya. Hal ini menimbulkan kesan bahwa terjadi perubahan kesadaran para hakim” ungkap prof Aidul.

Perubahan kesadaran itu bisa dilihat dari bagaimana hakim menilai partisipasi perwakilan masyarakat melalui kehadiran saja sudah cukup sebagai syarat pembentukan undang-undang. Tapi dalam putusan MK ini justru lebih subtantif, artinya penilaian partisipasi itu dilihat dari apakah masukan dari elemen masyararakat terkait diakomodir atau tidak.

What's your reaction?

Related Posts

1 of 3,261

Leave A Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *