HeadlineKlik-Talk

Apa yang Terjadi Saat Ini, Hanya Pengulangan Sejarah

Peta kekuatan politik mendekati Pemilu 2019 makin mengental. Polarisasi, bukan hanya mengerucut pada kontestan pilpres. Tapi juga mulai membentuk penguatan pada peta pemilihan legislatif.

Irisan-irisan suara berbasis ideologi, identitas, atau ikatan kesejarahan masa lalu, mulai ikut membentuk perkubuan pada masing-masing partai pendukung koalisi. Termasuk di dalamnya adalah Partai Persatuan Pembangunan.

Sebagai partai yang telah melalui kesejarahan panjang selama puluhan tahun, atau sejak awal terbentuknya rezim Orde Baru hingga era milenial, PPP tidak bisa dilihat hanya sebagai kontestan pemilu 2019.

Lebih dari itu, PPP juga bagian dari perjalanan kesejarahan politik nasional, yang bisa menjadi pelajaran bagaimana sebuah partai politik hidup, bertahan dan berjuang mempertahankan eksistensinya pada fase-fase kritisnya.

Bagaimana masa depan dan proses metabolisme politik yang terjadi di partai berlambang Ka’bah ini, berikut wawancara dengan Wasekjen PPP Achmad Baidowi, beberapa waktu yang lalu:

Tentang langkah-langkah politik, terutama setelah Romahurmuziy menjadi Ketua Umum PPP, terlihat ada dinamika yang berbeda. Atau, bisa diaebut bahwa PPP mulai terlihat lebih progresif dalam melakukan konsolidasi politiknya. Termasuk, dalam mengambil keputusan-keputusan politik partai. Yang terlihat paling menonjol adalah, menguatnya —atau, lebih tepatnya— keberanian untuk mengambil sikap politik yang lebih tegas, bahkan hingga proses ke pengadilan pada faksi yg berbeda. Menurut Anda, apa yang sebenarnya terjadi di dalam Partai Persatuan Pembangunan saat ini?
Ya, jika yang ditanyakan adalah soal perbedaan itu, maka jawabannya adalah: ini adalah keputusan politik organisasi, yakni PPP. Jadi, ini bukan soal melawan atau tidak melawan senior. Tapi, lebih pada sikap untuk meletakkan roda organisasi PPP agar sesuai rel konstitusi PPP.

Jadi, ketika ada pihak-pihak yang keluar dari rel konstitusi partai, maka tugas kami adalah mengingatkan dan meluruskan. Memang, untuk langkah ini perlu pengorbanan dan keberanian. Dan, ujungnya memang harus bertarung di pengadilan yang hasilnya sudah diketahui secara umum. Bahwa, secara politik-hukum, PPP resmi di bawah kepemimpinan Romahurmuziy.

Baca juga :   MK Putuskan Penghapusan Ambang Batas Empat Persen Berlaku Mulai Pemilu 2029

Selain beberapa langkah politik internal, yang terbaca oleh publik, ada juga langkah politik eksternal yang cukup konfrontatif. Yaitu, ketika PPP mengambil sikap berseberangan dengan SBY, yang pernah menjadi mitra strategis PPP dalam masa 10 tahun pemerintahannya. Menurut Anda, apakah ini sebuah manuver pada politik kekuasaan, sebuah kalkulasi politik, atau sebuah prinsip politik yang menjadi “pilihan baru” bagi PPP ke depan?
Secara hukum tata negara ataupun fatsoen politik, tak ada larangan bagi Romahurmuziy berkonfrontasi dengan SBY. Karena, keduanya adalah sama-sama Ketua Umum parpol yang memiliki posisi sama. Dan, di internal masing-masing juga memiliki kewenangan otonom.

Adapun koalisi PPP-PD, sudah berakhir sejak 20 Oktober 2014. Maka dari itu, tak ada lagi kerjasama politik antar kedua parpol. Saat ini, koalisi PPP bersama PDIP di Kabinet Kerja dan dilanjutkan pada periode kedua.

Sekali lagi, ini urusan internal parpol masing-masing. Bangunan koalisi di Indonesia ini secara nasional, juga tidak otomatis sintetis dengan lokal. Di beberapa pilkada, justru PPP berkoalisi dengan Demokrat dan berseberangan dengan PDIP. Juga, ada yang bekerjasama dengan PDIP dan berseberangan dengan Demokrat.

Terkait dengan pertanyaan “pilihan baru” bagi PPP dalam berpolitik ke depan, dan terkait dengan dukungan PPP pada koalisi yang mengusung Jokowi, dimana di dalamnya ada dominasi pendukung dari kalangan nasionalis, apakah ini berarti PPP mulai membangun basis baru ideologi politiknya, atau membuka ruang baru dalam berpolitik?
Membacanya, justru sebaliknya. Bahwa, koalisi bersama antara PPP dengan PDIP adalah koalisi nasionalis-religius. Bahwa, koalisi ini memiliki segmentasi berbeda, sehingga tidak saling menyerang basis massa mereka.

PPP melengkapi dari sisi ideologi keislaman di koalisi PDIP. Jadi, jika kita melihat sejarah perpolitikan tanah air, bangunan koalisi ini juga bukanlah hal baru.

Sejak dulu kelompok nasionalis nyaman berkoalisi dengan islam tradisionalis. Sebaliknya sosialis dengan Islam modernis. Dulu PNI berkoalisi dengan NU, sementara yang aliran sosialis, seperti Murba dan lain-lain, berkoalisi dengan Masyumi.

Baca juga :   MK Putuskan Penghapusan Ambang Batas Empat Persen Berlaku Mulai Pemilu 2029

Jadi sebenarnya tidak ada pilihan baru. Tahun 2001, PDIP-PPP pernah berkoalisi. Apa yang terjadi saat ini, hanya pengulangan sejarah saja.

Menyambung soal basis ideologi dan ruang baru berpolitik, bukankah PPP adalah partai yang sudah teruji dalam kesejarahan politik nasional kita, sebagai parpol yang memiliki basis dan ideologi politik Islam?
Ya. PPP sudah sembilan kali ikut pemilu dan selalu lolos ke parlemen. Meskipun, oleh lembaga survei selalu diprediksi tak lolos. Tapi, Alhamdulillah PPP masih eksis.

Karena, bagi PPP berpolitik tidak sekadar hanya orientasi kekuasaan saja. Bagi PPP, berpolitik juga ada orientasi ideologis. Khusus untuk menyongsong pemilu 2019, PPP telah menetapkan konsep trilogi pemenangan pemilu.

Pertama, mempertahankan pemilih tradisional. Kedua, merebut kembali basis PPP yang lepas, dan ketiga, mengambil atau menyasar pemilih baru.

Konsep politik yang dibangun, sesuai dengan kaedah yang lazim diajatkan di pondok pesantren; Al muhafadlu ala qadimis sholih wal akhdzu bil jadidil aslah (mempertahankan tradisi lama yang baik, dan mengambil tradisi baru yang lebih baik).

PPP memiliki basis tradisional dan ideologis. Dalam perjalanan sejarahnya, beberapa fakta politik menunjukkan bahwa simpul kekuatan PPP sebagai partai politik justru pada tradisional ideologis. Fakta lain, PPP juga bukan satu-satunya partai politik yang menggarap basis Islam tradisional. Lantas, pada segmentasi mana PPP optimis merebut dan unggul dalam perolehan suara pemilu 2019?
Itulah tantangannya. Paling tidak, kami telah belajar dari keterpurukan di 2009 dan perlahan mulai bangkit di 2014. Maka, dengan memadukan pola lama dan pola baru, tentu cara kampanye PPP berbeda dengan sebelumnya.

Harus diakui bahwa basis tradisional semakin berkurang akibat terkikis zaman, dan juga karena faktor usia. Maka saat ini, kami sedang melakukan regenerasi kepemimpinan PPP di semua tingkatan.

Baca juga :   MK Putuskan Penghapusan Ambang Batas Empat Persen Berlaku Mulai Pemilu 2029

Karena, regenerasi itu mutlak untuk menjaga keberlangsungan sejarah. PPP juga akrab dengan kalangan milenial.

Kalau kita lihat realitas politik hari ini, yang juga muncul ke permukaan adalah menguatnya polarisasi pada dua kutub. Bukan saja pada kontestasi pilpres, tapi juga legislatif. Dan, polarisasi yang paling menguat justru terjadi pada politik identitas, terutama agama. Apa tawaran politik, atau gagasan politik yang akan ditawarkan PPP pada situasi seperti ini, dimana basis Islam sebagai pemilih, juga masuk dalam lingkaran polarisasi ini?
Menguatnya politik identitas itu, sebenarnya juga sudah menjadi gejala global. Bahkan termasuk di USA, sekalipun. Dan, itu sebenarnya hal yang lumrah dalam sistem demokrasi yang semuanya bisa diterima kecuali hal yang dilarang.

Menguatnya politik identitas ini, sebenarnya sudah terlihat sejak pilkada 2012 dan berlanjut ke pemilu 2014. Puncaknya pilkada DKI 2017. Saat ini, tinggal serpihan-serpihan dampaknya. Sebab, isu agama bukan lagi isu sentral dalam pilpres 2019 karena Jokowi menggandeng ulama.

Paling tidak, untuk meredam isu politik identitas, juga harus menggunakan politik identitas. Kalau kita ke grassroot, sebenarnya isu ini tak terlalu mengena. Hanya ramai di media, khususnya media sosial yang setiap orang bisa bertindak dan berucap tanpa ada yang menghalangi. Saya turun ke beberapa daerah, relatif adem. Tak terlihat situasi memanas.

Sulit dihindari, bahwa siapapun yang menang atau kalah dalam kontestasi pilpres nanti, justru persoalan pertama yang harus diselesaikan adalah polarisasi ini. Yaitu, menyatukan kembali kubu-kubu yang berkompetisi. Bagaimana, Anda melihatnya?
Ya, itu kewajiban politik. Meskipun, akan butuh waktu dan sentuhan maksimal. Contoh, polarisasi yang sekarang ini juga imbas dari pemilu 2014 dan pilkada DKI.

Medsos berperan besar dalam menjaga polarisasi tersebut. Maka dari itu, kita perlu memberikan penyadaran politik kepada masyarakat, bahwa perbedaan keyakinan itu bukan alasan untuk memecah belah. Sebaliknya, keragaman justru menjadi kekuatan kita.(*)

Presiden Klikers Indonesia, Peneliti, penulis, pembelajar, ayah dari dua anak

What's your reaction?

Related Posts

1 of 664

Leave A Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *