BloggerKlik NewsSosial Budaya

Perang Padri: Konflik Bersejarah di Sumatera Barat

 
Perang Padri adalah salah satu konflik bersejarah yang terjadi di wilayah Sumatera Barat pada abad ke-18. Perang ini melibatkan konflik antara kelompok yang dipimpin oleh ulama-ulama Padri dengan pemerintah kolonial Belanda dan kaum adat Minangkabau yang mempertahankan kebudayaan dan agama tradisional mereka.

Latar Belakang Perang Padri

Mengutip dari KOMPAS.com Perang Padri adalah sebuah peristiwa Sejarah yang melibatkan kelompok ulama yang disebut sebagai kaum padri dengan kaum Adat di Kawasan Kerajaan Pagaruyung dan sekitarnya.

Dalam buku Ulama Pembawa Islam di Indonesia dan sekitarnya karya Drg. H. Muhammad Syamsu As 1999 dituliskan bahwa Perang Padri terjadi di Sumatera Barat, tepatnya di wilayah Kerajaan Pagaruyung pada tahun 1821-1864. Pada mulanya Perang Padri ini adalah perang saudara yang kemudian berakhir menjadi perang melawan pemerintahan colonial Belanda.

Salah satu tokoh yang masyhur dalam Perang ini beliau bernama Tuanku Imam Bonjol

 

Konflik yang Terjadi Saat Perang Padri

Perang Padri mulanya disebabkan adanya perbedaan prinsip antara ajaran agama yang disebut Kaum Padri dan Kaum Adat. Pertentangan terjadi karena Kaum Padri atau kelompok Agama ingin mengubah kebiasaan-kebiasaan buruk yang ada di Masyarakat kaum Adat.

Dalam Buku Ulama Pembawa Islam di Indonesia dan sekitarnya karya Drg. H. Muhammad Syamsu As 1999 dituliskan bahwa pada saat itu kebiasaan Kaum Adat dalam keseharianya yaitu berjudi, Sabung ayam, minuman keras yang Dimana bertentangan dengan Kaum Padri yang ingin membawa ajaran Islam, sehingga kaum Padri ingin merubah kebiasaan buruk dari kaum Adat.

Baca juga :   Sunan Kalijaga: Dakwah Islam Melalui Tembang Jawa yang Menawan

Sebelum pertentangan ini terjadi, sudah ada beberapa perundingan antara Kaum Padri dengan kaum Adat yang tidak menemukan kata sepakat. Kaum adat sudah pernah berkata akan meninggalkan kebiasaan-kebiasaan tersebut, namun nyatanya mereka masih terus menjalankanya.

Hal tersebut membuat Kaum Padri marah dan beberapa nagari dalam Kerajaan Pagaruyung bergejolak. Perang Padri kemudian Meletus sebagai perang saudara dan melibatkan suku Minang dan Mandailing. Pada masa perang tersebut, Kaum Padri dipimpin oleh Harimau Nan Salapan yang Dipimpin oleh Tuanku Nan Receh, Tuanku Pasaman, Tuanku Rao, Tuanku Tambusai, Tuanku Linai, Tuanku Mansiangan, Tuanku Pandai Sikek, dan Tuanku Barumun dan Kaum Adat dipimpin oleh Arifin Muningsyah.

Serangan ini menyebabkan Sultan Arifin Muningsyah terpaksa menyingkir dan melarikan diri dari ibu kota Kerajaan, dan Kaum Padri berhasil menekan Kaum Adat. Kepemimpinan Harimau nan Salapan hampir membawa kemenangan dalam perang tersebut.

Dalam buku Ulama Pembawa Islam di Indonesia dan sekitarnya karya Drg. H. Muhammad Syamsu As 1999 dituliskan bahwa pada tahun 1818 penguasa negeri di Sumatera Barat telah berpindah tangan dari colonial Belanda kepada inggris. Raffles sebagai penguasa baru Inggris berkedudukan di Padang. Inggris belum memberikan perhatianya pada saat itu.

Pada tahun 1819 kompeni Belanda mulai menolong penghulu adat untuk memerangi kaum Padri, setelah Belanda melihat kenyataan oengaruh kaum Padri ini semakin meluas ke seluruh Minangkabau, yang menurut Belanda akan bisa mengancam kekuasaanya dan sekaligus memanfaatkan pertikaian antara golongan Padri dengan kaum adat untuk kepentingan Politik kolonialisme Belanda.

Baca juga :   Sunan Gresik: Jejak Cahaya dalam Kehidupan dan Keagungan Spiritual

Pihak Belanda mengirmkan kolonel Raaff dengan pasukanya untuk memerangi kaum Padri di Tanah datar. Kompeni Belanda mendirikan benteng yang sangat kuat di Fort der Cappellen dan Fort de Kock. Perlawanan kaum padri sangat kuat, sehingga membuat kompeni Belanda hanya bisa bertahan di kedua benteng tersebut.

Pada 17 April 1823 kolonel Raaf dengan pasukanya mencoba masuk ke Padang Hilir melalui lubuk Basung, tetapi serangan ini tidak berhasil. Akhirnya Belanda pun menyadari bahwa sulit untuk menyerang secara langsung terhadap kaum Padri, dan akhirnya berusaha untuk mencoba melalui jalur damai yang dilakukan oleh Asisten Residen Van den Borg dan utusan Tuanku Imam Bonjol.

Akhirnya dibuatlah perjanjian perdamaian di Masang pada 22 Januari 1824. Tetapi perjanjian Masang ini tidak berjalan sebagaimana yang telah diharapkan, sehingga timbul peperangan baru. Salah seorang Ulama yang berdarah Arab, yaitu Sayyid Sulaiman al-Jufri dimintakan jasa baiknya untuk merundingkan perjanjian damai Kembali kepada Belanda.

Pada bulan November 1825 dibuatlah perjanjian perdamaian baru. Sayyid Sulaiman al-Jufri adalah seorang Ulama yang sangat disegani di kota Padang, yang mempunyai pengetahuan luas.

Pengaruh Padri semakin meluas sampai arah ke daerah Batak, yaitu Mandailing. Bagindo Marah Husin, kepala negri Natal meminta bantuan kepada kaum Padri untuk mengusir Belanda dari daerahnya, karena merasa syiar Islam di sana ditekan oleh Belanda. Perjanjian perdamaian yang dibuat 1824 dengan bantuan Sayyid Sulaiman al-Jufri menjadi buyar, sebab tahun 1829 pasukan Padri menyerang Natal dari dua penjuru untuk mengusir Belanda

Pada 25 Oktober 1833 Belanda membuat selembaran yang terkenal dengan sebutan “Pelakat Panjang”, yang menyerukan kepada rakyat Minangkabau, bahwa antara Belanda dan umat Islam tak ada perbedaan, sama-sama bertuhan satu juga. Jadi tidak usah saling bermusuhan. Berbagai bujukan dan perkataan manis terdapat salam selembaran itu.

Baca juga :   Pesantren: Jendela Sejarah Islam Nusantara

Pada 14 Juni 1834 tentara Belanda Kembali menyerang, namun usahanya Kembali gagal, kemudian di ulang lagi dengan pasukan yang lebih besar dan lebih lengkap persenjataanya, barulah berhasil. Tetapi Belanda masih belum berhasil untuk menyerang Bonjol.

Dibawah pimpinan Jendral Clerens dengan 51 opsir dan lebih dari 2000 pasukan yang terlatih dan beberapa ribu bantuan maka serangan terhadap Bonjol dikerahkan, namun Belanda masih belum sepenuhnya untuk menguasai daerah tersebut.

Pada akhir 1836 pimpinan pasukan Belanda dipegang oleh Jendral Cochius dengan persiapanya yang matang, akhirnya pada 12 April 1837 Cochius menyerang Bonjol. Bonjol diserang dan dikepung, tetapi perlawanan dari Masyarakat bonjol tetap ketat Karna mereka yakin dan tak ingin lagi ingin untuk hidup dibawah jajahan asing.

Pada 16 Agustus 1837 akhirnya Bonjol dapat ditaklukan oleh Belanda, maka jatuh dan berakhirlah masa kekuasaan Imam Bonjol pada saat itu.

Perang Padri bukan hanya sekedar catatan sejarah yang kaku, tetapi juga sumber inspirasi dan pembelajaran yang abadi. Dari kisah-kisah terlupakan di balik medan perang, kita dapat menemukan makna yang mendalam tentang keberanian, keberagaman, dan ketahanan manusia. Dengan memahami warisan sejarah ini, kita dapat membentuk masa depan yang lebih baik bagi bangsa dan negara.

 

 

What's your reaction?

Related Posts

1 of 3,855

Leave A Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *