Kementerian Koperasi dan UKM di tahun 2023 mengeluarkan regulasi baru yang mengatur tentang usaha simpan pinjam koperasi di Indonesia. Melalui Permenkop UKM Nomor 8 Tahun 2023, regulasi ini disusun dengan tujuan untuk meningkatkan tata kelola, kepatuhan, dan profesionalisme koperasi simpan pinjam (KSP) serta unit simpan pinjam (USP) koperasi. Meskipun dikatakan regulasi memiliki tujuan yang baik, namun insan koperasi sudah sepatutnya melakukan analisis kritis terhadapnya. Setidaknya ada beberapa ketentuan dalam peraturan yang sejauh ini tercatat akan berpotensi menghambat perkembangan koperasi, terutama bagi koperasi kecil dan menengah yang memiliki keterbatasan sumber daya.
Beberapa Catatan Penting
Penetapan persyaratan modal minimal yang lebih tinggi dibandingkan regulasi sebelumnya. Diatur bahwa untuk KSP primer, modal minimal yang harus disetor adalah Rp. 500 juta, sedangkan untuk KSP sekunder minimal satu miliar rupiah. Tentu peningkatan persyaratan modal minimal dapat menjadi hambatan signifikan bagi pembentukan KSP baru, terutama di daerah pedesaan atau kawasan ekonomi lemah. Bahkan kebijakan ini berpotensi menghambat inovasi dan pertumbuhan sektor koperasi, karena membatasi kemungkinan terbentuknya koperasi-koperasi kecil yang bisa menjadi solusi keuangan mikro bagi masyarakat.
Kehadiran aturan yang menetapkan standar operasional yang lebih ketat, termasuk kewajiban memiliki sistem informasi manajemen, standar operasional prosedur (SOP) yang komprehensif, dan sertifikasi kompetensi bagi pengurus dan pengelola. Peningkatan standar operasional dan profesionalisme memang penting untuk meningkatkan kualitas layanan dan tata kelola koperasi. Namun, implementasi yang terlalu cepat dan kaku dapat menjadi beban berat bagi koperasi kecil dan menengah. Kewajiban sistem informasi manajemen yang canggih dapat menjadi hambatan bagi koperasi dengan kemampuan sumber daya, finansial dan teknis yang terbatas. Persyaratan sertifikasi kompetensi bagi pengurus dan pengelola, meskipun bertujuan baik, dapat menjadi hambatan bagi koperasi di daerah yang kekurangan sumber daya manusia berkualifikasi.
Aspek pengawasan yang diperkuat dengan mewajibkan KSP untuk menyampaikan laporan keuangan dan kinerja secara berkala kepada pemerintah. KSP juga diwajibkan untuk melakukan audit eksternal secara rutin. Peningkatan kewajiban pelaporan dan audit dapat meningkatkan transparansi dan akuntabilitas KSP. Namun, hal ini juga dapat menjadi beban administratif dan finansial yang signifikan bagi koperasi kecil. Frekuensi pelaporan yang tinggi mungkin tidak proporsional dengan skala operasi koperasi kecil, dan dapat mengalihkan sumber daya dari kegiatan operasional utama. Sedangkan kewajiban audit eksternal, meskipun penting untuk memastikan integritas keuangan, dapat menjadi beban biaya yang berat bagi koperasi kecil.
Regulasi ini juga menetapkan batasan-batasan tertentu dalam hal jenis usaha yang dapat dijalankan oleh KSP serta syarat-syarat untuk ekspansi usaha. Pembatasan jenis usaha cenderung akan membatasi potensi diversifikasi dan inovasi koperasi dalam menghadapi perubahan pasar dan kebutuhan anggota. Syarat yang ketat untuk ekspansi usaha, seperti pembukaan kantor cabang, jusutru dapat menghambat pertumbuhan koperasi yang sebenarnya memiliki potensi untuk berkembang. Keterbatasan dalam melakukan kerjasama atau kemitraan dengan lembaga keuangan lain dapat mengurangi akses koperasi terhadap sumber daya dan teknologi yang diperlukan untuk bersaing di era digital.
Tak ayal, regulasi ini juga memperkenalkan sanksi yang lebih tegas bagi KSP yang melanggar ketentuan, termasuk sanksi administratif hingga pencabutan izin usaha. Penerapan sanksi yang tegas memang diperlukan untuk menjaga integritas sektor koperasi. Namun, implementasi yang terlalu kaku dapat menciptakan iklim ketakutan yang menghambat inovasi dan pengambilan risiko yang wajar dalam bisnis. Mekanisme penegakan hukum yang tidak mempertimbangkan konteks dan skala operasi koperasi dapat mengakibatkan penerapan sanksi yang tidak proporsional, terutama bagi koperasi kecil yang mungkin melakukan pelanggaran minor karena keterbatasan pemahaman atau sumber daya.
Pengakuan atas pentingnya digitalisasi di dalam regulasi ini justru belum sepenuhnya mengakomodasi perkembangan teknologi finansial (fintech) pada koperasi. Kurangnya kerangka regulasi yang jelas dalam adopsi teknologi finansial oleh koperasi dapat menghambat inovasi dan daya saing KSP di era digital. Hadirnya persyaratan teknologi yang terlalu tinggi dapat menjadi hambatan bagi koperasi kecil yang belum siap untuk melakukan transformasi digital secara menyeluruh. Regulasi terkait kemitraan antara KSP dengan perusahaan teknologi finansial juga masih sumir dan dapat membatasi akses koperasi terhadap inovasi teknologi yang dapat meningkatkan efisiensi dan jangkauan layanan mereka.
Perlindungan anggota menjadi isu penting yang dipotret dalam regulasi ini. Bahkan dalam regulasi ini menekankan pentingnya perlindungan anggota KSP, termasuk melalui mekanisme penyelesaian sengketa dan transparansi informasi. Perlindungan anggota memang sangat penting, namun implementasi yang terlalu rigid justru dapat meningkatkan biaya operasional dan kompleksitas administratif bagi koperasi kecil. Mekanisme penyelesaian sengketa yang canggih mungkin sulit dipenuhi oleh koperasi dengan sumber daya terbatas. Persyaratan transparansi yang tinggi, jika tidak diimplementasikan dengan hati-hati juga dapat membebani koperasi kecil dengan biaya administratif yang signifikan.
Dampaknya pada Perkembangan Koperasi
Berdasarkan catatan di atas dampak potensial pemberlakuan regulasi ini dapat diidetifikasi sebagai berikut: pertama, regulasi ini akan menciptakan barrier to entry atau hambatan masuk. Persyaratan modal yang lebih tinggi dapat menciptakan hambatan masuk yang signifikan bagi pembentukan koperasi baru, terutama di daerah-daerah yang kurang berkembang secara ekonomi.
Kedua, memunculkan beban operasional. Peningkatan standar operasional, kepatuhan, dan pelaporan dapat meningkatkan beban operasional koperasi, terutama bagi koperasi kecil dan menengah. Hal ini dapat mengurangi efisiensi dan daya saing koperasi.
Ketiga, konsolidasi yang dipaksakan. Regulasi yang lebih ketat mungkin mendorong konsolidasi sektor koperasi, di mana koperasi-koperasi kecil mungkin terpaksa bergabung atau tutup karena tidak mampu memenuhi persyaratan regulasi.
Keempat, hambatan inovasi. Kerangka regulasi yang terlalu kaku dan beban kepatuhan yang tinggi justru dapat mengurangi ruang untuk inovasi dan eksperimentasi dalam model bisnis koperasi.
Kelima, kesenjangan digital yang lebar. Koperasi yang tidak mampu beradaptasi dengan tuntutan digitalisasi mungkin tertinggal dalam persaingan, menciptakan kesenjangan digital dalam sektor koperasi.
Keenam, menciptakan fait accompli, antara fokus pada kepatuhan versus layanan. Tuntutan kepatuhan yang tinggi dapat mengalihkan fokus dan sumber daya koperasi dari peningkatan layanan kepada anggota ke pemenuhan persyaratan regulasi.
Penyempurnaan Regulasi
Regulasi ini berpotensi menghambat perkembangan koperasi, terutama yang berukuran kecil dan menengah. Pendekatan yang lebih seimbang dan fleksibel diperlukan untuk memastikan bahwa regulasi dapat mendorong pertumbuhan dan inovasi sektor koperasi, sambil tetap menjaga integritas dan stabilitas sistem keuangan. Penyempurnaan dan implementasi yang hati-hati atas regulasi ini dapat menjadi landasan untuk pengembangan sektor koperasi yang lebih kuat, inovatif, dan berkelanjutan.
Potensi hambatan yang akan dihadapi dicarikan jalan keluar dengan mempertimbangkan untuk melakukan pendekatan bertingkat (tiered approach). Menerapkan persyaratan regulasi yang berbeda berdasarkan ukuran dan kompleksitas koperasi, memberikan fleksibilitas lebih bagi koperasi kecil dan baru. Memberikan periode transisi yang memadai untuk implementasi regulasi baru, terutama bagi koperasi kecil dan menengah. Menyediakan dukungan teknis dan pelatihan untuk membantu koperasi memenuhi standar baru, terutama dalam hal tata kelola dan teknologi.
Selain itu, regulasi ini juga harus mampu menciptakan ruang yang mendorong inovasi, seperti “regulatory sandbox” untuk uji coba model bisnis dan teknologi baru dalam lingkungan yang terkontrol. Mendorong kolaborasi antara koperasi serta kemitraan dengan lembaga keuangan dan teknologi untuk meningkatkan kapasitas dan daya saing. Merampingkan persyaratan pelaporan untuk mengurangi beban administratif, terutama bagi koperasi kecil. Mengadopsi pendekatan pengawasan berbasis risiko yang lebih proporsional dan efisien untuk penguatan pengawasan. Kemudian dengan elakukan peninjauan berkala terhadap dampak regulasi dan melakukan penyesuaian yang diperlukan untuk memastikan efektivitas dan relevansi regulasi.
Oleh: M Sholeh Wafie (Manager Bisnis KSPPS BMT UGT Nusantara dan Mahasiswa Pascasarjana Program Doktor Ekonomi Syariah, Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang)