EkonomiKlik NewsSpecial Klik

Catatan Perekonomian Indonesia Komisi Ekonomi PB HMI (MPO): Berat!

Komisi Ekonomi Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (MPO) menilai bahwa tahun 2018, perekonomian Indonesia dibayang- bayangi oleh dinamika perekonomian global.

Dalam Annual Review 2018 yang ke media, PB HMI (MPO) mengungkapkan adanya beberapa dinamika global tersebut: Diantaranya:meningkatnya kebijakan proteksionisme beberapa negara utama, proses penyeimbangan (rebalancing) ekonomi Republik Rakyat Tiongkok dalam menghadapi tingginya tingkat utang domestik dan menetralisir dampak rencana kenaikan tarif impor AS untuk produk asal RRT, ketidakpastian pasca negosiasi Brexit,normalisasi kebijakan moneter di beberapa negara maju.

Selain itu, ada juga faktorkenaikan harga komoditas global,  penurunan produktivitas di beberapa negara dunia; serta meningkatnya tensi geopolitik dan aksi terorisme di berbagai belahan dunia.

Rilis yang dilansir oleh Ketua Umum PB HMI (MPO) Zuhad Aji Firmantoro dan Sekjen HMI (MPO) Najamuddin Arfah juga menyebutkan bahwa tantangan domestik juga menjadi persoalan ekonomi di 2018.

Diantaranya adalah ruang stimulus fiskal, masih lesunya aktifitas di sektor usaha dan tren penurunan pertumbuhan ekonomi potensial menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi 5, 4 persen.

Komisi Ekonomi PB HMI (MPO) menilai bahwa sepanjang tahun 2018, beberapa indikator asumsi makro meleset jauh dari target. Seperti nilai tukar, harga minyak dan lifting minyak.

Secara rinci realisasi asumsi makro dapat dijelaskan, sebagai berikut:

1. Pertumbuhan ekonomi pada kuartal III tahun 2018 hanya mampu mencapai 5, 17%

2. Laju inflasi terjaga di level 3, 13%

3. Tingkat suku bunga 4, 95%

4. Nilai tukar yang terjaga di level Rp 14. 427/ USD

5. Harga minyak mentah Indonesia 67, 5 USD/ barrel

6. Lifting minyak Rp 776 ribu/ barrel; dan

7. Lifting gas 1. 136 ribu/ barrel.

Pergerakan rupiah juga sempat diterpa beberapa sentimen eksternal seperti faktor geopolitik dan penguatan ekonomi AS. Sedangkan kenaikan harga minyak dipengaruhi faktor geopolitik, akses dan kapasitas produksi.

Pertumbuhan ekonomi menjelang akhir tahun 2018, juga kembali meleset dari target yang ditentukan. Pada kuartal III tahun 2018, pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia tercatat sebesar 5,17% dari kuartal yang sama pada tahun 2017 (YoY).

Bahkan pertumbuhan tahun 2018 diprediksikan hanya sebesar 5,15%, angka ini lebih rendah dari target pertumbuhan yang sebesar 5,4%. Sedangkan, jika dibandingkan dengan kuartal sebelumnya yang sebesar 5,27%, perekonomian tumbuh 0,10% lebih rendah (QtQ). Hal ini lantaran mesin utama penggerak ekonomi berjalan lambat bahkan cenderung turun.

Disampaikan bahwa, secara umum pertumbuhan ekonomi nasional masih ditopang oleh komponen konsumsi, khususnya konsumsi rumah tangga yang kontribusinya sebesar 55,26% dan diikuti oleh komponen investasi yang kontribusinya sebesar 32%.

Dari sisi pengeluaran, pertumbuhan konsumsi rumah tangga pada kuartal III tahun 2018 mencapai 5,01%, sedikit di atas pertumbuhan konsumsi kuartal III tahun 2017 yang sebesar 4,93%. Namun lebih rendah jika dibandingkan dengan kuartal sebelumnya yang sebesar 5,14% (QtQ).

Stagnannya pertumbuhan konsumsi di kisaran 5 persen menyebabkan tingkat inflasi juga rendah sehingga rendahnya inflasi justru mencerminkan rendahnya daya beli masyarakat. Belum lagi daya beli petani yang tak kunjung membaik. Hal ini terbukti dari stagnannya Nilai Tukar Petani di kisaran 103 dan tidak menunjukkan pertumbuhan yang berarti.

Sedangkan realisasi investasi kuartal III tahun 2018 mencatat penurunan tipis sebesar 1,58% (YoY) menjadi Rp 173,8 triliun dari kuartal yang sama tahun sebelumnya yang sebesar Rp 176,6 triliun.

Dan, jika dibandingkan dengan kuartal sebelumnya yang sebesar Rp 176,3 triliun, investasi juga turun tipis sebesar 1,42% (QtQ). Kondisi ini seiring dengan penurunan realisasi Penanaman Modal Asing yang cukup signifikan baik secara tahunan maupun kuartalan.

Kebijakan investasi pemerintah dalam merespon ketidakpastian ekonomi global dinilai kurang ampuh mendatangkan dana investasi dari luar sehingga neraca transaksi berjalan mengalami tekanan defisit. Selain itu, kebijakan kenaikan suku bunga menyulitkan masyarakat dalam mengakses pembiayaan karena beban kredit yang juga meningkat.

Selain itu dari sisi lapangan usaha, perekonomian nasional masih didominasi oleh sektor industri pengolahan sebesar 19,66% dan sektor pertanian sebesar 13,53%. Namun sayangnya, masing-masing hanya mampu tumbuh di bawah rata-rata pertumbuhan nasional.

Industri pengolahan mencatat pertumbuhan sebesar 4,33% dan sektor pertanian hanya mencatat pertumbuhan sebesar 3,62%. Lonjakan pertumbuhan justru terjadi di sektor komunikasi dan informasi yang kontribusinya terhadap perekonomian hanya sebesar 3,75% namun mampu tumbuh hingga 8,98%.

Faktor lain yang menghambat realisasi target pertumbuhan ekonomi kuartal III tahun 2018 adalah defisit neraca perdagangan. Pada kuartal III tahun 2018, neraca perdagangan sempat mengalami surplus sebesar USD 0,31 miliar namun tetap tak mampu membantu menutupi jurang defisit kumulatif sejak awal tahun 2018.

Pertumbuhan ekspor kuartal III tahun 2018 hanya mampu tumbuh sebesar 7,52% secara tahunan (YoY), jauh lebih rendah dari periode kuartal III tahun 2017 yang mencapai 17,26%.

Sedangkan impor tumbuh 14,06%, hanya sedikit lebih lambat dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang sebesar 15,09% (YoY). Lebih lanjut, pada bulan November 2018, defisit neraca perdagangan kembali jatuh ke titik terdalam sejak tahun 2013 yaitu dengan nilai defisit sebesar USD 2,05 miliar.

Apabila dihitung secara kumulatif, neraca perdagangan Januari-November mencatat defisit sebesar USD 7,52 miliar.

Secara rinci, defisit neraca perdagangan diakibatkan oleh lebarnya defisit perdagangan migas pada tahun 2018. Hal ini karena ketergantungan yang tinggi terhadap impor migas.

Nilai impor minyak dan gas (migas) Indonesia pada periode Januari-November 2018 tercatat sebesar USD 27,81 miliar. Sedangkan nilai ekspor migas Indonesia hanya mencapai USD 15,66 miliar. Sebagai akibatnya, neraca perdagangan migas defisit hingga USD 12,15 miliar atau setara Rp 175 triliun.

Kinerja fiskal diklaim pemerintah merupakan yang terbaik dalam lima tahun terakhir. Pendapatan negara tahun 2018 mencapai 102,5% dari target APBN 2018 atau sebesar Rp 1.942,3 triliun. Padahal pendapatan negara sebelumnya ditargetkan sebesar Rp 1.894,7 triliun.

Praktis, defisit anggaran berhasil ditekan menjadi 1,76% terhadap PDB atau sebesar Rp 259,9 triliun. Angka ini lebih rendah dari target defisit anggaran yang diproyeksikan yaitu 2,19% atau sebesar Rp 325,9 triliun. Sedangkan realisasi belanja pemerintah sendiri diklaim berhasil mencapai 99,2 persen dari target APBN 2018.

Jika diperhatikan secara mendalam, pertumbuhan pendapatan negara yang melampaui target tersebut tak lepas dari faktor eksternal berupa kenaikan harga minyak dunia dan pelemahan kurs rupiah.

Kenaikan harga minyak dunia memberikan keuntungan pada penerimaan negara khususnya melalui Penerimaan Negara Bukan Pajak Sumber Daya Alam (PNBP SDA) yang mencapai 174,6% dari target atau sebesar Rp 181,1 triliun. Realisasi ini mengkompensasi penerimaan pajak yang hanya mampu mencapai 90,3% dari target.

Selain itu, pendapatan negara juga disokong oleh penerimaan dari kepabeanan dan cukai yang mencapai Rp 205,5 triliun atau 105,9% dari target APBN 2018. Hal ini menyusul pelemahan nilai rupiah.

Kinerja fiskal yang baik ini lebih disebabkan oleh faktor eksternal perekonomian antara lain faktor kenaikan harga minyak dan faktor pelemahan rupiah.

Sementara realisasi penerimaan perpajakan sendiri menunjukkan kinerja yang kurang baik. Penerimaan perpajakan mencatat shortfall sebesar Rp 108,1 triliun, lebih tinggi dari angka shortfall yang diproyeksikan sebesar Rp 73,1 triliun.

Pemerintah harus lebih meningkatkan peran stimulus fiskal guna mendorong produktifitas perekonomian sehingga peningkatan rasio pajak (tax ratio) dapat meningkatkan penerimaan negara secara efektif. Dengan demikian, kinerja fiskal tidak terlalu bergantung pada faktor eksternal.

Ke depan beberapa dinamika tantangan global dan domestik diprediksikan masih akan terus berlanjut dan memberikan tekanan pada perekonomian nasional.

Tugas pemerintah akan semakin berat dalam mendongkrak momentum pertumbuhan. Oleh sebab itu, momentum Pemilu 2019 perlu dimanfaatkan dengan baik dalam mendorong penguatan konsumsi. Di sisi lain, pemerintah perlu berupaya lebih keras dalam memperbaiki iklim investasi dan melanjutkan perbaikan infrastruktur guna mendorong penguatan investasi.(*)

What's your reaction?

Related Posts

1 of 3,601

Leave A Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *