Ekonomi

Fahira Idris: Wisata “Halal”, Bukan Ancaman Terhadap Budaya Lokal.

Belakangan muncul kekhawatiran akan tergerusnya budaya khas daerah atau budaya lokal karena menggeliatnya industri wusata “halal” di Indonesia.

Kekhawatiran tersebut direspon oleh Fahira Idris, dimana menurutnya wisata halal tidak ada kaitanya dengan ancaman tergerusnya budaya lokal.

“Jangan karena ada kata ‘halal’, muncul di sebagian kalangan yang mempersepsikan bahwa dengan munculnya wisata halal sebuah daerah akan berdampak berubahnya budaya lokal”. Demikian kata Fahira Idris.

“Jadi jangan dipersepsikan atau dibenturkan dengan budaya setempat. Karena wisata halal ini adalah salah satu cara pengembangan wisata untuk menangkap peluang dan memajukan industri pariwisata,” jelas Senator Jakarta ini,” Tambah Fahira.

Wisata halal ini kan lebih ke soal fasilitas dan pelayanan, bukan atraksi budayanya dibatasi apalagi diganti sebab itulah daya tarik wisata daerah tersebut,” ungkap Fahira Idris, di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta (1/3).

Wisata halal sebenarnya bukan wacana atau diskursus yang baru dalam industri pariwisata. Bahkan dibanding Indonesia, negara-negara lain di Asia seperti, Jepang, Thailand, Korea Selatan, Malaysia dan Eropa terutama Rusia sudah mulai mengimplementasikannya.

Wisata halal mendapat sambutan baik dari wisatawan muslim dari seluruh dunia. Bahkan, saat ini, kota-kota di Jepang seperti Tokyo, Osaka, Hokkaido, Himeji, dan diikuti kota-kota lain di Jepang, sedang menargetkan wisatawan muslim asal Indonesia dengan serius menggarap wisata halal.

Anggota DPD RI atau Senator Fahira Idris mengungkapkan, saat ini banyak negara sedang berlomba menarik hati wisatawan muslim dunia dengan menyediakan berbagai fasilitas pendukung (hotel melati/berbintang, café, spa, tempat makan/kuliner, fasilitas ibadah, toilet, dan lainnya) yang bisa memenuhi kebutuhan dan kenyamanan wisatawan muslim selama berlibur di sebuah destinasi wisata.

Potensi wisata halal ini menggeliat seiring terus tumbuhnya nilai transaksi pasar wisata muslim. Berdasarkan perkiraan Global Muslim Travel Index (GMTI), nilai transaksi wisata muslim bisa mencapai US$ 220 miliar pada 2020.

“Jadi (wisata halal) lebih ke pengembangan fasilitas dan peningkatan layanan di berbagai destinasi wisata bagi wisatawan muslim agar lebih nyaman saat berlibur.

Walau mengembangkan wisata halal, sambung Fahira, Tokyo akan tetap jadi Tokyo dengan keunikan budayanya. Bangkok akan tetap jadi Bangkok dengan keeksotisan budayanya, dan Bali tetap akan menjadi Bali dengan berbagai kekayaan dan keindahan atraksi budaya serta kearifan lokalnya yang sudah sangat terkenal di dunia.

Menurut Fahira, wacana atau diskursus wisata halal, yang sebenarnya bukan hal baru dan bahkan sudah dipraktikkan oleh negara-negara yang penduduk muslimnya minoritas.

Karenanya, wisata halal sebaiknya dilihat dari ikhtiar dan upaya menjadikan pariwisata benar-benar menjadi andalan dan tulang punggung perekonomian bangsa.

Karena memang, industri pariwisata adalah industri yang paling tahan terhadap ancaman gelombang krisis.

Presiden Klikers Indonesia, Peneliti, penulis, pembelajar, ayah dari dua anak

What's your reaction?

Related Posts

1 of 344

Leave A Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *