Klik NewsPolitik

Diskusi Nur Institute: Demokrasi di Indonesia Baru Pada Fase Prosedural, Belum Substansial

Demokrasi di Indonesia saat ini masih berada pada fase demokrasi prosedural, belum sampai pada demokrasi substansial. Adanya pemilihan umum secara langsung ternyata belum mampu menghasilkan produk kebijakan yang baik.

Hal tersebut mencuat dalam diskusi publik yang diselenggarakan oleh Nur Institute dengan tema Demokrasi, HAM, dan HAK Politik Warga Negara, pada Minggu (27/06/2021).

Diskusi yang diselenggarakan secara online tersebut menghadirkan narasumber Dr. Sri Wahyuni, S.Ag, S.H, M.Ag, M.Hum (Wakil Dekan III Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga), Prof. Dr. Retno Saraswati, S.H., M.Hum (DekanFakultas Hukum Universitas Diponegoro), Dr. Didik Mukrianto, S.H., M.H (Anggota DPR RI), dan Yasin Mohammad, S.Fil.i, M.A (Direktur Lembaga Survei Independen Nusantara).

Narasumber pertama, Sri Wahyuni, menyebut demokrasi di Indonesia telah mengarah pada oligarki. Hal itu terlihat dari pemerintahan yang dikuasai oleh segelintir kelompok.

Menurut Sri Wahyuni, praktik oligarki berangkat dari banyaknya partai politik yang ada di Indonesia. Partai-partai itu kemudian membentuk koalisi pada saat pemilu, yang menang akan berbagi posisi di pemerintahan, dan yang kalah akan membentuk oposisi.

Baca juga :   Media Punya Peran Strategis Dukung Pembangunan KEK di Batam

“Nah ini, pada dataran ideal, sebenarnya kita kan menganut, misalnya, demokrasi pancasila,tapi dengan model demokrasi langsung tadi membawa Indonesia pada oligarki,” kata Sri Wahyuni.

Selanjutnya narasumber yang kedua, Retno Saraswati menyampaikan bahwa demokrasi di Indonesia mempunyai ciri khas tersendiri, selain dalam beberapa hal tetap menerapkan prinsip demokrasi secara umum. Retno menyebut demokrasi di Indonesia mengalir nilai-nilai ketuhanan dan kemanusiaan.

“Demokrasi di Indonesia di Indonesia senantiasa dialiri roh ketuhanan dan kemanusiaan. Membuat setiap aliran menjadi merasa tersatukan. Membolehkan setiap orang untuk berbeda pendapat dan memandang dan menempatkan setiap orang pada kedudukan yang sama, adil dan setara dalam konteks kemasyarakatan, kenegaraan dan peradaban,” terang Retno.

Sementara itu anggota DPR RI dari Fraksi Partai Demokrat Didik Mukrianto mengingatkan adanya penumpang gelap dalam perjalanan demokrasi di Indonesia.

Penumpang gelap itu, kata Didik, akan membawa demorasi kepada hal-hal yang negatif, korup dan cenderung abuse of power.

Baca juga :   BKSAP Dorong Komitmen Parlemen Antar-Negara Asia dalam Pembangunan Berkelanjutan

“Jadi kalau idealnya demokrasi itu menghasilkan sebuah kebijakan, sebuah policy, sebuah harapan, yang kemudian bisa mendatangkan sebuah kemaslahatan, tetapi dalam demokrasi ini selalu ada penumpang gelap. Penumpang gelap ini bermacam-macam, dalam konteks sosial, penumpang gelap ini akan meluluhlantakkan demokrasi itu sendiri,” kata Didik, yang juga merupakan Ketua Karang Taruna Nasional itu.

Sedangkan Direktur Lembaga Survei Independen Nusantara (LSIN) Yasin Mohammad menyebut demokrasi di Indonesia sebagai demokrasi for sale atau dilelang. Hal tersebut tidak lepas dari praktik demokrasi yang transaksional.

“Kalau namanya dilelang, siapa penawar tertinggi, maka dia yang jadi pemenang,” kata Yasin

Secara umum, menurut Yasin, demokrasi di Indonesia termasuk kategori tidak sempurna. Secara prosedural sudah baik, tetapi belum menyentuh aspek substasi dari demokrasi itu sendiri.

“Demokrasi di Indonesia itu ditempatkan sebagai demokrasi tidak sempurna. Tidak sempurnanya di mana? di dalam penyelenggaraan pemilu itu mungkin berjalan dengan baik, yang hal itu mungkin tidak ditemukan di negara lain, hanya saja masih banyak pelanggaran-pelanggaran, kemudian banyak penegakan hukum, kebebasan berpendapat, mengalami hambatan,” kata Yasin. (*)

Baca juga :   Terima Sekretariat Parlemen Korea, Indra Iskandar Urai Konsep 'Green Building' Gedung DPR di IKN
Peneliti, Penulis, Penikmat Bola

What's your reaction?

Related Posts

1 of 3,264