Global ReviewOpini

Memahami Dinamika Politik Terbaru di Yordania

Yordania, yang saat ini dipimpin oleh Raja Abdullah II, telah lama dianggap sebagai oasis bagi perdamaian dan stabilitas di wilayah Timur Tengah. Memang, tidak seperti negara-negara tetangga, pemerintahan di Yordania sangatlah kuat dan dapat diandalkan dalam menghadapi berbagai tantangan domestik dan tantangan eksternal selama bertahun-tahun.

Rezim Yordania tidak pernag menghadapi protes Musim Semi Arab seperti yang terjadi di negara-negara Timur Tengah lainnya. Sebab, kepercayaan dan kesetiaan rakyat Yordania kepada kerajaan masih cukup kuat.

Namun demikian, terlepas dari itu semua, peristiwa politik yang terjadi di bulan ini menunjukkan bahwa Yordania juga tidak kebal terhadap instabilitas politik.

Pada tanggal 3 April, saudara tiri Raja Abdullah yang populer, Pangeran Hamzah, ditempatkan di bawah tahanan rumah de facto karena diduga berperan dalam konspirasi yang bertujuan untuk merusak keamanan nasional di Yordania.

Diketahui bahwa Pengeran Hamzah telah menghadiri pertemuan dengan beberapa suku yang mengkritik raja. Berita penangkapannya pun masih mengejutkan rakyat Yordania dan bahkan dunia.

Daripada mundur, pangeran memutuskan untuk melawan. Dalam pernyataan yang direkam dalam video, Pangeran Hamzah membantah telah terlibat dalam konspirasi melawan saudara tirinya. Namun, Pangeran menuduh “sistem pemerintahan” di kerajaan Yordania ini telah melakukan korupsi, penyelewengan dan penyalahgunaan kekuasaan.

Sebagai respon terhadap pernyataan pangeran ini, pemerintah mengeluarkan pernyataannya sendiri dan menuduh Pangeran Hamzah bekerja sama dengan mantan Ketua Pengadilan Kerajaan, Bassem Awadallah, dan “elemen asing” yang tidak disebutkan namanya, untuk membuat negara tidak stabil.

Pihak berwenang juga mengungkapkan bahwa Awadallah, yang menjabat sebagai Menteri Perencanaan dan Menteri Keuangan di masa lalu, telah ditangkap bersama beberapa orang lainnya dari kalangan pejabat eselon yang lebih tinggi dalam jajaran elit pemerintahan Yordania.

Pangeran Hamzah dengan cepat menanggapi tuduhan bahwa dirinya telah bekerjasama dengan asing dengan merilis rekaman audio percakapannya dengan panglima militer Yordania, yang menunjukkan bahwa pangeran dipenjara bukan karena keterlibatannya dengan kekuatan asing, tetapi karena melakukan pertemuan dengan para kritikus kebijakan kerajaan. Pertemuan ini telah memberikan kepada pangeran kredibilitas publik dan meningkatkan dukungan rakyat terhadapnya.

Akhirnya, setelah dilakukan mediasi dengan anggota keluarga kerajaan, Pangeran Hamzah menandatangani sebuah surat. Dalam surat tersebut, dirinya berjanji untuk mematuhi tradisi kerajaan dan berusaha untuk mengurangi krisis di negaranya.

Tapi dari peristiwa ini, apa yang sebenarnya terjadi  dalam keluarga kerajaan sehingga Yordania diberitakan dalam berita-berita internasional dan timbul kekhawatiran bahwa oasis stabilitas ini akan segera berubah menjadi kekacauan?

Baca juga :   Indonesia Serukan Deeskalasi Konflik di Timur Tengah

Krisis ini adalah hasil dari perpecahan dan persaingan yang mengakar dalam keluarga kerajaan yang diperparah dengan meningkatnya kemarahan publik atas kegagalan pemerintah dalam melaksanakan reformasi politik dan ekonomi.

Sejak berdirinya Emirat Transyordania pada tahun 1921, Yordania telah diperintah oleh keluarga kerajaan Hashemite. Selama hampir 100 tahun, Hashemites telah berhasil menjaga ketertiban rumah mereka dan menghindari perpecahan dan perselisihan yang mengakibatkan jatuhnya banyak monarki.

Tapi persaingan yang dimulai sekitar 20 tahun lalu akhirnya mengakibatkan perseteruan minggu lalu dan menghancurkan citra keluarga kerajaan sebagai badan pemerintahan yang kuat, solid, dan stabil.

Ketika Raja Yordania Al Hussein bin Talal meninggal karena kanker pada tahun 1999, Abdullah dinobatkan sebagai raja dan adik tirinya, Hamzah, diberi gelar putra mahkota Yordania. Penunjukan itu untuk menghormati Raja Hussein, yang memerintah selama 47 tahun dan dikenal paling menyukai Hamzah di antara 12 anaknya dari empat pernikahan.

Namun, pada tahun 2004, Raja Abdullah II melepaskan Pangeran Hamzah dari gelarnya  sebagai putra mahkota dan pada tahun 2009 menunjuk putranya yang masih remaja, Pangeran Al Hussein, sebagai putra mahkota Yordania yang baru. Tindakan tersebut selain dapat mengkonsolidasikan kekuasaan Raja Abdullah II juga menimbulkan rasa tidak suka di kalangan para pendukung Pangeran Hamzah dalam jajaran elit penguasa.

Hubungan antara Raja Abdullah II dan Pangeran Hamzah rusak setelah pengangkatan putra mahkota baru. Tetapi kedua tokoh ini cukup berhasil menyembunyikan ketegangan di antara mereka di depan publik dalam waktu yang sangat lama.

Namun, banyak hal mulai berubah selama beberapa tahun terakhir. Ketika popularitas Pangeran Hamzah meningkat, raja mulai memandangnya sebagai ancaman terhadap otoritasnya. Dia mencabut gelar militer saudara tirinya tersebut. Sikap ini jelas menunjukkan niatnya untuk menjauhkan Pangeran Hamzah dari pemerintahan Yordania untuk selamanya. 

Sebagai reaksinya, Pangeran Hamzah mulai berbicara di depan umum tentang salah urus negara dan adanya korupsi. Pangeran Hamzah menampilkan dirinya sebagai tokoh anti-korupsi yang dihormati di mata publik.

Selama tiga tahun terakhir, dia juga mengadakan banyak pertemuan dengan para pemimpin suku Yordania. Dalam pertemuan tersebut, pemerintah berulang kali dikritik karena gagal memberantas korupsi dan memulihkan kembali kepercayaan publik.

Baca juga :   Indonesia Serukan Deeskalasi Konflik di Timur Tengah

Ketika Pangeran Hamzah berhasil menjadikan dirinya sebagai bangsawan yang rendah hati yang memahami kekhawatiran dan perjuangan rakyat Yordania pada umumnya, Putra Mahkota Al Hussein gagal membuat kesan positif di depan publik.

Semua ini meningkatkan kekhawatiran Raja Abdullah II tentang masa depan pemerintahannya dan membuka jalan bagi keretakan publik pada 3 April 2021.

Raja seharusnya tidak terlalu merasa tergangu dengan keberadaan Pangeran Hamzah seandainya dirinya lebih proaktif dalam upaya mengatasi tantangan politik dan menghadapi ekonomi negara.

Sejak naik takhta pada 1999, Raja Abdullah II dan elit penguasa di sekitarnya tidak menjadikan reformasi pemerintahan sebagai prioritas utama.

Sementara itu, raja menampilkan dirinya ke Barat sebagai seorang reformis yang berkomitmen. Namun kenyataannya Raja Abdullah II ini gagal mendukung retorika ini. Ia gagal mentransisikan Yordania dari otokrasi ke demokrasi.

Memang paket reformasi sederhana yang ditawarkannya setelah serangkaian demonstrasi selama Musim Semi Arab terbukti cukup ampuh untuk meredakan ketegangan dan menenangkan Barat. Namun paket ini tidak memuaskan sejumlah besar penduduk Yordania yang ingin hidup dalam demokrasi.

Raja selalu berpikir bahwa rakyat Yordania akan terus mendukungnya meskipun tanpa adanya reformasi struktural yang berarti. Baginya asal bisa memastikan perekonomian berfungsi dengan baik, ia akan tetap didukung sepenuhnya oleh rakyat. Namun, Yordania saat ini sedang berjuang secara ekonomi. Pengangguran kaum muda sedang meningkat, dan banyak orang Yordania yang takut akan masa depan.

Lebih penting lagi, terkait tantangan ekonomi ini, rakyat Yordania tampaknya kehilangan kepercayaan terhadap kemampuan raja untuk menjaga Yordania tetap stabil secara politik, makmur secara ekonomi, dan aman dari ancaman eksternal di tahun-tahun mendatang.

Jajak pendapat dalam beberapa tahun terakhir berulang kali menunjukkan bahwa mayoritas orang Yordania yakin bahwa negara di bawah kepemimpinan Raja Abdullah II ini sedang menuju ke arah yang keliru.

Oleh karena itu, dapat dimaklumi bahwa raja semakin terpojokkan dengan kebangkitan seorang pangeran muda yang berhasil menampilkan dirinya kepada publik sebagai sosok antikorupsi yang jujur ​​yang memahami perjuangan rakyat biasa.

Sejauh ini, pemerintah Yordania tidak memberikan bukti apa pun untuk mendukung klaim bahwa Pangeran Hamzah bersekongkol dengan pihak asing untuk mengguncang stabilitas negara. Meskipun identitas pihak asing ini tidak diketahui publik, namun tersirat kuat oleh tokoh-tokoh yang dekat dengan pemerintah bahwa Israel merupakan pihak asing tersebut.

Baca juga :   Indonesia Serukan Deeskalasi Konflik di Timur Tengah

Memang, pemerintah Israel punya banyak alasan untuk mencoba dan memanipulasi pemerintah Yordania untuk mendukung kepentingannya. Yordania telah lama menjadi pembela utama hak-hak Palestina dan enggan memiliki hubungan mesra dengan Israel seperti yang sudah dilakukan oleh beberapa negara Arab yang dipimpin oleh Arab Saudi.

Tetapi karena pemerintah Yordania menahan diri untuk tidak secara resmi menuduh kekuatan asing yang berkonspirasi dengan Pangeran Hamzah, semakin banyak orang Yordania yang curiga bahwa pemerintah sedang tidak mengatakan yang sebenarnya.

Beberapa bahkan sampai menuduh pemerintah secara tidak berdasar. Tuduhan pemerintah terhadap keterkaitan Pangeran Hamzah dengan Israel agar yang terakhir ini tidak memiliki basis legitimatif terhadap gerakan-gerakan yang dilakukannya. Ada kecurigaan yang muncul di negara tersebut bahwa krisis politik ini memang dilakukan untuk menyingkirkan Pangeran Hamzah sebagai pengganti Raja Abdullah II dalam keluarga kerajaan.

Pada tanggal 7 April, raja secara terbuka berbicara mengenai keretakan hubungan di tubuh kerajaan untuk pertama kalinya dalam sebuah surat yang dibacakan di televisi. Keretakan hubungan ini terkait persekongkolan sebagian keluarga kerajaan dengan pihak asing untuk menjatuhkannya. Namun dia menahan diri untuk tidak memberikan rincian lebih lanjut atau menjelaskan entitas asing mana yang telah terlibat dalam dugaan komplotan melawan pemerintahannya. 

Pernyataan Raja Abdullah II yang sebenarnya bertujuan untuk meyakinkan publik bahwa semuanya sedang dalam baik-baik saja di dalam tubuh kerajaan gagal untuk menenangkan kecemasan yang muncul di kalangan rakyat Yordania.

Yang publik harapkan adalah raja berkomitmen untuk mengubah pendekatannya dalam memerintah Yordania agar tidak menjadi negara miskin. Raja Abdullah II, bagaimanapun juga, tampak lebih tertarik untuk menghilangkan saingannya daripada mengatasi masalah nyata yang mengancam masa depan pemerintahannya.

Peristiwa bulan ini hanyalah gejala, bukan sebab bagi krisis yang terjadi di Yordania. Masalah negara bukan pada soal adanya konspirasi entah itu nyata atau hanya khayalan, tetapi pada keengganan para penguasanya untuk melaksanakan reformasi yang sangat dibutuhkan.

Jika raja tidak bertindak cepat untuk mengatasi protes dan keluhan yang menyebabkan meningkatnya popularitas Pangeran Hamzah, suatu hari Yordania dapat kehilangan statusnya sebagai negara Timur Tengah yang menjadi oasis bagi keamanan, perdamaian dan stabilitas. Yordania akan menjadi cengkraman asing jika memang tidak mampu merestorasi pemerintahannya.

 

What's your reaction?

Related Posts

1 of 300