berita klikersInfo KlikersKlik NewsPolitikSosial Budaya

Bung Karno dan Cetak Biru Pembangunan Manusia dan Kebudayaan

Prof. Dr. Hafid Abbas (Ketua Senat Universitas Negeri Jakarta)

Pada 21 Februari 1959, satu analogi menarik dari isi kuliah umum Presiden Soekarno di hadapan para mahasiswa, dosen dan seluruh unsur sivitas akademika UGM di kampus UGM. Mengawali kuliah umumnya, pada saat itu, Bung Karno mengomentari cara ananda Lina, mahasiswa UGM, yang baru saja selesai memimpin lagu Indonesia Raya. Kepemimpinan Lina itu dianalogikan oleh Bung Kano bagaimana membangun Indonesia berdasarkan Pancasila.

Selanjutnya, Bung Karno mengemukakan: “Di dalam penyelenggaraan masyarakat adil dan makmur semua memberikan tenaganya. Insinyur-insinyur memberi tenaganya, dokter-dokter memberi tenaganya, tukang-tukang gerobak memberi tenaganya, ahli-ahli ekonomi memberi tenaganya, semua memberi tenaganya. Bercorak macam, tetapi toh menjadi satu harmoni, menyusun satu masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila.

Tadi juga demikian, macam-macam suara saya dengar. Tetapi di bawah pimpinan ananda Lina, bukan main merdunya. Saya dengar ada suara bas; saya dengar ada suara laki-laki tetapi sopraan, seperti burung sikatan suara itu. Saya mendengar ada suara yang gemetar, ada suara yang betul-betul bergelora, tetapi semuanya bersama-sama memperdengarkan satu lagu “Indonesia Raya” yang membangkitkan keharuan hati”

Analogi harmoni pemikiran Bung Karno ini terlihat pula serupa dengan harmoni pemikiran Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) RI, Muhadjir Effendy, ketika mengemukakan pidato kuncinya (keynote address) tentang cetak biru (blueprint) PMK pada malam pembukaan Konferensi Forum Fakultas Ilmu Pendidikan dan Jurusan Ilmu Pendidikan (FIP-JIP), 5 Juli 2023 di Hotel Alana Yogyakarta, yang dihadiri oleh berbagai perguruan tinggi negeri dan swasta di tanah air, dan sejumlah pembicara dari Australia, Taiwan dan AS,

Kerangka pemikiran berupa lingkaran itu memperlihatkan siklus perkembangan dan perjalanan hidup manusia mulai dari fase pranikah hingga usia lanjut. Tidak ada fase dari keseluruhan siklus perkembangan itu yang hanya menjadi tanggungjawab satu pihak atau satu institusi atau satu kementerian. Isu stunting misalnya memerlukan penanganan lintas sectoral, komprehensif dan memerlukan dukungan masyarakat luas karena sifat substansi dan persoalannya amat kompleks.

Baca juga :   Maminasata: Gowa Menatap Ke Depan

Isu stunting sebagai contoh yang dialami anak yang kekurangan gizi, tumbuh lebih pendek dari standar balita seusianya, penyebabnya bermacam-macam, bisa saja bersumber dari perkawinan usia muda yang saat ini angkanya dinilai masih amat tinggi.

Data BPS (2022) memperlihatkan jumlah yang menikah di bawah usia 15 tahun baik laki-laki atau pun perempuan masih di angka 2,26%; nikah di usia 16-18 tahun berjumlah 19,24%; nikah di usia 19-21 tahun 33,76%; nikah di usia 22-24 tahun 27,07%; dan nikah di usia 25-30 tahun 17,67%. Penyebabnya bermacam-macam, ada yang dipengaruhi oleh faktor sosial, budaya, ekonomi, dsb.

Dengan peta fase-fase siklus perkembangan manusia ini, setiap fase memerlukan kehadiran begitu banyak pihak. Penanganan stunting misalnya, memerlukan tenaga kesehatan, tenaga pendidikan, pemuka agama, ahli gizi, psikolog, dsb. Namun, kontribusi mereka masing-masing tetap dalam satu bingkai harmoni yang sinergis, beragam warna seperti yang tergambar begitu indah di lingkaran cetak biru pemikiran PMK seperti di pemaparan Muhadjir.

Kembali kepada Lina, Bung Karno menuturkan: “Meskipun bermacam-macam alat, tetapi oleh karena ada pimpinan, pertama pimpinan daripada satu lembaran kertas, apa namanya itu noot, bahasa Indonesianya not.

Pola pembangunan yang dibuat oleh Dewan Perangcang Nasional ini, itulah kertas nootnya. Penyelenggara dari-pada pola ini, masyarakat ini tadi, yang terutama sekali terdiri daripada tenaga¬-tenaga fungsionil, menyelenggarakan pola ini bersama-sama di dalam satu irama yang merdu sehingga terselenggaralah masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila …”
Tiga Ragam Kertas Noot

Baca juga :   Kebijakan MBKM dan Pelaksanaan Ferienjob di Jerman

Kepemimpinan Lina dalam menyanyikan Indonesia Raya, cetak biru penuntun yang memandunya adalah Noot Balok Indonesia Raya. Lina sebagai pemimpin dapat saja berganti setiap saat, tetapi Noot Baloknya akan tetap jadi panduan bagi siapa pun yang akan memimpin lagu Indonesia Raya.

Begitu pula kepemimpinan Bung Karno untuk mencapai masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila, ia akan dipandu oleh nootnya sendiri yakni Pola Pembangunan yang telah dipersiapkan oleh Dewan Perancang Nasional yang di kala itu dipimpin oleh Muhammad Yamin.

Demikian pula kepemimpinan Muhadjir Effendy yang mengkoordinir urusan di bidang PMK, ia akan dipandu oleh nootnya sendiri yakni cetak biru lingkaran siklus PMK dengan beragam warna dengan sejumlah lapisan-lapisan lingkaran. Isi dari cetak biru itu, kelihatannya (dari berbagai sumber), intinya seperti berikut.

Fase pertama adalah prenatal dan ASI atau disebut juga 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK). Pada fase ini yang menjadi perhatian adalah memastikan kecukupan gizi dan pola asuh bayi, dan balita, untuk mencegah gagal tumbuh atau stunting. Pada fase ini diakui amat rumit dan penanganannya tidak mudah, memerlukan dukungan banyak pihak, namun tetap dalam bingkai sinergitas yang harmonis antara semua kalangan terkait baik di pusat atau pun di daerah, baik dari unsur pemerintah atau bukan.

Fase kedua adalah usia dini anak yakni fase yang penting dalam perkembangan karakter anak. Pemerintah telah menginisiasi beragam upaya, seperti: Program Pendidikan Anak Usia Dini Holistik Integratif (PAUD-HI) yang memaksimalkan kemampuan kognitif anak, di antaranya stimulasi psikologis, pola asuh yang tepat, pemberian makan yang tepat, termasuk pembiasaan pada nilai-nilai karakter yang baik.

Baca juga :   Pemilu 2024, Keteladanan Al Gore, Suara Kampus dan Pesan Surya Paloh

Fase ketiga adalah masa wajib belajar atau fase investasi sekolah melalui Wajib Belajar 12 Tahun dan penguatan pendidikan karakter.

Fase keempat adalah masa di perguruan tinggi atau vokasi yang menargetkan peningkatan produktivitas dan daya saing SDM. Hal ini dibutuhkan agar Indonesia siap menghadapi bonus demografi yang diprediksi akan terjadi pada 2030 mendatang, meski saat ini sudah terdapat beberapa kabupaten dan provinsi yang sudah menikmati bonus demografinya masing-masing karena jumlah penduduk usia produktifnya mencapai 2/3 dari total jumlah penduduk.

Fase kelima adalah fase produktif yakni fase memasuki dunia kerja serta membangun keluarga berkualitas. Sejumlah negara di dunia sudah memasuki aging population, penduduk usia mudanya yang produktif semakin berkurang, seperti Jepang, Rusia, beberapa negara di Eropah Barat dan skandinavia, dsb.

Fase keenam, adalah lansia dimana pada fase ini diharapkan bisa diwujudkan lansia yang sehat, mandiri, aktif, dan bermartabat.

Dalam mengimplementasikan keenam fase tersebut, Kantor Kementerian PMK mengkoordinir pelaksanaan sejumlah program, di antaranya Gerakan Masyarakat Sehat (Germas), Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), Bantuan Sosial (Bansos), Revolusi Mental dan Pembangunan Kebudayaan, Penanggulangan Bencana dan Disabilitas.

Terakhir, semoga dengan kehadiran cetak biru siklus PMK itu akan sungguh-sungguh dijadikan sebagai kertas noot masing-masing pihak terkait baik dari unsur pemerintah atau bukan, baik instansi pusat atau pun daerah dalam melaksanakan seluruh kegiatannya masing-masing sehingga terselenggaralah satu harmoni pembangunan manusia Indonesia dan kebudayaan yang kita dambakan bersama.

What's your reaction?

Related Posts

1 of 3,772

Leave A Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *