Opini

Resesi Ekonomi di Depan Mata, Mogok Nasional Memihak Kepada Siapa? (Bagian 1)

“ Every Crisis Is An Opportunity To Outgrow Our Vulnerability! ”
-Sailanjanand

Resesi ekonomi nyata di depan mata. Upaya Pemerintah keluar dari jurang resesi ekonomi semakin jauh api dari panggangnya. Anggaran pemulihan ekonomi nasional yang telah digelontorkan Presiden Joko Widodo mencapai Rp450 trilyun lebih pada kuartal I dan II tahun ini telah terkuras habis pula.

Serangkaian inisiatif Istana di kuartal III mulai dari subsidi upah, relaksasi pajak, relaksasi iuran jaminan sosial, bantuan UMKM, operasi sembako murah dan program-program langsung berupa insentif kepada dunia usaha telah dilakukan, tetapi itu semua tidak kunjung mampu menggerakkan sentimen positif atas indikator resesi ekonomi.

Pemerintah berharap siklus percepatan pergerakan ekonomi didorong oleh mobilitas belanja rakyat dalam 3 bulan terakhir menjelang akhir tahun. Tradisi libur panjang, Natal dan Tahun Baru, yang biasanya menyumbang pertumbuhan ekonomi tahunan, urung terealisasi.

Menurunnya daya beli, berkurangnya cashflow di tangan rakyat serta munculnya klaster-klaster baru yang terpapar Covid-19 di ibu kota menjadi penyebabnya.

Mogok Nasional Berpihak untuk Siapa ?

Bila vaksin penawar Covid-19 tidak secepatnya diproduksi massal, dapat dipastikan bahwa prediksi resesi ekonomi nasional akan terjun bebas di ujung tahun 2020 nyata adanya. Seiring dengan itu Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja yang sedang ramai digunjingkan rakyat sebagai obat mujarab Iklim investasi, sedang dikebut dalam pembahasan akhir antara Pemerintah bersama DPR.

RUU Omnibus Law Cipta Kerja adalah bentuk harmonisasi dan sinkronisasi regulasi sebagai bantalan regulasi penting Pemerintah untuk mendorong percepatan Iklim investasi dan penciptaan lapangan kerja di Indonesia.

Di tengah pergunjingan dan penolakan RUU Ominibus Law klaster Ketenagakerjaan oleh sebagian serikat pekerja yang kian memuncak, penolakan RUU Omnibus Law Cipta Kerja tak terbendung.

Melalui konferensi pers tanggal 2 Oktober 2020 serikat buruh menyatakan “Mogok Nasional Tolak Omnibus Law Cipta Kerja”. Ini tentu mengejutkan semua pihak. Kita tidak tahu apakah sikap ini atas muatan politis atau ketidakberdayaan atas keputusasaan ataukah murni kebebasan menyampaikan haknya.

Tetapi mengapa harus menutup usaha dan pabrik yang sedang berjuang sembuh dari keterpurukan? Ibarat sedang sekarat di ruang ICU, dicabut selang oksigennya. Matilah sudah adanya!

Bukan mengapa mencari panggung, tapi berdamailah dengan amarahmu.
Seringkali ancaman mogok nasional tidak efektif menjadi solusi. Hanya sebatas sensasi dan mengklaim bahwa serangkain mogok kerja akan dilakukan di 34 provinsi lebih, 300 kabupaten/kota serta lebih dari 100an kawasan industri akan stop produksi, dimana lebih dari 10 juta pekerja untuk mogok. Kenyataannya? Benarkah hal ini terjadi ?

Rakyat sedang butuh makan, pengusaha berjibaku untuk produksi, tapi ini malah diprovokasi selama 3 hari berturut-turut “Stop Pabrik Tutup Pabrik”. Ajakan yang tidak bisa dinalar oleh akal sehat dan nurani siapapun.

Stop Pabrik Tutup Pabrik, Mengapa Produktivitas menjadi Kambing hitam!

Bila ada kecurangan dan ketidakadilan semua ada jalur hukumnya. Ini negara hukum, bangun energi positif disaat kondisi tidak kondusif. Ruang dialog terbuka lebar, ruang kolaborasi harus dipertontonkan, tetap kepala dingin jangan terprovokasi hanya untuk persepsi sepihak.

Demikianlah bangsa ini butuh vitamin mutual understanding dan mutual respect atas para pihak dalam dinamika hubungan industrial nasional.

Ingat, saudara-saudara kita pekerja/buruh membutuhkan pekerjaan dan pengusaha juga punya hak untuk berusaha serta dilindungi UU. Saat ini semua negara di dunia sedang berusaha bersama-sama, bahu membahu bersama Pemerintah. Pengusaha, pekerja serta rakyat dengan sekuat daya keluar dari krisis untuk menjalankan roda ekonomi.

Mengapa Panjenengan akan menutup tempat dimana sebagian besar pekerja/buruh yang disebut rakyat bersama pengusaha yang juga disebut rakyat, sedang bertahan hidup, mengais rezeki dan mencari hidup untuk anak istrinya. Bijak kepada logika hati dan realitas adalah solusi.

Sepenuhnya kami percaya tidak semua pengusaha telah layak memberlakukan pekerjanya dan tidak semua pekerja/buruh layak kompeten menjalani dinamika kerjanya, ini sebuah proses. Jangan menisbikan segalanya, karena disaat seperti ini komunikasi dan kolaborasi mulai dari forum bipartit terkecil di masing masing unit usaha, asosiasi dan tripartit nasional untuk saling menguatkan bukan menyalahkan, atau malah menisbikan mata rantai produksi dengan “Stop Produksi”, biarlah ruang bipartit bicara apa adanya. Demikianlah kita telah bersama sama belajar bagaimana itu akibatnya, saudaraku.

Arogansi Itu, Dijawab dengan Produktivitas

Jangan terprovokasi, berdamailah dan jadikan momentum ini untuk fokus kepada krisis kesehatan yang berdampak kepada krisis ekonomi, bukan malah mengajak untuk melakukan kegiatan mogok massal untuk “Stop Produksi”. Mengapa, mogok nasional ini malah menambah legitimasi sekelompok elite aktivis buruh bersikap arogan demi kepentingan segelintir aktivis pekerja/buruh.

Yuk kita renungkan, sadarilah hal ini tidak masuk akal. Di mana ruang dialog ada tempat dan adabnya, di mana kepentingan berkhidmad di atas kepentingan lainnya. Belajarlah mendengar jangan hanya sebatas ingin di dengar. Bukankah hanya para pihak yang merasa selalu benar yang selalu ingin didengar?

Sadarilah begitu berharganya sebuah perbedaan di era demokratisasi bangsa, terbuka bicara dan mengeluarkan pendapat tetapi jangan lupa di antara perbedaan itu ada kebenaran.

Berdialog dengan Simpatik, Sebuah Pilihan

Suarakanlah perjuangan itu dengan dengan takzim, berkhidmad penuh simpatik, meraih hati semua rakyat, untuk tujuan yang lebih mulia, yakni layak kerja dan dunia usaha maju. Bukannya malah menebar aroma kebencian & ancaman dan tidak bisa dimengerti ruang dialog ini beraroma politis tanpa solusi, ada ruang dialog yang diajarkan oleh para pendiri bangsa untuk berdialog sampai selesai di meja perundingan.

Kita tahu UUD 1945 pasal 28 benar membolehkan untuk menyuarakan atas kebebasan berpendapat. Jangan kita menyesal akhirnya mogok nasional di saat kondisi resesi ekonomi akan banyak mudharatnya. Tetap kritis dalam dinamika hubungan industrial adalah cara diplomasi yang elegan dan simpatik. Semoga menjadi pilihan.

Tapi tidak dengan “Kebebasan Menutup Pabrik dan Stop Produksi”. Apa yang salah dengan berproduktivitas, mengapa sedikit-sedikit mengancam dengan stop produksi. Ini sawah ladang kalian, ini tempat produktivitas kita semua, kita lagi susah semua, bukan sebatas bermain petak umpet kepentingan politisi elit serikat pekerja/uuruh untuk mendapatkan perhatian kita semua.

Bersikap Tabayyun atas kondisi terburuk adalah Teladan

Atas itu semua, jadikanlah ruang tripartit nasional dan saluran komunikasi tetap terbangun, marilah bangun sikap tabayun, sikap rendah hati bicara dengan menyimak, bertutur dengan khidmad.

Kami tidak sedang ingin memberi justifikasi benar salah. Tapi ruang tripartit nasional adalah sepakat bahwa kolaborasi untuk satu tujuan adalah pilihannya. Bahwasannya situasi negeri saat ini tidak sedang dalam kondisi terbaik. Pandemi yang tak kunjung usai dan resesi ekonomi yang tak kunjung pulih, menjadikan kita lebih membangun kolaborasi dan sikap husnudzon.

Mencari Solusi Bersama, Untuk Layak Kerja.

Sekali lagi beda pendapat adalah niscaya, beda pandangan adalah nyata, tapi mengganggu harkat dan semangat membangun ekonomi bangsa adalah deorientasi atas semangat kebhinekaan bangsa.

Di salah satu sudut ruang produksi sang pekerja tua dengan bijak bicara adanya:
Jangan ganggu ruang produktivitas kami.
Jangan ganggu ruang rejeki kami.
Jangan ganggu ruang harmoni kami.
Kami cinta sawah ladang kami, kali ini bukan mogok nasional yang kami butuhkan tapi kepastian kerja adalah cara menjawab resesi ekonomi ini.

Saudaraku, renungkanlah kembali bahwa masih banyak jalan untuk solusi, mudah-mudahan ini sebatas luapan dan jeritan hati atas ketidakadilan yang terjadi yang sayup-sayup mulai terdengar sang penguasa negeri.

Dunia usaha dengan yakin mengajak anak negeri untuk “Tetap Produksi, Bangun Produktivitas” dan jangan pantang surut untuk membangun negeri ini dengan spirit produktivitas, integritas, nasionalisme dan harmoni.

Dalam setangkup doa, pandemi Covid-19 dan resesi ekonomi sirna dari Ibu Pertiwi. Berkhidmad dengan solusi, sepenuhnya jalankan produksi untuk roda ekonomi bangsa, demi produktivitas tanpa henti. Untuk keadilan sosial bagi anak negeri.

Salam produktivitas – Sejahtera rakyatku – Bangun negriku. (Bersambung)

Teras rumah, 4 oktober 2020.
I Like Partnership.

M. Aditya warman, MBA
Pemerhati Hubungan Industrial.

What's your reaction?

Related Posts

1 of 143

Leave A Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *