Global ReviewInternasional

Parah! Muslimah Dilarang Kenakan Jilbab, Prancis Seolah Tak Jera akan Tuai Kecaman Lagi

Tawaran Senat Prancis untuk melarang gadis di bawah 18 tahun mengenakan jilbab di depan umum telah menuai kecaman. Tagar #HandsOffMyHijab yang beredar luas di media sosial merupakan salah satu gerakan yang mengecam kebijakan ini.

Hijab merupakan kerudung yang dikenakan oleh banyak wanita Muslim dan telah menjadi subyek perseteruan selama puluhan tahun di Prancis.

Langkah Senat Prancis bermula dari keinginan negara tersebut untuk memperkenalkan RUU “anti-separatisme”. RUU ini bertujuan untuk menjunjung tinggi nilai-nilai sekulerisme di Perancis. Namun para kritikus mengecam langkah ini sebagai kebijakan yang dapat meminggirkan peran minoritas Muslim secara perlahan.

Saat memperdebatkan undang-undang yang diusulkan pada 30 Maret 2021, para senator menyetujui amandemen RUU yang menyerukan “larangan penggunaan simbol-simbol keagamaan di ruang publik yang dikenakan anak di bawah umur dan pakaian atau baju yang menandakan inferioritas perempuan”.

Larangan tersebut belum menjadi undang-undang. Majelis Nasional Prancis diharuskan untuk menyetujui amandemen tersebut sebelum kemudian diberlakukan.

Namun reaksi terhadap amandemen tersebut terjadi dengan cepat dan menuai banyak kecaman.  Beberapa pihak menyebut aturan yang diusulkan tersebut sama saja dengan “undang-undang untuk melawan Islam”.

“Ini bukanlah undang-undang yang melarang hijab. Itu adalah hukum yang melawan Islam. #Handsoffmyhijab #FranceHijabBan, ”tulis salah seorang pengguna Twitter.

Pengguna twitter lainnya memposting: “Saya pikir kita sudah membahas ini. Memaksa wanita memakai jilbab adalah salah. Sama seperti memaksanya melepas jilbab. Itu salah. Itu pilihan dia. ”

Masalah tersebut juga menarik perhatian beberapa tokoh terkenal.

Di Instagram, atlet Olimpiade bernama Ibtihaj Muhammad membagikan postingan yang menegaskan bahwa amandemen Senat tersebut mengindikasikan adanya “Islamofobia yang semakin parah di Prancis”.

“Inilah yang terjadi ketika Anda menormalkan ujaran kebencian anti-Islam dan anti-Muslim, bias, diskriminasi, dan kejahatan rasial – Islamofobia tertulis dalam undang-undang,” kata postingan itu.

Amani al-Khatahtbeh, pendiri Muslim Women’s Day dan situs web Muslim Girl, juga turut mengomentari kontroversi tersebut.

“Tidak ada pemerintah yang harus mengatur bagaimana seorang wanita bisa berpakaian, apakah akan tetap memakai jilbab atau melepasnya,” cuitnya.

Seorang model kelahiran Somalia, Rawdah Mohamed, mengatakan bahwa langkah Senat Prancis telah menempatkan perempuan muslim di “sisi kesetaraan yang salah”.

“Larangan hijab merupakan retorika kebencian yang berasal dari tingkat pemerintahan tertinggi dan saya yakin akan menjadi kegagalan besar jika tujuannya untuk mengikis nilai-nilai agama dan kesetaraan,” postingnya di Instagram.

Majelis Nasional, majelis rendah Prancis yang didominasi oleh partai tengah Presiden Emmanuel Macron La République En Marche (LREM), sangat mendukung RUU tersebut pada 16 Februari sebelum disahkan ke Senat yang dipimpin kalangan konservatif.

Undang-undang tersebut telah diperdebatkan dalam suasana yang sangat menegangkan di Prancis setelah tiga serangan akhir tahun lalu, termasuk pemenggalan kepala guru Samuel Paty pada 16 Oktober, yang telah menunjukkan karikatur Nabi Muhammad kepada siswanya selama pelajaran tentang kebebasan berbicara.

Undang-undang tersebut memang tidak secara khusus menyebutkan kata Islam, tetapi Muslim Prancis telah berbulan-bulan memprotesnya.

Amnesty International bulan lalu memperingatkan bahwa undang-undang yang diusulkan tersebut menimbulkan “serangan serius terhadap hak dan kebebasan di Prancis” dan menyerukan “banyak ketentuan bermasalah” dari RUU tersebut yang perlu dibatalkan atau diubah.

Sumber: al-Jazeera

What's your reaction?

Related Posts

1 of 188