Info KlikersOpini

Agama dan Bahaya Laten Radikalisme


Oleh: Nadiah El Asyrof
(Penulis adalah Mahasiswa Hubungan Internasional Pascasarjana Universitas
Paramadina)

Sumber agama dalam praktiknya banyak digunakan atas dasar aspirasi umat Islam sebagai masyarakat mayoritas bernegara. Sejauh ini, sumber itu nyata disalahgunakan untuk menjustifikasi lawan politik di tengah timbulnya organisasi masyarakat Islam yang mengadopsi paham radikalisme agama.

Ormas Islam banyak terpengaruh ajaran radikalisme agama yang hanya untuk kepentingan politik dibanding kepentingan agama. Tatkala ada tujuan politik, agama seakan-akan membumbui wacana politik dalam hal gerakan revolusi Islam yang bisa merubah tatanan sistem dan politk ideologi negara.

Hilangnya objektivitas pemikiran ormas Islam yang menganut ajaran radikalisme agama merugikan ajaran Islam, sebab sudah bersikap secara berlebihan. Agama terkesan tampil sebagai pengadil keyakinan orang lain, termasuk negara. Semua agenda pemerintah lebih banyak dinilai secara negatif.

Philip Suprastowo mengutip hasi penelitian The Wahid Foundation (2018), pengertian radikalisme sebagai sikap atau tindakan yang mengatasnamakan agama yang tidak sejalan dengan dasar atau prinsip dasar kehidupan berbangsa yang menjunjung tinggi toleransi dan terbuka terhadap sesama warga yang majemuk yang dijamin keberadaannya oleh konstitusi, atau yang bertumpu pada prinsip-prinsip kemanusiaan.

Baca juga :   Misteri Keanekaragaman: Jejak Sejarah Agama di Nusantara

Adapun radikalisme yang ditafsirkan dalam penelitian The Wahid Foundation adalah suatu paham yang diniasiasi oleh gerakan tertentu untuk mencapai perubahan secara drastis. Dalam konteks ini, agama hanya dijadikan dalil untuk melakukan kekerasan demi tercapainya suatu tujuan politik.

Abdul Munip (2012, 162) mengatakan dalam penelitiannya. Bahwa gerakan radikalisme dibedakan antara paham dan gerakan. Pertama, radikalisme level pemikiran. Pada level pemikiran, radikalisme masih berupa wacana, konsep dan gagasan yang masih diperbincangkan, yang intinya mendukung penggunaan cara-cara kekerasan untuk mencapai tujuan.
Kedua, radikalisme pada level aksi atau tindakan. Pada level aksi atau tindakan, radikalisme bisa berada pada ranah sosial-politik dan agama. Paham ini tampak tercermin dari adanya tindakan memaksakan pendapatnya dengan cara-cara yang inkonstitusional, bahkan bisa berupa tindakan mobilisasi masa untuk kepentingan politik tertentu dan berujung pada konflik sosial.

Tersebarnya paham radikalisme ada beberapa hal menurut pandangan Azyumardi Azra (2012). Pertama, Pemahaman keagamaan yang literal, sepotong-sepotong terhadap ayat-ayat al-Quran, pemahaman seperti itu hampir tidak umumnya moderat. Karena itu, menjadi arus utama (mindnstream) umat.

Baca juga :   Misteri Keanekaragaman: Jejak Sejarah Agama di Nusantara

Kedua, bacaan yang salah terhadap sejarah umat Islam yang dikombinasikan dengan idealisasi berlebihan terhadap umat Islam pada masa tertentu. Ini terlihat dalam pandangan dan gerakan salafi. Ketiga, deprivasi politik, sosial dan ekonomi yang masih bertahan dalam masyarakat.

Ketiga, radikalisme yang marak disebar melalui internet, selain menggunakan media kertas, kelompok radikal juga memanfaatkan dunia maya untuk menyebarkan buku-buku dan informasi tentang jihad. Indikator radikalisme ini gampang mempengaruhi cara pandang masyarakat awam.

Bagaimana masyarakat yang minim dan kurang paham ilmu agama? faktor ini juga menjadi kesempatan kelompok radikal agar masyarakat terperangkap oleh tipu muslihatnya. Faktor lain pelaku penyebaran paham radikalisme bisa jadi alih fungsi ke pelaku terorisme (kekerasan).

Kekerasan ini selalu dikaitkan dengan jihad yang berlandaskan agama. Dalam sumber agama apapun, jihad tidak harus dilaksanakan dengan kekerasan. Oleh demikian itu, yang namanya kekerasan pada orang lain itu dinamai tindakan kedzaliman. Sebab itu, menghancurkan sumber-sumber agama.

Radikalisme yang beredar melalui ormas-ormas keagamaan dan kemasyarakatan jangan sampai pemerintah ikut lengah. Kelengahan itu, bisa jadi pembenahan kebijakan dalam rangka mencegah paham radikalisme yang beredar melalui gerakan-gerakan, dan radikalisme yang timbul di media sosial.

Baca juga :   Misteri Keanekaragaman: Jejak Sejarah Agama di Nusantara

Langkah pencegahan bisa juga dengan pelaksanaan dialog keagamaan. Dialog itu, melibatkan peran ulama, santri, pemuda, masyarakat, dan lembaga pendidikan. Dialog keagamaan itu bisa secara berlangsung atau bisa juga menyebarkan informasi agama yang toleran di media sosial.

Masyarakat korban radikalisme sangat banyak ketika baca-baca informasi terkait jihad atas nama agama gampang terpengaruh dan langsung yakin. Literasi-literasi ekstrem seperti ini merupakan tugas dari golongan milenial yang aktif di media sosial. Agar paham radikal itu bisa hangus dari negeri ini.

Sekali lagi, langkah pencegahan itu bisa melalui instansi-instansi pemerintah dan lembaga pendidikan seperti pesantren. Pesantren yang menjadi titik sentral belajar ilmu agama bisa dijadikan jalan alternatif mencegah radikalisme yang tercermin mengajarkan jihad agama (perubahan) dengan kekerasan.

Penyebaran literasi keagamaan yang modelnya Islam moderat bisa lebih masif disebarkan melalui banyak media. Media sekarang terkadang dimanfaatkan oleh organisasi masyarakat yang menginginkan perubahan politik. Sebaliknya, media perubahan harus bisa menopang pencegahan radikalisme agama yang saat ini beredar.

What's your reaction?

Related Posts

1 of 908

Leave A Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *