Opini

Puasa dan Penyucian Diri Dzahir-Batin

Oleh : Ridwan Arif, Ph.D (Dosen Universitas Paramadina)

Puasa ibadah yang memiliki banyak hikmah. Dari perspektif tasawuf, salah satunya ialah sebagai sarana penyucian diri.

Penyucian diri, merupakan concern dari ilmu tasawuf, ia adalah kunci dalam menentukan keselamatan dan kebahagiaan seseorang baik ketika hidup di dunia maupun di akhirat.

“Demi jiwa dan kesempurnaannya. Lalu dia (Allah) berikan kepadanya potensi kefasikan dan ketaqwaan. Sungguh beruntung orang yang mensucikannya. Dan merugilah orang yang mengotorinya”. Begitu firman Allah Swt dalam surah al-Syams (ayat 7-10).

Dari ayat ini jelas bagaimana keberuntungan (bahagia) dan kerugian (celaka) seseorang berkaitan erat dengan kesucian jiwanya.

Di ayat lain Allah SWT berfirman, “(Yaitu) pada hari ketika harta dan anak-anak tidak berguna. Kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih (suci)” (al-Syu’ara’ (26):88-89.

Penyucian Diri

Dalam tasawuf, penyucian diri (takhali) merupakan tahap awal yang harus dilakukan oleh seorang salih sebelum melakukan tahap berikutnya yaitu menghiasi diri dengan sifat-sifat terpuji (tahalli).

Jika dua tahap ini telah sempurna dijalani, maka insyaallah seorang penempuh jalan spiritual akan mencapai maqam penyaksian (musyahadah) yang disebut dengan istilah tajalli.

Pada maqam tajalli ini seseorang telah dapat menyaksikan Allah dengan mata hati dan mendapatkan pengetahuan langsung dari-Nya (ma’rifah). 

Berkaitan dengan takhalli, ada dua tahap penyucian jiwa.

Tahap pertama ialah mensucikan anggota tubuh yang zahir yaitu mata, telinga, lidah, perut, kemaluan, tangan dan kaki dari perbuatan yang menimbulkan dosa (yang keji dan munkar).

Baca juga :   Sambut Bulan Suci Ramadhan, ICMI Muda Nunukan Bikin Kajian Bertema Toleransi

Sedangkan tahap kedua ialah mensucikan hati dari sifat-sifat tercela (penyakit-penyakit hati) seperti dengki, rakus, amarah, kikir, cinta dunia, sombong (takabbur), suka pamer (riya’) dan bangga dengan diri sendiri (‘ujub). 

Bahwa puasa sebagai sarana penyucian diri adalah jelas.

Ini dipahami dari sabda Rasulullah saw “Berapa banyak orang yang berpuasa tetapi ia tidak mendapatkan dari puasanya itu kecuali lapar dan dahaga”. (HR Ibnu Majah).

Dari hadis ini dapat dipahami bahwa puasa bukan hanya sekadar menahan diri dari makan, minum dan berhubungan suami istri tetapi lebih dari itu, menahan diri dari sikap dan perbuatan dosa. 

Penyucian Diri

Berkaitan dengan tahap penyucian yang pertama yaitu penyucian anggota tubuh yang zahir dari perbuatan dosa, kenapa puasa dapat mensucikan seseorang dari dosa-dosa zahir? Karena ketika sedang berpuasa seseorang dituntut untuk menjaga anggota tubuhnya dari hal-hal yang menimbulkan dosa.

Menundukkan pandangan dari hal-hal yang diharamkam; menjaga lisan perkataan yang diharamkan seperti mengumpat (ghibah), memfitnah, berkata dusta, dan adu domba; menjaga pendengaran dari hal-hal yang sia-sia dan diharamkan; menjaga kemaluan dari perbuatan dosa, menjaga tangan dari mengambil hak orang lain; dan menjaga kaki dari melangkah ke tempat-tempat maksiat.  

Sementara itu dalam konteks penyucian tahap kedua Rasulullah saw bersabda “Puasa pada bulan kesabaran (Ramadan) dan tiga hari dari setiap bulan, dapat menghilangkan penyakit hati” (HR. Ahmad).

Baca juga :   Roti Pencerahan: Kisah Transformasi Seorang Raja Menjadi Cendekiawan Sufi

Pada hadis di atas, Rasulullah saw mengungkapkan penyakit-penyakit hati dengan ungkapan ‘wahar al-shadr’. Untuk mengetahui penyakit-penyakit hati yang bisa diobati dengan puasa kita perlu menelusuri makna ‘wahar al-shadr’ dalam kamus bahasa Arab.

Di antara makna ‘wahar al-shadr’ ialah al-hiqd yang berarti  dengki dan dendam. Puasa dapat menghilangkan dendam dan dengki yang bersarang di hati kita.

Hal itu karena, ketika berpuasa kita dilatih untuk bersabar, berlapang dada dan tidak membalas tindakan jahat orang lain dengan tindakan yang serupa.

Rasulullah saw bersabda “Jika seseorang mencelanya atau menantangnya berkelahi, maka hendaknya ia berkata, “sesungguhnya aku orang yang berpuasa, sesungguhnya aku orang yang berpuasa.” (HR Muslim)

Makna wahr al-shadr berikutnya ialah al-ghaizu wa asyadd al-ghadab yang berarti amarah dan murka. Puasa dapat menghilangkan amarah dan murka yang ada pada diri kita. Hal itu karena puasa mengajarkan kita untuk meredam amarah dan tidak melampiaskannya dengan tindakan-tindakan yang tidak baik. Rasulullah saw bersabda, “Puasa adalah perisai. Oleh karena itu janganlah ia berkata/bertindak cabul, janganlah ia berkata/bertindak bodoh, dan janganlah ia berteriak-teriak emosional.” (HR Bukhari)

Wahr al-shadr juga memiliki makna al-kadzib wa al-ghisysy yang berarti kebohongan dan penipuan. Puasa dapat mengikis dan menghilangakan kebiasaan berbohong dan menipu. Hal itu karena puasa mengajarkan kita untuk selalu jujur, tidak berbohong atau menipu. Rasulullah saw bersabda “Puasa adalah perisai selama orang yang berpuasa tidak merusaknya.”ada yang bertanya, dengan apa ia merusaknya?” beliau menjawab, “dengan dusta atau ghibah.” (HR Thabrani).

Baca juga :   DWP DKI Jakarta Gelar Kajian, Bukber dan Berbagi Bersama Sahabat Difabel di Pesantren Difabel Baznas Bazis DKI Jakarta

Makna lain dari wahr al-shadr ialah al-bughdh wa al-‘adawah yang berarti kebencian dan permusuhan. Puasa juga dapat menghilangkan kebencian dan permusuhan di dada seorang Muslim.

Rasulullah saw bersabda “Barangsiapa di pagi hari berpuasa, maka janganlah ia melakukan tindakan bodoh pada hari itu. Jika seseorang bertindak bodoh terhadapnya, maka janganlah ia mencelanya, jangan pula mencaci-makinya. Hendaknya ia mengatakan, sesungguhnya aku orang yang berpuasa.” (HR al-Nasa’i)

Wahr al-shadr juga memiliki makna wasawis al-shadr wa balabiluhu, yang berarti “bisikan-bisikan jahat dan berbagai gejolak di dada”.

Puasa dapat menghilangkan bisikan-bisikan jahat dan gejolak di dada yang mengajak kepada kemaksiatan. Ini karena, puasa adalah upaya pembenahan hati dengan mensucikannya dari berbagai penyakit hati dan bisikan-bisikan kotor yang mengajak kepada kemaksiatan.

Selain pernyataan dari hadis-hadis di atas, kita bisa memahami bahwa puasa dapat mensucikan hati dari sifat-sifat tercela sebab puasa merupakan upaya untuk meredam hawa nafsu dan syahwat. Kebanyakan penyakit hati/sifat-sifat tercela timbul dari hawa nafsu yang tidak terkendali. 

Jadi, puasa dapat mensucikan diri seseorang baik anggota tubuh yang zahir maupun penyakit-penyakit hati. Seseorang yang berpuasa dengan benar, insyaallah akan mendapatkan kesucian diri sehingga bisa dekat dengan rabbnya dan mendapat ridha-Nya.    

Presiden Klikers Indonesia, Peneliti, penulis, pembelajar, ayah dari dua anak

What's your reaction?

Related Posts

1 of 140

Leave A Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *