Opini

Indonesia Darurat Bencana, Bagaimana Teknologi Menyikapinya?

Oleh I. Aeni Muharromah (Humas BRIN)

Tanggal 26 April dijadikan hari kesiapsiagaan nasional merupak ajang pengingat bahwa letak strategis geografi Indonesia rawan bencana bisa meningkatkan kesadaran nasional. Menyadari kondisi Indonesia berpotensi besar bencana alam seperti gempa bumi, tsunami, longsor, letusan gunung berapi, kebarakan, banjir, angin beliung, dan lain-lain.

Menurut sumber data dan informasi bencana Indonesia BNPB menunjukkan, longsor memiliki frekuensi paling tinggi dibandingkan bencana alam lainnya, seperti banjir, abrasi, angin puting beliung, gempa bumi, dan seterusnya. Hampir semua wilayah Indonesia memiliki potensi bencana alam yang mengancam. Bukan hanya merusak infrastruktur, bencana alam juga mengancam kehidupan sosial dan ekonomi. Bahkan, bencana alam bisa sangat mengganggu berbagai program pembangunan nasional.

Longsor adalah pergerakan massa batuan, bahan rombakan (debris), atau tanah menuruni lereng karena gaya gravitasi. Longsor pada umumnya merupakan proses terisolasi, yang secara individu tidak terlalu besar ukurannya, namun sering terjadi di suatu wilayah.

Menurut data yang dicatat oleh BNPB juga dalam 10 tahun terakhir tepatnya 2015-2024, tanah longsor sangat tinggi kejadiannya yang mencapai 7024 kejadian. Pada 2024, longsor di Indonesia memiliki frekuensi yang sangat tinggi, hingga April 2024 sudah terjadi 183 kejadian. Hujan masih akan turun maka Indonesia darurat longsor.

Melalui hari kesiapsiagaan sesungguhnya pemerintah melalui BNPB mengajak seluruh masyarakat luas untuk peduli bencana kemudian mengtahui bagaimana menghadapinya. Melalui berbagai media kesiapsiagaan dan mitigasi bencana digaungkan, mengajak kita untuk lebih memahami dengan baik. Menurut Fahira Indri (anggota DPRD Jakarta), terdapat lima situasi yang perlu dicapai agar Indonesia mampu menjadi negara tangguh bencana. Pertama, penguatan sistem peringatan dini dengan menginvestasikan anggaran untuk pengadaan teknologi kebencanaan yang canggih. Kedua, memperkuat regulasi yang mengarahkan seluruh pembangunan infrastruktur tahan bencana, dengan standar minimal tahan gempa, banjir, dan angin kencang. Berikutnya meningkatkan kapasitas masyarakat dalam menghadapi bencana melalui pelembagaan pelatihan dan pendidikan kebencanaan. Terakhir, meningkatkan infrastruktur komunikasi dan jaringan telekomunikasi yang tangguh untuk mempercepat respons dan evakuasi di seluruh wilayah Indonesia.

Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mengelar riset, evaluasi dan berbagai kajian, memberikan data dan analisa untuk keperluan penangulangan bencana. Menurut Laksana Tri Handoko (Kepala BRIN) banyak kegiatan memang diperuntukan untuk menyokong data dalam memetakan sumber daya alam di Indonesia. Dalam mendorong tersedianya data-data tersebut, penelitian kebencanaan berfokus pada inovasi terkait bencana sosial, peringatan dini, pemodelan, dan artificial intelligence (AI), mitigasi bencana, kajian bahaya – risiko, serta governance agar dapat dimanfaatkan bersama. Tahun 2024 BRIN fokus pada ekspedisi geologi terestrial untuk pemetaan sesar dan gunung berapi di pulau Jawa. BRIN menekankan dan mendukung kajian struktur Ujungkulon sampai Banyuwangi untuk memetakan sesar jawa dan gunung berapi di seluruh Jawa. Handoko menambahkan terkait otoritas antara BMKG dengan BRIN. Keduanya memiliki fungsi masing-masing sesuai dengan undang-undang yang berlaku dengan upaya mendukung mitigasi bencana. Bawah ionosfer merupakan ranah BMKG, untuk perubahan iklim dan kebencanaan ada potensi bencana yang berasal dari atas ionosfer menjadi tanggung jawab BRIN berdasarkan UU keantariksaan. Kedua lembaga negara ini harus sinergi dan saling melengkapi data maupun risetnya. Bersinergi menyediakan data untuk BNPB dan Pemda.

Pemanfaatan teknologi penginderaan jauh menurut M. Rokhis Khomarudin Plt.

Kepala Pusat Riset Geoinformatika (PRG) BRIN  sudah sedemikian pesatnya. Sekarang sudah banyak bertebaran satelit data penginderaan jauh yang memotret permukaan bumi, dan dapat dimanfaatkan seluas-luasnya oleh masyarakat.

Saat ini sudah banyak data satelit yang spasial resolusinya sangat tinggi, seperti rumah sudah bisa kelihatan, bisa mendeteksi beberapa obyek penting yang dulunya hanya digunakan dengan foto udara. Melalui citra satelit kita sudah bisa mendeteksi daerah dengan resolusi spasial yang tinggi. Ketersediaan data sekarang juga sangat besar, dan ada beberapa provider yang menyediakan data gratis di google. Misalnya USGS Earth Explorer, landviewer, Copernicus data hub, sentinel hub, dan lain-lain.

Mengidentifikasi bencana longsor ini, kita dapat memanfaatan data citra satelit dengan menggunakan Google Engine (GE) dan Google Earth Engine (GEE). GE merupakan platform yang tidak berbayar, resolusi spasialnya tinggi dan timeseries. Untuk GEE selain platformnya tidak berbayar juga, dia menggunakan teknologi cloud computing dan machine learning. Memilki banyak sumber data, timeseries, dan bisa melakukan pemodelan kerentanan longsor berbasis machine learning.

Pada saat terjadi bencana teknologi ini bisa monitor di mana lokasi-lokasi terjadinya bencana. Kemudian dampaknya seperti apa, salah satu contoh adalah terkait dengan longsor, kebakaran lahan dan hutan. Setelah terjadinya bencana kita bisa melihat dampak dari bencana tersebut, di mana lokasi-lokasi yang rusak, dan sebagainya.

Sementara itu, melalui kewenangannya BMKG dapat memprediksi Bencana musiman bisa dilakukan 6 bulan sebelumnya, atau setahun sebelumnya yang sudah diprediksi oleh BMKG. Berlanjut periode bulanannya seperti apa, di atas normal atau di bawah normal, bahkan bisa dilihat juga secara mingguan. Apakah minggu ini curah hujannya berturut-turut banyak, artinya warning terhadap banjir. Apabila setelah seminggu tidak ada hujan berarti warning terhadap kekeringan serta kebakaran lahan dan hutan. Selain itu juga bisa dilakukan peringatan dini secara harian. Bahkan untuk wilayah banjir beberapa wilayah sudah dipasang telemetri dan sistem pemantauan dari hulu ke hilir.

Kerentanan longsor kemungkinan terjadinya di suatu lokasi yang ditentukan oleh faktor geologi, topografi, hidrologi, antropogenik. Dipicu pula oleh faktor-faktor lainnya seperti gempa, dan curah hujan.  Sedangkan zonasi tingkat kerentanan longsor meliputi sangat rendah, rendah, sedang, tinggi, dan sangat tinggi.

Teknologi pengindraan jarak jauh sangat bermanfaat dalam melakukan menajemen kebencanaa di daerah dengan menggunakan data citra satelit itu. BRIN, BMKG harus  bekerjasama dengan pemda /pemkot dan pemkab. BRIN merupakan satu-satunya lembaga pemerintah yang memiliki wewenang untuk pengadaan dan distribusi data citra satelit. BRIN juga sebagai lembaga yang bertugas melakukan kegiatan akuisisi, pengolahan, dan pengelolaan data satelit penginderaan jauh untuk kebutuhan nasional. BRIN memberikan pelayanan untuk berbagai macam pihak yang membutuhkan data citra satelit tersebut.

Melalui teknologi Indonesia sebagai negara darurat bencana harus  bertransformasi menjadi negara yang tangguh bencana maka semua dampak akibat bencana alam ini akan lebih efektif ditanggulangi. Ini penting agar bencana tidak berdampak luas terhadap kehidupan masyarakat dan mengganggu berbagai program pembangunan nasional. Disamping teknologi, hal penting lainnya adalah kesadaran seluruh komponen bangsa. Masyarakat luas harus ambil peranan dan peduli terhadap kondisi lingkungan kita.

What's your reaction?

Related Posts

1 of 143

Leave A Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *