HiburanInfo KlikersSpecial KlikStory Teller

“Agama Mungguhing Gusti”

Cakap Hangat Sudut Angkringan Di Zaman Batu

Tampak silau memancarkan cahaya saat terkena sinar lampu yang sedikit remang melintasi gorengan di angkringan. Cling… cling… cling… jari tangan pak Sardi tampak memantulkan cahaya berkilau saat mengambil sebuah mendoan di tengah percakapan.

Terlihat indah dan mewah, terlebih demam batu akik saat itu tengah melanda masyarakat di seantero negeri.

Sontak mengundang perhatian dan rasa penasaran kami yang saat itu ikut duduk menikmati jagongan di angkringan.

Pak Sardi dengan bangganya mempetontonkan cincin di jari tangannya kepada kami yang ada di sana, setelah mendapati sanjungan dari Junaidi karena merasa silau atas kilau cahaya pantulan cincin yang begitu menyala.

Sebuah batu akik berwarna ungu yang dibalut dengan cincin emas 22 karat. Ia menceritakan tentang bagaimana mendapati batu tersebut, sehingga begitu merasa sayang.

Batu ungu itu tak lain merupakan pemberian dari sosok seorang guru. Batu bertuah pemberian guru Pak Sardi, bukan guru SD atau SMP. (Karena memang pak Sardi tidak pernah merasakan atau mengenyam pendidikan di SD dan SMP. Dalam riwayat yang pernah diceritakan, Pak Sardi dulunya mengenyam pendidikan di MI dan MTS).

Guru spiritual yang dianggap sebagai pembimbingnya dalam menemukan arah hidup saat dirinya masih muda hingga kini yang beranjak menua berkepala lima.

Junaidi yang merupakan aktivis langgar pun (dengan tanpa basa-basi) menegur Pak Sardi yang mengenakan cincin emas di jarinya. “napa oleh pak wong lanang nganggo ali-ali emas?”(apa boleh pak laki-laki memakai cincin emas?) tanya Junaidi ke Pak Sardi.

Menurut Junaidi yang juga merupakan lulusan MTS itu, bahwa seorang muslim memang tidak diperbolehkan mengenakan perhiasan dari emas. Ia seolah menceritakan tentang bagaimana dulu gurunya pernah mengajarkan tentang apa-apa yang diperbolehkan dan tidak bagi seorang muslim.

“Yo etuk wae!”jawab pak Sardi datar. “Iki nyatane aku yo nganggo! Berarti kan oleh?”(ini saya juga pakai, berarti kan boleh?) jelas Pak Sardi.

Karena merasa kurang terima dengan pernyataan Pak Sardi itu, kemudian Junaidi bertanya soal dasar hukum agama yang memperbolehkan seorang muslim menggunakan perhiasan dari emas. Karena sepanjang perjalanannya belajar di MTS dulu menurutnya memang ia tidak pernah mendapati dalil yang demikian.

“Yo ora enek, ning iki mungguhku etuk yo tak nggo. Agama ki sing penting mathuk mungguhing atiku yo tak nggo. Nek ora yo ora perlu digagas!” (Ya gak ada, tetapi ini menurutku boleh ya saya pakai.

Agama itu yang penting cocok dengan kehendak hati saya ya saya pakai. Kalau tidak ya tidak perlu digubris). Jelas Pak Sardi mengutarakan alasan dan pandangannya menggunakan cincin emas.

Mendapati pandangan yang demikian saya yang menjadi pendengar setia dari obrolan soal cincin itu justru malah menjadi bingung. Pasalnya saya mengenal Pak Sardi ini merupakan sosok ketua Takmir mushola di kampung kami. Seperti umumnya orang di kampung, saya menganggap orang-orang demikian adalah orang yang alim.

Paling tidak memiliki bekal ilmu agama yang cukup. Terlebih Pak Sardi ini kan jebolan Madrasah, berbeda dengan saya yang Cuma sekolah dengan pelajaran agama 2 jam saja per minggu.

Itupun kalau gurunya ada kepentingan seperti njagong atau ada tetangganya meninggal biasanya pelajaran dikosongkan dan kami hanya mendapatkan tugas untuk mengerjakan LKS.

Baca juga :   Panitia Ajak Masyarakat Beramal Jariyah Dalam Pembangunan Masjid Royal Madinah Desa Kuranji Dalang

Kebingungan saya bukan terletak pada boleh tidaknya mengenakan cincin emas bagi seorang muslim. Melainkan tentang sikap Gusti Allah yang begitu lunak dan fleksibel di mata Pak Sardi.

Jika Pak Sardi merasa cocok akan diterimanya sebagai ajaran, tetapi jika tidak cocok maka tidak akan digubris atau bahkan dilanggar.

Saya dalam hati cuma mbatin, jangan-jangan nanti di akhirat surga dan neraka bisa kita tentukan sendiri? Kalau saya merasa cocok di surga ya saya tempati, tapi kalau tidak yang gak usah digubris apa yang diputuskan Gusti Allah nantinya.

Semisal terjadi percakapan antara Gusti Allah dengan Pak Sardi nantinya pada saat dihisab, saya membayangkan demikian.

“Hai Sardi, karena amal perbuatanmu selama di dunia lebih banyak amal buruk, maka engkau akan dimasukkan ke dalam api neraka terlebih dahulu!”

“Tidak!! Lha wong menurut saya amal baik saya jauh lebih banyak. Tempat saya tetap di surga. Saya gak mau di neraka!!”

Kok gayeng menurut saya yang demikian. Enak pastinya sebagai manusia kalau menjadi dan memiliki sudut pandang macam Pak Sardi ini. Tetapi saya enggan terlibat secara langsung dalam pembicaraan antara Pak Sardi dan Juanidi itu.

Saya hanya bisa mbatin dan menjadi pendengar setia, sambil belajar. Karena saya ini juga tergolong sebagai seorang abangan yang tidak terlalu banyak memahami dalil-dalil dalam ajaran agama yang saya anut.

Tetapi kehadiran Pak Sardi ini mungkin bisa menjadi solusi bagi orang macam saya ini, jika memang pandangan beliau memang benar.

Teguran Di Tanah Suci

Setelah lewat beberapa waktu Pak Sardi dan Junaidi termasuk saya kembali dipertemukan di angkringan yang sama.

Ceritanya Pak Sardi baru sekitar sebulan pulang dari perjalanan Haji. Meski sudah tidak lagi musim batu akik, Pak Sardi kembali menunjukkan cincin barunya yang tidak lagi berwarna ungu. Melainkan merah yang dimaknainya sebagai wujud berkah, karena didapatkannya di kota Mekah.

Meskipun cincin itu hanya berbalut monel (bukan emas), tetapi dianggap Pak Sardi sebagai sesuatu yang spesial.

“enggal pak?” (baru pak?) tanya Junaidi pada Pak Sardi.

Ia kemudian menceritakan, kalau cincinnya yang berwarna ungu waktu itu hilang entah kemana saat berangkat berhaji. Sudah sebulan lebih ia mencari tetapi tidak juga ditemukan.

Akhirnya saat berada di Mekah, Pak Sardi mendapati pengganti cincin merah yang ada di tangannya. Ia mengaku kalau cincin itu pemberian dari seorang bocah, tetapi ia tak mengenalinya. Anehnya bocah itu hanya memberikan cincin itu kepadanya lalu pergi, dan hanya menyampaikan “halal..! halal..!”.

Setelah diterima cincin itu dan dikenakan, Pak Sardi tidak lagi mendapati bocah tersebut. Tetiba menghilang begitu saja, dan ia tak tahu kemana perginya.

“Lha niku dielingke Gusti Allah jenenge pak!” (Lha itu artinya diingatkan Gusti Allah pak). ungkap Junaidi mendapati cerita Pak Sardi.

Menurutnya bahwa kejadian yang dialami Pak Sardi itu merupakan peringatan kepada Pak Sardi untuk tidak lagi mengenakan cincin emas.

Oleh Gusti Allah kemudian Pak Sardi diberikan cincin biasa dengan mata cincin merah tetapi tetap terkesan indah dan mewah, melalui fenomena yang didapatinya di tanah Mekah.

Mendapati apa yang diungkapkan Junaidi itu, Pak Sardi kemudian bersepakat jika memang seorang muslim tidak diperkenakan untuk memakai perhiasan yang terbuat dari emas. Menurutnya peristiwa yang dialami itu merupakan wujud sayangnya Gusti Allah kepada dirinya.

Baca juga :   Kemenperin Gelar Beragam Pendampingan bagi IKM di NTB

Sehingga hal yang dianggap salah atau keliru itu digantikan dengan hal lain yang lebih baik. Pak Sardi dan Junaidi pun bercakap dengan begitu hangat, saat keduanya merasa memiliki satu pemahaman yang sama soal cincin emas bagi seorang muslim.

Saya yang abangan ini kemudian menyimpulkannya sebagai pemahaman baru dalam beragama. Bahwa sebagai seorang muslim saya tidak diperkenankan mengenakan perhiasan yang berbahan emas.

Hal ini baru memang bagi saya, karena sepanjang karir saya sebagai manusia semenjak lahir saya tidak pernah memakai perhiasan berupa emas.

Bukan karena paham dasar hukumnya, tetapi memang karena saya belum cukup mampu untuk membelinya saat itu.

Oleh karenanya Junaidi tidak pernah menegur saya soal cincin emas, lha wong gak duwe je!! Dan saya sedikit merasa bangga saat itu, karena cincin yang saya pakai berbahan sama dengan milik Pak Haji Sardi.

Cincin monel yang saya dapatkan dari seorang sesepuh di Wonogiri dengan memberikan sedikit mahar. Mbah Atmo pedagang batu akik asal wonogiri saat itu membandrol cincin yang saya kenakan seharga lima puluh ribu rupiah.

Bedanya hanya soal di mata cincinnya, antara cincin yang saya pakai dengan milik Pak Sardi. Kalau punya Pak Sardi berwarna merah, milik saya berwarna hijau.

Beberapa hari kemudian dalam sesi berbeda, diskusi angkringan kami kembali dipertemukan. Maklum berkumpul di angkringan bagi masyarakat di tempat saya lebih terlihat seperti sebuah ritual. Jadi menjadi hal lumrah jika kemudian kami berkumpul dan berdiskusi sambil ngopi.

Namanya juga angkringan di tengah kampung, tentu yang sering nongkrong di sana seringkali adalah orang-orang yang sama.

Dan si pemilik angkringan sempat juga menyinggung soal pembuatan KTA (Kartu Tanda Anggota). Namun urung dibuatkan, karena persoalan kompensasi yang belum juga mendapati solusi.

Siapa Benar?

Di dalam pertemuan yang kesekian kali ini, Pak Sardi tidak lagi menunjukkan cincin merahnya yang disebut sebagai wujud kasih sayang Gusti Allah kepadanya. Junaidi yang pernah bitotama-kata dengan Pak Sardi kembali ditunjukkan cincin ungu yang pernah hilang sebelumnya.

“Sudah ketemu Jun!” sembari memperlihatkan cincin ungu kesayangannya. “Lha kok diagem malih pak?”(Lha kok dipakai lagi pak?) tanya Junaidi ke Pak Sardi. Menurut Pak Sardi cincinnya tidak hilang, melainkan ia hanya lupa menaruhnya mungkin. Saat bersih-bersih rumah, Pak Sardi kembali menemukannya dan kembali memakainya.

Katanya sayang kalau tidak dipakai, karena cukup mahal harga cincin saat membelinya. Tetapi hal itu kemudian membuat saya kembali bingung, karena saya terlanjur menyimpulkan bahwa cincin emas itu tidak diperbolehkan untuk digunakan seorang muslim.

“Lha gimana ini?” bisik saya dalam hati. Terlebih Pak Sardi ini selain sebagai tokoh agama, saat itu beliau sudah menyandang gelar haji. Jelas saya menjadi ragu untuk mempertahankan keyakinan atas kesimpulan saya terkait cincin emas itu.

“Wis ben, tak nggone! Wong mungguhku bener.” (Biar saya pakai! Karena menurut saya benar). Begitu ungkap Pak Sardi kepada Junaidi. “Ow, nggih mpun!” (Ow, yasudah!) jawab Junaidi datar menanggapi apa yang diutarakan Pak Haji Sardi.

Baca juga :   Kemenperin Gelar Beragam Pendampingan bagi IKM di NTB

“Siapa yang benar?” menjadi pertanyaan besar dalam benak saya saat itu. Sebagai awam, mungkin saya akan mengikuti jalur Pak Sardi. Pasalnya selain tokoh agama di kampung, beliau juga telah mendapatkan gelar Haji karena sudah berangkat berhaji. Mungkin itu yang benar, tetapi menjadi aneh kemudian bagi saya.

Karena Rasulullah SAW sudah lama tiada, dan sebagai muslim yang menjadi patokan atas tatanan hukum beragama adalah Al Qur’an dan Hadist.

Lalu bagaimana suatu aturan dapat berubah (apalagi ini aturan dari Sang Pencipta) tanpa kehadiran Rasulullah SAW dan amandemen dalam Al Qur’an? Siapa kemudian yang akan saya percayai di sini, Pak Sardi atau Junaidi? Tetapi sebelum saya melantur jauh, saya diingatkan oleh seorang kawan ‘ghaib’, “Musryik itu dul! Percaya itu sama Gusti Allah SWT bukan Pak Sardi atau Junaidi!” ungkapnya kepada saya. “Menengo!” (Diamlah!) pinta saya kepadanya.

“Apa mungkin Pak Sardi habis ketemu sama Gusti Allah? Atau mungkin beliau sedang menjalankan proses sidang (macam DPR) untuk meng-amanden aturan? Ah, sudahlah!!! Setahu saya hukum atau aturan dalam beragama itu sudah ditetapkan dasar-dasarnya.

Lha wong Kanjeng Nabi Rasulullah SAW saja pernah ditegur Gusti Allah SWT karena mengharamkan yang halal je! Nanti saja kalau ada kesempatan saya jumpa dengan orang yang lebih paham, mungkin akan saya tanyakan.

Karena setahu saya, yang namanya aturan itu tidak boleh dirubah prinsip dan dasarnya. Bisa jadi berubah hanya soal wujud yang nampak. Seperti halnya menutup aurat, itu aturannya dan bahan yang digunakan untuk menutup dan bentuknya akan bisa berubah dan menyesuaikan.

Saya hanya mengagumi tentang prasangka Pak Sardi yang menganggap Gusti Allah SWT begitu lentur. Tetapi jika kemudian memang Pak Sardi belum mengetahui aturannya dengan jelas.

Hanya saja, dalam kesempatan sebelumnya ia sudah menyepakati dan menyadari atas aturan itu. Selain itu, Pak Sardi tampaknya mangkir dari Gustinya.

Saat ia diberikan cincin merah, dan mengakui bahwa itu wujud kasih sayang Gusti Allah SWT. Dan jelas tidak mungkin seorang yang berilmu akan mangkir dari kasih sayangnya Gusti Allah SWT.

Lha wong kita hidup ini sejatinya sedang melangkah berharap kasih sayangnya Gusti Allah SWT. Nah to!!! Dan saya kembali menarik kesimpulan atas cincin emas itu bagi seorang muslim hingga batas waktu yang belum ditentukan.

Di sisi lain, saya harus menyadari bahwa beragama yang benar itu adalah “Mungguhing Gusti, dudu Mungguhing Diri!” (Menurut Gusti Allah SWT, bukan menurut diri sendiri). Diri ini hanyalah wujud yang diwajibkan untuk terus berusaha sebaik mungkin memenuhi segala titah perintahNya.

Percayalah Gusti Allah SWT tidak akan memaksamu menjadi sempurna, melainkan hanya ingin tahu sejauh apa upayamu untuk menjadi sempurna di hadapNya.

“Lha wis bacut dituku nek haram njut kepiye?” (Lha kalau sudah terlanjur dibeli, kalau haram terus bagaimana?) Tanya Pak Sardi pada Junaidi.

“Nggih pun monggo pak!” (Ya terserah pak!) Jawab Junaidi seolah enggan melanjutkan diskusi soal cincin tersebut.

Saya Cuma mbatin, “harusnya biar tetep halal cincinnya dijual dan duitnya buat jajan bareng-bareng. Perut kenyang, badan sehat, semua bahagia dan pastinya halal. Tapi Cuma bisa MBATIN!!!!

 

What's your reaction?

Related Posts

1 of 1,342

Leave A Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *