Opini

Puasa dan Pemberdayaan Nalar

Oleh: Ridwan Arif, Ph.D (Pengajar Universitas Paramadina)

Menurut filsuf Muslim pertama, al-Kindi, jiwa manusia mengandung tiga daya yaitu daya syahwat (al-quwwah al-syahwaniyah), daya amarah (al-quwwah al-ghadabiyah) dan daya rasional (al-quwwah al-’aqliyah).

Daya syahwat adalah daya yang membuat manusia mendekati sesuatu, daya amarah yang membuat seseorang menjauhi sesuatu dan daya rasional adalah daya yang mendorong manusia untuk mendapatkan keutamaan dan kesempurnaan. Dua daya yang pertama juga dimiliki oleh hewan. Sedangkan daya yang ketiga adalah khas manusia.

Menurut pengarang tafsir al-Shawi, daya syahwat cenderung mendorong manusia melakukan perbuatan maksiat; daya amarah cenderung mendorong manusia melakukan perselisihan, pertengkaran, konflik, pembunuhan bahkan peperangan.

Itulah sebabnya , ketika Allah SWT menyampaikan keputusan-Nya untuk mengangkat manusia sebagai khalifah-Nya di bumi, para malaikat berkata “Apakah Engkau menciptakan di bumi orang yang berbuat kerusakan (maksiat) dan menumpahkan darah?”.

Ini karena malaikat mengetahui bahwa manusia, yang diciptakan sebagai makhluk pengemban jabatan khalifah di bumi tersebut, memiliki daya syahwat dan daya amarah. Tetapi malaikat gagal melihat adanya daya ketiga yang dimiliki manusia yaitu daya rasional.

Merupakan kodrat manusia memiliki tiga daya di atas. Walaupun daya syahwat dan amarah memiliki kecenderungan negatif, namun keduanya juga memiliki aspek positif.

Bagaimanapun, manusia membutuhkan kedua daya tersebut. Daya syahwat diperlukan karena kodrat manusia memerlukan makan, minum dan seks untuk pertumbuhan dan perkembangan badan (jasmani) dan; untuk mendapatkan keturunan.

Baca juga :   Empat Hikmah Sosial dalam Puasa Ramadhan: Memperdalam Spiritualitas dan Memperkaya Kehidupan

Daya amarah diperlukan karena manusia perlu keberanian dalam mempertahankan diri. Kalau dua daya ini tidak ada pada manusia, niscaya mereka tidak akan mencapai keselamatan dan kesempurnaan dalam hidupnya.

Yang tidak bersyahwat dan berperasaan marah, akan ditindas oleh orang yang berperasaan marah. Fungsinya pada diri manusia ialah sebagai penjaga keselamatannya, bukan untuk pengganggu dan penyerang keselamatan orang lain.   

Namun, daya syahwat yang tidak terkendali akan membawa manusia kepada kesengsaraan dan kehinaan.

Syahwat menimbulkan keinginan (hasrat). Hasrat yang kuat kepada sesuatu (rindu), terkadang membuat manusia lupa tentang mana yang patut dan mana yang janggal, mana yang boleh dan mana yang dilarang. Ketika itulah dia kerap kehilangan pedoman.

Daya syahwat yang tidak terkendali akan membuat manusia hanya cenderung memberi perhatian kepada aspek jasmani dan mengabaikan pertumbuhan rohani; bersungguh-sungguh memburu hal-hal yang bersifat materi dan tidak memberi perhatian kepada aspek rohani (spiritual); hanya sibuk dengan urusan duniawi (kedisinian dan kekinian) dan melupakan kehidupan akhirat yang abadi.

Lebih celakanya lagi kegagalan dalam mengendalikan daya syahwat membuat manusia bersikap dan bertindak melampaui batas, melakukan hal-hal dilarang oleh Rabb-nya (maksiat).   

Daya amarah yang tidak terkontrol juga akan menyebabkan manusia terjerumus kepada kesengsaraan dan kehinaan abadi.

Daya amarah yang tidak terkendali juga cenderung membuat manusia bertindak melampaui batas. Di sinilah pentingnya daya yang ketiga yaitu daya rasional (akal).

Baca juga :   Puasa Pemimpin

Dengan akal, manusia bisa mengendalikan daya syahwat dan daya amarahnya sehingga dua daya tersebut tidak menjerumuskannya kepada kehinaan, melainkan mengantarnya kepada keutamaan dan kebahagiaan. Manusia yang bijaksana adalah yang bijak mengelola daya syahwat dan daya amarah yang dimilikinya, sebagaimana dikatakan Buya HAMKA, “Ia tidak membangkitkan angan-angan nafsu, tidak mencari dan mengorek yang akan menimbulkan marah.

Melainkan dibiarkannya syahwat dan nafsunya tinggal tenteram. Digunakannya syahwat dan marah itu bukan untuk menyerang tetapi untuk mempertahankan diri”.  

Orang berakal mampu menempatkan keduanya di pertengahan. Daya syahwat yang lemah juga berakibat tidak baik. Lemahnya daya syahwat bisa membuat seseorang menjadi pemalas, kurang bersemangat menjalani hidup.

Padahal manusia dituntut untuk giat bekerja/beraktivitas di dunia ini baik dalam upaya pemenuhan kebutuhan diri dan keluarganya maupun dalam konteks memberikan kontribusi bagi pembangunan peradaban sebagai bentuk penunaian fungsi manusia di bumi sebagai khalifah Allah.

Sementara itu daya syahwat yang berlebihan cenderung membawa manusia kepada sikap dan tindakan yang melampaui batas seperti dikemukakan di atas.     

Begitu juga dengan daya amarah. Daya amarah yang lemah disebut penakut/pengecut (jubun). Orang yang jubun tidak marah ketika situasi sudah menuntutnya untuk marah.

Sifat jubun menimbulkan rasa rendah diri. Tidak mampu tampil ke depan pada waktu ia mesti tampil ke depan.  

Menurut buya hamka, jubun adalah salah satu sumber segala sifat tercela dan bahayanya sangat besar. Orang jubun suka saja menerima kehinaan, asal kesenangan jasmani jangan terganggu.

Baca juga :   Sambut Bulan Suci Ramadhan, ICMI Muda Nunukan Bikin Kajian Bertema Toleransi

Dia ingin kesenangan tapi takut kematian. Dia tak peduli harta bendanya atau keluarganya dizalimi orang, baik dirinya, apalagi tanah air dan agamanya.

Daya amarah yang berlebihan disebut berani babi (tahawwur). Buya hamka menjelaskan, tahawwur ialah keberanian manusia menempuh suatu hal, padalah menurut pertimbangan akal yang waras hal itu tidak boleh ditempuh.

Orang yang memiliki sifat tahawwur kurang memiliki pertimbangan. Karena itu sifat ini sering membawa risiko bagi pemiliknya.

Daya amarah yang seimbang disebut pemberani (syaja’ah). Inilah sifat yang sehat. Yaitu berani karena benar dan takut karena salah.

Kendati semua manusia dibekali daya rasional, namun tidak semua manusia mampu mengendalikan daya syahwat dan daya amarahnya dengan daya rasional yang dimilikinya.

Tidak jarang dua daya yang pertama mengalahkan dan mendominasi daya rasional. Hanya rasional yang aktual dan memiliki daya yang kuat yang mampu mengendalikan dua daya yang pertama.

Karena itu diperlukan upaya agar seseorang memiliki daya rasional yang kuat. Salah satu hikmah Puasa ialah upaya melatih jiwa dengan meredam syahwat dan amarah dengan menahan diri dari makan, minum, berhubungan suami-istri dan; mengendalikan amarah.

Peredaman kedua sifat ini bertujuan untuk memberdayakan daya rasional. Karena hanya daya rasional yang kuatlah yang mampu mengendalikan daya syahwat dan daya amarah.      

What's your reaction?

Related Posts

1 of 143