Opini

Persekusi Digital (bagian-3/Sebuah Simulasi Kasus)

Tulisan ini merupakan tulisan lanjutan, dari dua tulisan sebelumnya yang berjudul “Persekusi Digital” dan “Persekusi Digital (2)”. Disarankan membaca dua tulisan tersebut sebelum membaca tulisan ini.

Oleh: Poempida Hidayatulloh

 

Ada kalimat menarik dari Sherlock Holmes, tokoh detektif fiksi karya Sir Arthur Conan Doyle. Kalimat Sherlock itu, bunyinya seperti ini: ”I am not the law, but I represent justice so far as my feeble powers go.”

(Saya bukan hukum, tapi saya mewakili keadilan sejauh kekuatan lemah saya pergi.).

Bagi saya, kalimat ini menunjukan betapa baiknya hasil deduksi yang diberikan oleh seorang Sherlock Holmes pada suatu kasus. Bahwa, hukum tetap harus dijalankan sebagaimana mestinya.

Namun, ada penekanan bahwa dia mewakili keadilan. Ini, jelas ditujukan untuk memberikan rasa ketidakragu-raguan bagi para penegak hukum untuk menghukum seseorang.

Jadi, pada berbagai kasus pidana, hukuman dapat diberikan jika tidak ada keraguan lagi di dalam kasus tersebut. Dalam bahasa Inggrisnya disebut ”beyond the unreasonable doubt”.

Dalam deduksinya, pendekatan yang dipakai Sherlock Holmes adalah sebagai berikut: “How often have I said to you that when you have eliminated the impossible, whatever remains, however improbable, must be the truth?

(Seberapa sering saya katakan kepada Anda bahwa ketika Anda telah menghilangkan yang mustahil, apa pun yang tersisa, betapapun mustahil, adalah pasti kebenarannya?)

Pendekatan ini digunakan karena berbagai kasus yang dihadapi Sherlock dalam berbagai ceritanya, memang banyak di luar basis rasionalitas yang ada. Walaupun, pada akhirnya Sherlock Holmes dapat membongkar semua kasus yang ditanganinya.

Di dalam berbagai kasus yang ditangani oleh Sherlock Holmes, tidak ada satupun Sherlock pernah melakukan pembangunan opini secara publik, untuk membuka suatu tabir kebenaran. Sherlock sangatlah jeli dalam mengidentifikasi jenis suatu motif kejahatan dan mengkorelasikan dengan bukti-bukti yang dapat dikumpulkannya. Sehingga, kemudian muncullah suatu hasil deduksi yang tidak terbantahkan.

Jika suatu analisa dalam konteks kejahatan masih meragukan, apalagi terbantahkan, maka analisa itu pasti jauh dari kebenaran.

Namun, pihak yang melakukan analisa seperti ini, ada yang berusaha membangun sebuah persepsi kebenaran dengan membangun opini publik.

Bagi orang yang tertuduh dan tidak diuntungkan oleh analisa seperti ini, tentu tidak mendapatkan keadilan sama sekali. Di sinilah suatu tindakan persekusi terjadi.

Di era digital, dengan bantuan media sosial dan cepatnya arus informasi, sangatlah mudah untuk membangun sebuah opini. Persekusi (juga) sangatlah mudah dilakukan secara digital.

Dapat dipastikan, seorang Sherlock Holmes zaman NOW akan menolak melakukan persekusi digital seperti di atas.

 

Simulasi Analisa Suatu Kasus Tuduhan Pemerkosaan

Alkisah, ada seseorang karyawati kontrak bekerja di suatu lembaga pemerintah, berinisial R. R merupakan bawahan dan bekerja sebagai staf administrasi dari atasannya yang berinsial S.

R merupakan anak tunggal. Berasal dari keluarga biasa-biasa saja. Orangtuanya berpenghasilan di bawah UMR selama 25 tahun terakhir ini. R merasa senang sekali saat mendapat pekerjaan di lembaga ini.

Di tempat itu, penghasilannya cukup baik. Sehingga R dapat membantu orangtuanya untuk kehidupan keluarga mereka.

S adalah seorang pejabat yang memiliki integritas baik, tegas dan sangat disiplin. Tegas dan disiplin ini sering dikategorikan sebagai pemarah. Akibatnya, pihak yang tidak bisa mengikuti gaya S ini, merasa tidak suka.
Padahal, S berlaku seperti itu hanya dalam urusan pekerjaan. Dan, cara itu dilakukan untuk kebaikan lembaga pemerintah tersebut. S dikenal senang melakukan pembinaan kepada para anak buahnya.

Selain itu, S juga mempunyai juga banyak anak didik. S selalu percaya bahwa pendidikan adalah cara untuk menaikkan derajat seseorang.

Sejak R bekerja untuk S, R pun dibina agar menjadi seorang karyawati yang baik dan profesional. Hubungan keduanya baik, sampai orangtua R menitipkan kepada S agar mendidik R dengan baik.

Tersentuh dengan harapan orangtua R, S pun menyarankan untuk sekolah lagi agar R dapat meraih gelar S2. S membantu biaya kuliah S2 R ini.

Sampai pada akhirnya, suatu saat R membuat tuduhan secara publik bahwa atasannya yang berinisial S telah melakukan pemerkosaan terhadap dirinya sebanyak 4 kali.

Berbagai bukti dimunculkan untuk mendukung tuduhan tersebut. Semuanya sepihak. Hanya dari versi R saja. Bahkan, jika digunakan basis deduksi ala Sherlock Holmes, bukti yang dimunculkan itu jauh dari meyakinkan.

Sebuah Alur Cerita

Tuduhan R terhadap S ini, bisa dijadikan kajian bagaimana sebuah persekusi yang mengarah kepada character assassination (pembunuhan karakter) terjadi, melalui berita dan tuduhan yang bersifat bombastis dengan mengesampingkan azas praduga tidak bersalah.

R, sang pemberita sendiri bukannya melapor kepada pihak kepolisian atau Komnas Perempuan. Tetapi, langsung mempublikasikan dalam berbagai cara ke media sosial. Sehingga, terjadilah trial by press.

Berita-berita itu menyudutkan S. Bahkan, menghancurkan nama baik serta reputasinya untuk bangsa dan negara yang telah dibangun selama 40 tahun. Juga nama baik dan kehormatan keluarga, merebak di internal tempat bekerja dan media sosial.

R dengan arahan dosen AA mengadakan konferensi pers yang nyata-nyata menyerang secara subyektif S, baik sebagai pribadi maupun keluarga. Menayangkan foto putri S yang tidak ada sangkut pautnya dengan permasalahan antara S dan R.

S secara jantan telah mengajukan surat pengunduran diri kepada Presiden, atasan langsung. Ini bersamaan dengan penyelenggaraan pernyataan publiknya melalui pers. Bahwa, S mundur dengan alasan utama untuk berkonsentrasi melakukan penyelesaian masalah hukum.

Alhamdulillah, respon Presiden sangat cepat. Ini menunjukkan kearifan. Keputusan pun keluar dan menyatakan pemberhentian dengan hormat pada S dari jabatannya, disertai ucapan terima kasih atas pengabdian dan jasa-jasa S selama menjabat di institusi tersebut.

Inilah yang perlu dikaji. Dijadikan sebagai simulasi, bagaimana persekusi digital itu terjadi.

Poinnya, ada beberapa hal yang perlu disampaikan untuk keseimbangan persepsi di media sosial. Selama ini, permasalahan yang dimunculkan cenderung memberikan porsi yang tidak seimbang, sehingga menimbulkan persepsi yang jauh dari konteks yang relevan. Permasalahan itu adalah:

1. S mengenal keluarga R cukup dekat. Faktanya adalah adanya kunjungan ke rumah, ke rumah sakit saat ibunda R dirawat pasca operasi, dan juga saat berbuka puasa bersama di bulan Ramadhan. S yang memiliki ibu kandung, adik kandung, istri, dan anak kandung seorang wanita, tidak pernah terbersit sedikit pun niat untuk berbuat kasar dan pemaksaan terhadap seorang wanita.

2. R selalu beralibi bahwa terjadi penyuapan terhadap dirinya oleh S untuk melegitimasi dan melanggengkan apa yang disebut sebagai “tindakan S”. Perlu diketahui bahwa pemberian tambahan selisih honor bulanan antara yang dijanjikan sesuai aturan (sarjana S1 + dua tahun pengalaman kerja) dengan yang dibayarkan sebesar 1,5 juta rupiah per bulan (9 juta – 7,5 juta) yang diberikan oleh S, adalah sebagai bentuk bantuan kelancaran tugas sehari-hari R. Selanjutnya, bantuan untuk biaya pendaftaran dan biaya kuliah S2 setiap semester (ada tiga semester) sebesar 1/3 dari total biaya adalah bentuk kepedulian S kepada staf untuk perkembangan karir dan juga memenuhi amanat orangtua R yang menitipkan R untuk dibimbing dan dibina. Adalah naif bila disebutkan ini adalah bagian dari upaya penyuapan.

3. Walau kinerja sebagai sekretaris berjalan normal, namun perilaku dan interaksi sesama rekan kerja tidak terlalu baik, terutama setelah R ikut program S2 (karena tidak mampu mengelola waktu). Pernyataan R bahwa S selalu memaksakan untuk perjalanan dinas keluar kota berdua R adalah tidak benar. Bukti perjanalan dinas dapat dengan mudah menepis tuduhan tersebut.

4. Sejak awal S mengetahui bahwa R telah memiliki pasangan tetap, yaitu TS, sejak sebelum masuk bekerja, walau hubungan tersebut patut diduga tidak direstui orangtua R. S tidak pernah sekalipun melarang atau mencegah hubungan keduanya. Walau jarang bertemu, TS cenderung hormat kepada S. S juga paham bahwa setelah beberapa saat bekerja di institusi itu, R memiliki kedekatan khusus dengan KP, rekan kerja yang sudah berkeluarga. R beralibi bahwa kedekatan itu sekedar teman untuk berdiskusi dan membantu tugas-tugas kuliah S-2 R. Fakta menunjukkan tidak demikian, semakin hari semakin terlihat intensitas hubungan mereka semakin dekat. Ada beberapa kejadian di mana S dan staf lain melihat, mendengar, dan mengetahui hubungan dekat tersebut. S telah memberikan peringatan lebih dari sekali kepada KP (karena sudah beristeri) untuk tidak melanjutkan hubungan tersebut, yang walaupun KP telah berjanji, namun kenyataannya hubungan keduanya semakin dekat.

5. Suatu saat, S mendapat berita bahwa RA dirawat karena adanya upaya percobaan bunuh diri. Menurut versi yang diceritakan oleh KP, R mengirim percakapan Whatsapp (WA) kepada KP (semacam pemberitahuan) bahwa akan bunuh diri dengan foto obat-obatan di apartemen R (tempat yang sangat jauh dari lokasi kampus dan kantor R). KP lantas bergegas ke apartemen RA dari kediaman yang berjarak sangat jauh. Setiba di apartemen R, KP langsung menggedor pintu unit kamar R (dari mana KP dapat akses masuk/naik ke lantai tersebut) dan setelah gagal kemudian minta bantuan satpam, namun tetap gagal, walau akhirnya pintu dibukakan oleh calon pelaku bunuh diri itu sendiri, yaitu R.

6. Pasca percobaan bunuh diri R, S dari bandara langsung menuju ke rumah orangtua R untuk menengok R di depan bapak, ibu, nenek, R, dua orang keluarga R, bahkan ada TS (pasangan tetap R). Setelah mendengar cerita bapaknya R soal upaya percobaan bunuh diri, S langsung menasihati R dan meminta untuk istirahat total. Dalam perjalanan menuju ke mobil, TS yang mengantar ke mobil meminta maaf atas kejadian upaya percobaan bunuh diri tersebut dan meminta tolong dengan menyerahkan draft Bab I Tesis S2 R untuk direviu oleh S. Ini jelas mematahkan alibi bahwa bunuh diri ini disebabkan oleh S.

7. Kemudian, S yang sedang tugas di Semarang mendapat kabar bahwa telah terjadi keributan yang menjurus perkelahian fisik di kantor lembaga pemerintah itu. TS (pasangan tetap R) dengan KP (pasangan baru R), yang disertai seseorang patut diduga preman, yang dapat dilerai oleh koordinator satpam kantor. Menurut penjelasan koordinator satpam yang bersangkutan, TS marah karena TS mengetahui KP sering mengunjungi apartemen R (di mana pihak manajemen apartemen mengetahui kalau penyewa apartemen adalah TS dan R dalam komunikasi tertulis selalu disebut sebagai Ibu TS) dan juga TS mengetahui bahwa KP pernah membooking kamar di Hermitage untuk R pada saat dinas, yang tentu saja tidak ada sangkut pautnya dengan tugas R. Atas kejadian ini KP diskors. Namun kemudian memilih mengundurkan diri dan R pun diskors oleh pimpinan di kantor. Jadi, tidak benar kalau R diskors karena permasalahan dengan S, dan tidak benar R dipecat sebagaimana diumumkan di publik. Ini adalah suatu kebohongan publik lagi.

8. Kejadian puncaknya, S mampir di kantor dalam perjalanan menuju bandara untuk general check up tahunan di Singapura, untuk mengambil paspor yang sedang dalam proses pengurusan VISA ke Jepang di Biro Perjalanan. Sehari sebelumnya R sudah diberi tugas tersebut. Namun, saat ditanyakan perihal tersebut, R dengan enteng dan tidak etis menjawab, “Kenapa tanya soal paspor kepada saya. Saya kan bukan sekretaris Bapak”. S marah besar kepada R (untuk pertama kali), namun dapat mengendalikan emosi dengan segera ke ruang kerja. Kejadian inilah yang kemudian menjadi awal dimulainya R melakukan gerakan di media sosial menuduh S dengan berbagai macam hal. Sangat terkesan R ingin melakukan pembalasan terhadap S karena dimarahi, dan lupa akan kebaikan S selama ini.

Kesimpulan sederhana yang dapat diambil untuk menjadi deduksi seorang Sherlock Holmes, dengan menyimak dan menganalisis fakta-fakta di atas, maka patut diduga, permasalahan yang dituduhkan R kepada S adalah upaya pengalihan isu masalah pribadi.

Jadi antara R, TS, dan KP yang berujung kepada labilnya jiwa R, dan diprovokasi oleh pihak-pihak tertentu yang tidak mengetahui persoalan sebenarnya.

Sementara, persekusi yang melimpah pada S telah memberikan masalah sosial dan psikologis yang besar bagi S dan keluarganya. Harapan S memulihkan namanya hanya melalui proses hukum. Namun jika proses hukum telah selesai pun, akan sangat berat bagi S untuk benar-benar mengembalikan nama baik dirinya dan keluarganya.

Pelaku persekusi, jika telah terbukti bersalah di mata hukum haruslah diberikan hukuman yang sangat berat. Hal ini agar memberikan efek jera kepada si pelaku dan memberikan pelajaran bagi pihak lainnya agar tidak melakukan hal yang serupa.

Ini menjadi pelajaran, agar segenap rakyat Indonesia untuk dapat berlaku lebih bijak dan lebih adil di dalam konteks penegakan hukum yang ada. Ayo, jadikan hukum sebagai panglima!

What's your reaction?

Related Posts

1 of 142

Leave A Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *