Global ReviewPolitik

Global Review: Menimbang Alasan Pakistan Lebih Pilih China Ketimbang Saudi

Hubungan dekat antara Pakistan dan Arab Saudi baru-baru ini menemui jalan buntu. Keretakan ini dipicu oleh perbedaan kebijakan menanggapi keputusan India tahun lalu untuk mencabut otonomi khusus bagi wilayah Jammu dan Kashmir, negara mayoritas Muslim yang juga diklaim oleh Pakistan. 

Para pejabat Pakistan telah berulang kali mendesak Arab Saudi untuk mengadakan pertemuan Organisasi Kerja Sama Islam, atau OKI, untuk membahas Kashmir, namun usaha ini tidak berhasil. Akhirnya, pada awal Agustus 2020, menteri luar negeri Pakistan, Shah Mahmood Qureshi, mengambil langkah politik baru dengan mengkritik Arab Saudi secara terbuka.

Tampil di acara bincang-bincang TV, Qureshi mengancam “mengadakan pertemuan dengan negara-negara Islam yang siap untuk bekerja sama terkait masalah Kashmir dan mendukung orang-orang Kashmir yang tertindas.”

Jika kritik ini disampaikan untuk mempermalukan Arab Saudi secara terbuka, jelas kritik ini gagal. Riyadh menanggapi kritik ini dengan menuntut pembayaran awal pinjaman $ 3 miliar ke Pakistan dan menolak memperbarui kredit minyak senilai $ 3,2 miliar. Putra Mahkota Saudi Mohammed bin Salman juga menolak untuk bertemu dengan panglima militer Pakistan ketika dia mengunjungi Riyadh segera setelah kritik yang dikemukakan Qureshi sebelumnya.

Meskipun Qureshi dikecam keras di dalam negeri karena telah mengkritik Saudi sebagai  mitra diplomatik lama Pakistan, fakta bahwa tidak ada kecaman dari militer Pakistan terhadapnya dapat menjelaskan banyak hal.

Di Pakistan, militer memiliki suara yang sangat besar dan absolut tentang kebijakan luar negeri. Tidak mungkin Qureshi atau tokoh senior lainnya dari pemerintahan Perdana Menteri Imran Khan akan melakukan kritik terhadap Saudi  tanpa persetujuan militer.

Kritik ini menandai hubungan yang retak antara Pakistan dan Arab Saudi. Hal ini jelas dalam kaitannya dengan Kashmir. Dalam sebuah wawancara pada pertengahan Agustus, Khan memang menilai “rumor hubungan Pakistan dengan Arab Saudi telah memburuk” sebagai salah, tetapi dirinya juga mengakui bahwa Arab Saudi “memiliki kebijakan luar negerinya sendiri.” Menurutnya, tak selamanya dua mitra harus selalu sependapat dalam banyak hal. 

Namun demikian, kritik Qureshi tidaklah terjadi secara spontan. Kritik ini merupakan cerminan kekecewaan selama berbulan-bulan karena Saudi tidak berbuat apa-apa untuk Kashmir.

Kenyataannya memang bagi Saudi, India memiliki lebih banyak keuntungan yang bisa ditawarkan daripada Pakistan terutama soal pasar investasi, perdagangan bilateral, dan bobot geopolitik. Dalam perdagangan bilateral, India memberikan keuntungan tiap tahunnya sebesar $ 33 miliar bagi Saudi Arabia. Jumlah keutungan ini jelas 10 kali lipat lebih besar daripada dengan Pakistan. Maka, tidak mengherankan jika Saudi Arabia enggan membatalkan kemitraan dengan India hanya untuk menguntungkan Pakistan.

Pada saat yang sama, kecil kemungkinan bagi Pakistan untuk memulihkan kembali secara cepat kebijakan luar negeri dan hubungan diplomatisnya dengan Arab Saudi. Langkah-langkah politik memang segera dilakukan untuk mengatasi krisis diplomatik dengan Arab Saudi. Selain kunjungan panglima militer ke Riyadh, Kementerian Luar Negeri Pakistan mengeluarkan pernyataan yang memuji upaya Saudi dan OKI di masa lalu di Kashmir. Namun sepertinya menemui kebuntuan.

Pakistan memiliki banyak ketergantungan pada Arab Saudi terutama karena Saudi membantu keuangan Pakistan dalam jumlah besar. Selain itu, Arab Saudi juga berjasa bagi Pakistan karena telah melakukan pengiriman minyak dengan pembayaran yang bisa ditangguhkan.

Saudi telah membantu Pakistan dalam berbagai sektor, terutama dalam menopang cadangan devisa atau dalam mengatasi krisis utangnya. Selain itu, pekerja migran Pakistan di Arab Saudi juga telah menyumbangkan seperempat dari total pemasukan uang Pakistan dari luar negeri.

Namun, saat ini Pakistan ingin mencoba mengurangi ketergantungannya pada Arab Saudi. Pakistan ingin mengurangi pengaruh Saudi atas politik dalam negeri dan kebijakan luar negerinya. Penataan kembali kebijakan luar negerinya, terutama keinginan untuk terlepas dari bantuan Saudi Arabia, akan dilakukan Pakistan secara bertahap, dan tampaknya memang sedang berlangsung saat ini.

Salah satu indikasi dari keinginan untuk terlepas dari Saudi ini adalah keputusan awal Pakistan untuk berpartisipasi dalam KTT yang diselenggarakan Malaysia dan negara-negara mayoritas Muslim pada Desember 2019.

Pertemuan tersebut tidak disetujui Arab Saudi dan sekutunya di Teluk, tetapi dihadiri oleh saingan politik Saudi seperti Qatar, Iran dan Turki. Meskipun Pakistan enggan menarik diri dari KTT ini pada menit-menit terakhir di bawah tekanan Saudi, Imran Khan sangat ingin meningkatkan hubungan dengan Iran dan Turki sejak pertama kali menjabat. 

Dia secara terbuka mengakui Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan sebagai salah satu mentor politiknya. Meskipun Pakistan tidak mendorong pembentukan blok negara Islam tersendiri seperti yang tersirat dalam ancaman Qureshi, tidak mungkin bagi Pakistan akan terus untuk menghormati Arab Saudi dengan mengorbankan hubungan dengan Turki dan Iran.

Secara khusus, Iran dan Turki menawarkan Pakistan kesempatan untuk membangun koalisi negara-negara Muslim untuk menekan India. Aliansi semacam ini sangat penting bagi strategi kebijakan luar negeri Pakistan, terutama karena Pakistan sedang mencari dukungan luar negeri untuk posisinya di Kashmir.

Pemerintah Turki dan Iran memiliki kebijakan yang kontras dengan Saudi. Mereka sangat kritis terhadap kebijakan India dan penganiayaan yang dirasakan minoritas Muslim India di bawah pemerintahan Perdana Menteri Narendra Modi.

Kedua negara ini menghadapi reaksi keras dari India. Erdogan, dalam upayanya untuk memosisikan dirinya sebagai pendukung perjuangan Muslim di seluruh dunia, sangat kritis dengan masalah Kashmir. Ia menyebut tindakan India telah mencabut “kebebasan dan hak rakyat Kashmir”.

Bahkan yang membuat India panas dingin ialah ketika Erdogan kembali mengangkat masalah Kashmir di Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa bulan September 2020. Erdogan mengklaim bahwa Kashmir “masih menjadi masalah utama yang perlu dituntaskan.”

Namun, pada akhirnya, Pakistan lebih percaya pada China sebagai mitra terdekat. Kedekatan dengan China semakin mampu mendorong Pakistan untuk berani menghadapi tekanan Arab Saudi. China mungkin sudah berperan sebagai penopang ekonomi dan pendukung politik bagi Pakistan.

Bagi China, jika semakin kuat pengaruhnya, Pakistan akan menjadi kekuatan penyeimbang yang efektif melawan saingannya, India. China juga menjadi pendukung secara terbuka bagi posisi Pakistan di Kashmir selama setahun terakhir. Ketika hubungan China dengan India semakin memburuk di tengah ketegangan perbatasan yang mengakibatkan bentrokan berdarah pada bulan Juni, Pakistan dapat mengharapkan lebih banyak dukungan dari China. 

Beberapa analis telah menyarankan agar China mendukung penuh keputusan pemerintah Pakistan baru-baru ini yang ingin mengubah Gilgit-Baltistan, bagian dari wilayah Kashmir yang dikuasai Pakistan, menjadi provinsi penuh sebagai pembalasan atas pencabutan otonomi Kashmir oleh India.

Bahkan ketika hubungan diplomatik Pakistan dengan Saudi retak pada bulan Agustus, China segera memberikan pinjaman $ 1 miliar ke Pakistan untuk mengembalikan dana yang diminta oleh Arab Saudi. China memang telah memberikan bantuan keuangan bagi Pakistan, terutama dalam melewati masa-masa sulit.

Program Ekonomi China-Pakistan yang meliputi berbagai proyek infrastruktur bernilai miliaran dolar terus menjadi program andalan Belt and Road Initiative China. Maka dari itu, kemungkinan besar pernyataan Imran Khan baru-baru ini menyiratkan bahwa masa depan ekonomi Pakistan sekarang akan bergantung pada China.

Namun, bantuan keuangan dari China tentunya bukan tanpa masalah. Terlepas dari kekhawatiran di Pakistan tentang investasi China yang menimbulkan utang dan implikasi strategisnya serta adanya sinyal bahwa bantuan ekonomi China akan dikurangi di tahun-tahun mendatang, pemerintahan Khan telah menegaskan kembali komitmennya terhadap CPEC (China-Pakistan Economic Corridor). Sejumlah proyek penting telah dihidupkan kembali. Proyek ini telah dimulai dalam beberapa bulan terakhir, dan militer telah turun tangan untuk memainkan peran dalam pelaksanaannya. 

Dalam analisis biaya dan manfaat (Cost-Benefit Analysis) dari penataan kembali kebijakan luar negeri jangka panjangnya, Pakistan saat ini tampaknya lebih siap menghadapi potensi risiko yang berasal dari bantuan keuangan China daripada Saudi.

What's your reaction?

Related Posts

1 of 826