Opini

Partai Islam dan Problem Kebuntuan Politik di Israel

Dua peristiwa penting telah muncul bersamaan di Yerusalem Senin kemarin (05/04/2021). Di Pengadilan Distrik Yerusalem, jaksa akhirnya akan mulai menyampaikan bukti-bukti dalam sidang korupsi Perdana Menteri Benjamin Netanyahu.

Sementara itu, di seberang kota, Presiden Reuven Rivlin akan mulai bertemu dengan perwakilan partai politik Israel untuk mendengar siapa yang mereka inginkan untuk memimpin koalisi dan pemerintahan Israel berikutnya – Netanyahu atau salah satu penantangnya – setelah pemilihan umum pekan lalu.

Kedua peristiwa yang terjadi pada waktu yang sama jelas merupakan suatu kecelakaan, tetapi sarat makna. Peristiwa ini seolah mempertajam pertanyaan apakah era Netanyahu sudah berakhir.

Biasanya, pada saat penghitungan suara terakhir, beberapa hari setelah pemilihan Israel, pemimpin partai yang menang memiliki hak untuk membentuk pemerintahan. Tapi pemilu pekan lalu menemui jalan buntu. Sebagian persoalan muncul karena Netanyahu tidak menghargai norma tidak tertulis dari sistem politik di Israel: Dia menolak untuk mundur dalam menghadapi tuduhan kriminal terhadapnya. 

Jika kembali berkaca pada tahun 1977, pada masa kampanye pemilihan, Perdana Menteri saat itu Yitzhak Rabin menarik pencalonannya kembali ketika diketahui bahwa dirinya dan istrinya menyimpan rekening bank di luar negeri, yang pada masa itu merupakan pelanggaran terhadap hukum Israel. Pada tahun 2008, Perdana Menteri Ehud Olmert mengundurkan diri karena dituduh melakukan korupsi. Dia mundur saat penyelidikan polisi dan tekanan publik terhadapnya meningkat. Dia kemudian dihukum 16 bulan penjara.

Netanyahu, sebaliknya, menolak untuk mundur dalam menghadapi tiga kasus korupsi besar, bahkan setelah dirinya didakwa. Sebaliknya pula, dia malah menyerang polisi, kejaksaan dan pers. Selama dua tahun, ia telah memimpin Israel ke dalam empat kali pemilihan umum tanpa pernah berhasil mencapai dukungan mayoritas parlemen yang kuat untuk partai Likudnya sendiri dan sekutunya. Selain itu, Netanyahu tidak dapat menyelesaikan persoalan hukum yang menjeratnya.

Hasil pemilu terakhir adalah yang paling mencolok. Sebagai ahli strategi politik, Netanyahu setahun yang lalu memang berhasil memecah partai oposisi terbesar. Namun demikian dukungan keseluruhan untuk partai-partai oposisi baik dari  tengah dan kiri saat ini terus meningkat. Partai New Hope, partai anti-Netanyahu yang memisahkan diri dari Partai Likud yang dipimpin perdana menteri, memenangkan enam kursi.

Netanyahu mengklaim telah mencapai banyak keberhasilan selama pemerintahannya, terutama soal kebijakan vaksinasi tercepat di dunia dan upaya normalisasi hubungan dengan negara-negara Arab. Namun demikian, protes yang terjadi akibat penanganan pandemi yang tidak efektif selama pemerintahanya tampaknya mengurangi jumlah pemilih partai Netanyahu.

Beberapa loyalis yang biasanya memilih partai Likud ternyata tidak memilih kembali partai ini. Oleh karena itu, jumlah pemilih partai Likud mulai menurun pada pemilu kali ini. Partai yang dipimpin perdana menteri ini mulai kehilangan seperenam persen dari kekuatannya.

Setelah mengalami berbagai guncangan politik, Netanyahu dan koalisinya, partai ultra-Ortodoks dan nasionalis religius kemungkinan besar hanya memiliki 52 kursi dari 120 kursi di parlemen. Secara umum, sebagian kecil orang Israel tidak akan mendukung pemimpin yang sudah terjerat kasus hukum. Hal demikian seperti yang tercermin pada tuntutan mundur oleh para pengunjuk rasa dan politisi dari kalangan oposisi.

Meski banyak kekurangan di kubu Netanyahu saat ini, lawan politik Netanyahu juga nyatanya tidak dapat dengan mudah membentuk pemerintahan. Kubu anti-Netanyahu mencakup spektrum politik yang saling bertentangan secara ideologis. Dimulai dari sayap kanan seperti nasionalis Yahudi, New Hope, sampai ke kiri seperti Merets. Belum lagi Joint List yang didukung Arab. 

Selain karena perbedaan kebijakan dan persaingan pribadi, hambatan terbesar untuk membentuk koalisi alternatif untuk kubu anti-Netanyahu adalah aturan politik Israel yang tidak tertulis (dan ini sangat destruktif), yakni keengganan politik Israel untuk bertumpu pada dukungan partai-partai Arab. Bagi sistem politik partai di Israel, bergabung dengan partai Arab merupakan suatu hal yang dianggap tabu.

Setahun lalu, setelah hasil pemilu, upaya untuk menciptakan koalisi alternatif gagal karena alasan tabu politik ini: tiga anggota Knesset yang dipilih sebagai oposisi lebih cenderung menolak dukungan Arab untuk koalisi. Kali ini, New Hope yang dipimpin oleh mantan anggota kabinet Likud Gideon Saar berkomitmen untuk menolak dukungan dari partai-partai Arab.

Jika disebut satu alasan mengapa pemilu Israel terus menghasilkan kebuntuan politik sampai saat ini, itu disebabkan karena sikap elit-elit politik Israel yang tidak mau merangkul perwakilan partai minoritas Arab. Sikap yang penuh kefanatikan ini dianggap sebagai prinsip paling dasar dalam sistem politik Israel saat ini.

Ironisnya, dalam upaya untuk melanggengkan kekuasaannya, Netanyahu sekarang malah melanggar tabu politik yang dulu ditanamnya dengan gigih di masa lalu. Dia saat ini sedang mencari dukungan dari Mansour Abbas dan partai United Arab List-nya, sebuah faksi Islam yang keluar dari partai Joint List dan mencari peran baru sebagai partai tidak berafiliasi.

Namun, tak hanya itu, Netanyahu juga membutuhkan dukungan dari partai Zionis Keagamaan sayap kanan. Sayangnya, para pemimpin agama Zionis enggan bekerja sama dengan United Arab List. Pada gilirannya, partai terakhir ini menegaskan tidak akan mendukung koalisi manapun termasuk kelompok sayap kanan.

Ada kemungkinan Netanyahu akan kalah. Namun dengan mencari dukungan dari Mahmoud Abbas, Netanyahu sebenarnya dapat menghancurkan tabu dalam sistem politik Israel saat ini. Gideon Saar sebagai sosok yang memiliki kesamaan ideologis dengan Netanyahu yang sekarang ingin menggulingkannya tentunya akan mencontoh Netanyahu untuk menerima koalisi dengan partai-partai Arab. Jika Netanyahu bisa, mengapa partai New Hope besutan Saar juga tidak bisa?

Di sisi lain, jika kubu anti-Netanyahu benar-benar dapat membentuk koalisi dengan dukungan dari partai-partai Islam Arab, mereka akan dapat melakukan dua langkah yang cukup mengesankan: mengakhiri kekuasaan Netanyahu dan memulai integrasi politik baru dengan partai-partai Arab. 

Kemudian kubu anti-Netanyahu yang terdiri dari partai warna-warni secara ini akan menghadapi tantangan yang lebih besar, yakni, mengatasi dan melampaui perbedaan ideologis mereka untuk kemudian dapat memulihkan pemerintahan yang tidak stabil akibat kekacauan politik yang diwariskan ambisi politik Netanyahu dalam mempertahankan kekuasaannya di Israel.

What's your reaction?

Related Posts

1 of 143