HeadlineOpini

Perempuan di Panggung Politik, Sepi…

Perempuan: lahir, hidup, dan mati. Seharusnya, dia tidak teralienasi. Tidak terasingkan. Perempuan, seharusnya  menyelesaikan masalahnya: pribadi, keluarga, bangsa, negara. Bukankah perempuan adalah tiang?

Seharusnya, keadilan di muka bumi ini ditegakkan oleh setiap laki-laki dan perempuan. Ini, jika keduanya memiliki kesadaran eksistensial. Memahami hakikat dirinya sebagai manusia. Keduanya, memiliki potensi yang setara dalam mengaktualisasikan diri.

Begitu pula dalam politik. Perempuan, sama dengan laki-laki,  memiliki hak dan kewajiban di panggung politik. Ini prinsip keadilan, yang termaktub dalam Pancasila dan konstitusi Indonesia.

Perempuan dalam dunia politik, tidak semata-mata menuntut kesetaraan. Tapi memiliki tujuan mulia. Perkembangan politik  telah mengalami degradasi dan reduksi. Politik yang seharusnya dapat menghasilkan sistem untuk mengatur masyarakat, mulai menjelma menjadi monster yang menakutkan. Rakyat mulai beranggapan bahwa politik adalah lahan kotor yang penuh intrik.

Perempuan seharusnya mengambil peranan penting dalam menyelamatkan politik dari lembah nista. Dan, perempuan tidak harus menjadi maskulin ungut melakukannya. Perempuan, tidak harus menghilangkan ke-perempuan-annya.

Alih-alih memperbaiki sistem, perempuan bisa-bisa terjebak dalam gemerlapnya panggung politik. Bahkan, tidak menutup kemungkina pula, perempuan dijadikan korban politik karena ketidakberdayaannya. Fenomena ini telah muncul dalam sejarah politik Indonesia pada konteks kekinian.

Pada konteks ini, kehadiran perempuan —harapannya— dapat memberikan sumbangsih pada kualitas feminin, yang melekat pada dirinya, bagi kehidupan politik yang lebih beradab. Dari rahim politik perempuan, wajah perpolitikan Indonesia semestinya dihiasi  senyuman, bukan dengan kebengisan dan keangkuhan.

Perempuan menuntut setara bukan untuk menjadi laki-laki, tapi untuk menjadi perempuan yang sesungguhnya. Maka, perempuan dalam dunia politik, seyogyanya dapat menjadi aktor utama, bukan sebagai figuran yang memakai jubah laki-laki.

Perempuan di panggung politik, adalah angin segar bagi kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Ada berbagai peran dalam satu identitas dalam diri seorang perempuan. Kehadiran perempuan dalam perpolitikan negeri ini, menjadi  harapan bagi lahirnya figur politisi yang mengasihi dan mengayomi. Perempuan adalah oase di tengah padang pasir yang mengusir kehausan dalam konstalasi politik nasional yang hingar bingar!

Baca juga :   Peringati HPN 2024, Rudianto Tjen Ajak Insan Pers Kawal Pemilu yang Jurdil dan Luber

Persoalan Kompleks, Peran Politik sebagai Jalan Keluar

Dalam Sustainable Development Goals (SDGs), sebagai kelanjutan dari Millennium Development Goals (MDGs), beberapa negara di dunia telah menetapkan kesetaraan gender sebagai salah satu tujuan (goals). Kesetaraan gender yang dimaksud terkait dengan pemberdayaan perempuan sebagaimana termaktub dalam pilar pembangunan manusia. Ini seharusnya direalisasikan dalam berbagai bidang, termasuk politik.

Pada platform pembangunan Indonesia, keadilan dan kesetaraan gender telah menjadi perhatian, khususnya dalam sektor politik. Ini tercermin dengan kelahiran Undang-Undang No. 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik yang mempertegas arahan partisipasi politik perempuan pada jalur-jalur lembaga politik.

Sebenarnya, sudah terbuka jalan bagi perempuan untuk berkiprah dalam kancah politik.

Namun, secara faktual keterwakilan perempuan dalam kancah politik di Indonesia masih rendah. Padahal perempuan Indonesia masih menghadapi berbagai persoalan dalam berbagai sektor: sosial, ekonomi, dan lainnya.

Dalam bidang sosial, kesempatan mengakses pendidikan terhadap kaum perempuan masih rendah. Keterpurukan itu diperparah dengan pandangan kultural tertentu yang tidak memberikan ruang kondusif bagi peningkatan peran perempuan.

Ini bisa berimplikasi pada rendahnya tingkat kesejahteraan rumah tangga, serta menyempitnya kesempatan bagi perempuan untuk melakukan mobilitas horizontal dan vertikal

Di bidang ekonomi, partisipasi perempuan dalam aktivitas ekonomi masih rendah karena lebih dikonsentrasikan pada sektor konsumtif dan pelayanan jasa. Terlebih lagi, sistem upah/gaji yang berbeda antara laki-laki dan perempuan menunjukkan ketidakadilan pada sektor ekonomi.

Juga merebaknya perdagangan anak dan perempuan menambah deretan permasalahan perempuan. Lalu, kurangnya dukungan pemerintah dalam partisipasi perempuan dalam sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).

Baca juga :   Peringati HPN 2024, Rudianto Tjen Ajak Insan Pers Kawal Pemilu yang Jurdil dan Luber

Di bidang politik, sebenarnya Indonesia sudah memulai partisipasi aktif perempuan dalam institusi/lembaga politik dan pembuat keputusan (pemangku kebijakan). Sayangnya, pengetahuan para pemangku kebijakan tentang politik yang berkeadilan dan bermartabat masih rendah.

Kemudian, persyaratan 30 persen kursi parlemen bagi perempuan belum terpenuhi. Itu karena perempuan tidak memiliki kesiapan untuk menyambut tawaran tersebut, baik dari segi sumber daya, pengetahuan, keterampilan, moralitas, integritas atau komitmen, dan pertanggungjawaban.

Dari kenyataan di atas, terlihat betapa perempuan seharusnya menemukan solusi atau memilih salah satu jalan untuk menyelesaikan segala permasalahan yang dihadapi perempuan. Penulis sendiri memilih independensi politik sebagai jalan untuk menyelesaikan permasalahan tersebut.

Harapannya, kehadiran perempuan dalam kancah politik dapat menjadikan dunia politik sebagai tempat untuk merealisasikan pemberdayaan perempuan. Ini bisa terwujud karena dunia politik sangat strategis dalam pembuatan undang-undang, penetapan anggaran-pembiayaan, dan juga pengawasan implementasi hukum.

Peran perempuan dalam pembuatan keputusan di parlemen (salah satu aspek dalam dunia politik) dapat berpengaruh besar pada kemajuan perempuan, terutama dalam optimalisasi pemanfaatan aset masyarakat (modal sosial) yang dapat memberdayakan masyarakat.

Selain itu, kebebasan perempuan Indonesia dalam dunia politik merupakan jalan untuk merealisasikan pemerintahan yang bernafaskan “demokrasi yang sehat”, bukan “demokrasi rimba” yang diselimuti dengan berbagai intrik. Selain itu, kebebasan Perempuan, terutama dalam ranah politik, akan mendorong peningkatan peran aktif perempuan dalam berbagai bidang kehidupan.

Peran perempuan dalam agama pun ditempatkan strategis. Sebagaimana termaktub dalam sebuah hadits Rasulullah SAW, “Perempuan itu ibarat tiang Negara, manakala baik (berkualitas) perempuan di suatu negara, maka maka baiklah negara itu. Manakala rusak kaum perempuannya, rusaklah Negara itu”.

Hhal esensial yang harus diperjuangkan oleh perempuan, sesungguhnya bukanlah menuntut hak perempuan. Tapi membangun “kesadaran”. Karena penuntutan hak bertentangan dengan kaidah logika; apabila perempuan menuntut hak berarti perempuan merasa ada hak yang dirampas oleh pihak lain di luar dirinya, baik disebabkan oleh sistem maupun individu.

Baca juga :   Peringati HPN 2024, Rudianto Tjen Ajak Insan Pers Kawal Pemilu yang Jurdil dan Luber

Ini mengindikasikan bahwa sejak awal perempuan mengafirmasi posisinya sebagai subordinat. Kesadaran pada akhirnya akan mengarahkan pada pemberdayaan perempuan karena mereka yang lebih mengetahui permasalahan dirinya.

Dalam pemberdayaan perempuan, kita jangan melupakan unit terkecil dalam kelambagaan masyarakat adalah “keluarga”, di mana “Ibu” mengambil peranan penting di dalamnya. Dengan demikian, kualitas Ibu dalam memerankan “pembimbing” dan “pendidik” dalam keluarga akan memengaruhi kualitas rasa saling percaya dalam masyarakat yang akan melahirkan kemampuan pemberdayaan diri dan karya-karya konstruktif. Ini  mengindikasikan bahwa ranah privat dan publik sangat melekat dalam diri perempuan.

Pendikotomian ranah publik yang hanya dikhususkan bagi laki-laki, sedangkan perempuan pada ruang privat menimbulkan masalah ketidakadilan gender. Menurut Will Kymlicka dalam Contemporary Political Philosophy, para ahli ilmu politik arus utama telah gagal mempelajari kepentingan kaum perempuan.

Sejauh ini sebagian besar teori-teori politik kontemporer menyepakati apa yang disebut sebagai “dataran egalitarian”, gagasan bahwa semua anggota masyarakat harus mendapatkan perlakuan yang setara.

Di Indonesia, perempuan [terkesan] terperangkap dalam paradigma strukturalisme, bahwa perannya yang inferior selama ini lebih disebabkan oleh sistem yang timpang. Anehnya, ketika dibuka kesempatan kuota 30 persen calon anggota legislatif untuk perempuan, perempuan justru belum siap memenuhi kuota tersebut.

Seharusnya, perjuangan perempuan di parlemen bisa berfungsi efektif sebagai kekuatan pengimbang dan pengontrol (checks and balances). Juga sebagai wadah pemberdayaan kaum perempuan di Indonesia. Panggung politik tak hanya diperuntukkan bagi laki-laki, tapi juga bagi perempuan.(*)

 

Penulis adalah Magister Filsafat Islam, Staf Ahli DPR RI, Jurnalis, dan Aktivis

What's your reaction?

Related Posts

1 of 662

Leave A Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *