Klik NewsOpini

Membudayakan Literasi Baca-Tulis

Oleh: Nadiah El Asyrof

(Penulis adalah Mahasiswa Hubungan Internasional Pascasarjana Universitas Paramadina)

Setelah baca sekian banyak tulisan Asma Nadia terkait literasi baca-tulis, selalu terungkap fakta baru dalam menyampaikan motivasi dan inspirasi. Dua hal yang rumit ditemukan di kalangan generasi milenial, sebab literasi baca-tulis butuh konsistensi waktu dan belajar menjadi profesional.

Pintar baca belum tentu pintar menuangkan ide dalam tulisan, dua hal yang berbeda sama-sama butuh penekanan. Oleh karena itu, budaya baca agar menambah kekayaan ilmu pengetahuan dan keluasan bahasa, sedangkan menulis menuangkan ide/ilmu bagi setiap orang yang kreatif dan produktif.

Pepatah mengatakan “Jika kamu ingin mengenal dunia maka membacalah. Jika kamu ingin dikenal dunia maka menulislah”. Tersirat makna literasi baca-tulis adalah hal paling penting dalam kehidupan seseorang yang ingin menjadi penulis. Khususnya bagi kaum-kaum pelajar.

Keberadaan tradisi baca sangat miris di negara kita tercinta yakni Indonesia. Menurut laporan survei World Culture Index Score 2018 kegemaran masyarakat dalam budaya baca meningkat signifikan, Indonesia berada di urutan nomer 60 dari 61 negara yang pernah diteliti tentang aktivitas membacanya.

Pada tahun 2019 survei organisasi pendidikan lagi-lagi mengejutkan, ilmu pengetahuan dan kebudayaan PBB (Unesco) Indonesia tidak ada kemajuan. Tetapi, stagnan. Indonesia menduduki peringkat 60 dari 61 negara di dunia pada level literasi baca. Suatu ironi dan keterpurukan.

Hasil penelitian ini sangat-sangat menunjukkan indikator yang pasti terkait tingkat minat budaya tulis sangatlah rendah sekali, ketika keduanya dialami Indonesia sulit negeri muslim menyentuh negara maju. Level negara berkembang tidak pernah pindah akibat problematika literasi baca-tulis.

Hal serupa pernah tersampaikan sebelumnya, dilansir GenPI.co Rhenald Kasasli mengatakan, survei yang menyatakan minat baca masyarakat Indonesia terendah kedua di dunia, masih tergolong angka rata-rata keseluruhan.

Saya tengok kurikulum yang diterapkan pada sekolahan di Jepang, mewajibkan kepada peserta didiknya untuk selalu baca buku sebelum masuk kelas dan mengikuti pelajaran. Dalam hal baca, pihaknya selalu mengalokasikan waktu membaca sekitar 10 sampai 15 menit sebelum masuk ruangan.

Dengan sistem peraturan demikian sangat efektif dan membuahkan hasil yang menakjubkan. Sehingga tidak wajar jika Jepang selalu mencetak siswa atau pelajar yang sangat berkualitas, kreatif, dan produktif. Alhasil, negaranya menjadi maju karena tingkat budaya literasi baca-tulisnya tinggi.

Misal membaca di angkotan umum saya pun sulit menemukan gambar seseorang baca atau menulis? Jika iya pasti itu kebiasaan orang Jepang. Tidak dapat dipungkiri kebiasaan baca membentuk orang Jepang memang sangat tinggi. Bukan tidak mungkin budaya baca-tulis hidup tanpa lingkungan.

Ruang publik dijadikan sebagai tempat paling asik untuk melakukan aktivitas baca, serta para siswa ataupun kaum akademisi lainnya juga akan memanfaatkan angkutan umum sebagai tempat untuk baca. Setiap pembaca pasti mendapat jaminan bahwa ide menjadi penulis bakal ada.

Seperti halnya, Tachiyomi yang dilansir tribunjogja.com Tachymoni adalah aktivitas baca gratisan sambil berdiri di toko buku. Jepang memang banyak toko-toko buku, di selat-selat toko tersebut pula banyak buku yang sudah terbuka sampul plastiknya sehingga memberikan fasilitas baca bagi para pengunjung toko sebelum membelinya.

Dan prinsip pemilik took pun sangat unik, ia beranggapan semakin banyak Tachiyomi di tokonya maka semakin banyak pula pembeli yang akan datang esok hari atau hari-hari lainnya. Hal itu menjadi budaya yang sebetulnya mendorong tingkat minat baca-tulis di kalangan pelajar digenjot lingkungan.

Kemana-mana orang Jepang akan selalu membawa buku dan membacanya setiap kali berhenti untuk beristirahat. Hal ini dilatar belakangi dengan banyaknya masyarakat Jepang yang berlalu lalang di pusat-pusat keramaian yang membawa buku, dan membaca bukunya ketika sedang duduk bersantai. Dari fenomena tersebut muncul suatu pikiran bahwa akan merasa aneh jika dirinya tidak sama dengan kabanyakan orang-orang yang ditemuinya.

Seperti yang saya tahu budaya baca sebanyak mungkin buku-buku yang ada akan menambah wawasan serta pengetahuan baru dalam kehidupan seseorang. Bahkan menjadikan hal itu penulis banyak buku seperti sedia kala baca buku penulis-penulis terkenal. Tanpa buku generasi tidak akan cerdas.

Di sisi lain seseorang yang sudah memiliki jam terbang yang tinggi dalam membaca maupun menulis akan menambah perbendaharaan kosa kata sehingga seseorang yang gemar mambaca maupun menulis juga memiliki keunggulan dalam beretorika dan menganalisis, serta peka atas segala persoalan.

Budaya ini yang meningkatkan konsentrasi seseorang lebih tinggi daripada yang hanya sekedar baca tapi tidak menulis, minat baca dan kemampuan tulis-menulis tidak dapat dipisahkan dalam mata rantai pendidikan di Indonesia. Sehingga pemerintah perlu hadir untuk mendorong tersebut.

Yuk terus latih otak kita agar tetap sehat dan kuat dengan membiasakan dan menciptakan tradisi membaca-menulis. Karena satu-satunya kemajuan negara bukan berarti melulu disebabkan persoalan ekonomi. Melainkan budaya baca-tulis yang cukup rendah di negeri ini, maka perbaikilah.

A

What's your reaction?

Related Posts

1 of 3,382

Leave A Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *