OpiniSpecial Klik

Muasal Kalender Hijriyah

Sebelum era Islam, orang Arab sebenarnya sudah menggunakan kalender luni-solar, yaitu kalender gabungan antara penanggalan lunar (bulan) dengan penanggalan solar (matahari). Penanggalan lunar yang jumlah harinya lebih sedikit disesuaikan dengan jumlah hari pada kalender solar.

Kalender lunar hanya memiliki 354 hari dalam setahun (selisih 11 hari dari kalender solar), oleh karena itu, agar sesuai dengan kalender solar yang memiliki 365 hari, mereka menambahkan bulan tambahan (bulan ke-13) untuk setiap beberapa tahun sekali, yang disebut nasi’. Kenapa tahun nasi’ itu ada? Agar bulan Muharram (yang merupakan awal tahun baru) akan selalu jatuh setelah musim panas (sekitar bulan September – menurut kalender solar).

Sayangnya, pada waktu itu selalu saja ada konflik antar suku dalam memutuskan tahun nasi’. Setiap suku di Arab memiliki pendapat berbeda-beda untuk memulai tahun barunya. Kadang konflik tersebut menyebabkan perang antar suku, karena ketika satu suku memiliki keputusan yang berbeda untuk memulai tahun baru, mereka juga akan memulai bulan Muharram pada waktu berbeda pula. Oleh karena itu penamaan Muharram sebenarnya dibuat untuk menghindari terjadinya konflik tersebut. Muharram berarti bulan larangan. Dinamakan demikian karena pada bulan tersebut adalah bulan tidak boleh pergi berperang.

Muharram adalah bulan perdamaian dimana suku-suku di Arab waktu itu mempunyai kesepakatan untuk tidak saling perang. Sayangnya, kesepakatan tersebut seringkali dilanggar dan suku-suku masih berkonflik dalam menentukan tahun nasi’. Konflik antara suku-suku Arab tersebut baru bisa diakhiri setelah bangsa-bangsa di Arab bisa dipersatukan oleh Nabi Muhammad SAW. Al-Quran surat At-Taubah ayat 36-37 memerintahkan  mereka untuk menggunakan kalender lunar yang sebenarnya (yaitu yang memiliki 354 hari dalam setahun, atau 11 hari kurang dari kalender solar).

Dengan perintah tersebut, mereka tidak perlu lagi untuk menambahkan bulan tambahan pada setiap beberapa tahun, yang seringkali malah menimbulkan konflik antar suku.

“Jumlah bulan di sisi Allah adalah dua belas (dalam setahun) – ditahbiskan oleh-Nya pada hari dimana Dia menciptakan langit dan bumi; di antaranya empat kekudusan (suci). Yang demikian adalah agama yang lurus. Janganlah kamu mendzalimi dirimu di dalamnya. Lawanlah kaum pagan (musyrik) karena mereka memerangi kamu. Tetapi ketahuilah bahwa Allah beserta orang-orang yang bertaqwa.” (QS At-Taubah 36).

Baca juga :   Jangan Ada Sekolah yang Tertinggal Karena Belum Siap Implementasikan Kurikulum Merdeka Belajar

Sesungguhnya nasi’ adalah tambahan dari orang-orang kafir. Mereka membuat diperbolehkan satu tahun, dan dilarang satu tahun lagi, dalam rangka menyesuaikan jumlah bulan dilarang dan membuat seperti yang sah. Mereka memang dihiasi perbuatanya dengan hal-hal yang buruk. Dan Allah tidak memberi petunjuk orang-orang yang kafir. (Q.S. At-Taubah 37).

Nama-nama Bulan

Selain Muharram, nama-nama bulan dalam kalender Arab yang masih luni-solar menyesuakan dengan musim. Misalnya, bulan Shafar yang merupakan bulan kedua dalam kalender lunar, artinya harfiahnya adalah “kuning”, saat dimana daun-daun mulai menguning. Dalam penanggalan Masehi, bulan Shafar bertepatan dengan bulan September.

Bulan Rabi’ul Awal dan Rabi’ul Akhir, keduanya berarti musim gugur. Rabi’ artinya jatuh (gugur). Rabiul Awal berarti musim gugur yang pertama yang bertepatan dengan bulan November. Sedangkan Rabiul Akhir berarti musim gugur yang terakhir (bulan Desember).

Jumadil Awal dan Jumadil Akhir adalah bulan-bulan beku. Bertepatan dengan bulan Januari dan Februari. Jumadil asal katanya jumud, artinya beku (stagnan). Bulan Jumadil Awal berarti bulan beku pertama (Januari) dan Jumadil Akhir berarti bulan beku kedua (Februari).

Rajab artinya meleleh. Disebut bulan Rajab, karena pada bulan tersebut adalah saat di mana salju mulai mencair dan mulai berpindah ke musim semi. Bulan tersebut bertepatan dengan bulan Maret.

Sya’ban yang berarti lembah dipakai untuk sebagai nama bulan (yang bertepatan dengan bulan April), adalah saat dimana para petani pergi ke lembah untuk memulai pertanian dan peternakan. Mereka pergi ke lembah untuk menanam dan membawa ternak untuk merumput.

Kemudian Ramadhan, artinya panas/pembakaran, digunakan untuk menyebut hari-hari yang suhunya mulai memanas. Bulan ini bertepatan dengan bulan Mei. Waktu itu sudah ada tradisi berpuasa pada bulan Ramadhan, yang kemudian pada masa Islam menjadi diwajibkan, sebagaimana disebutkan dalam Alquran surat Ali Imran 183.

Bulan Syawal (yang berarti kenaikan), bertepatan dengan bulan Juni yang suhunya mulai menaik. Puncak panas jatuh pada pada bulan Dzul-qa’dah, dimana orang-orang enggan untuk bepergian karena suhu di luar panas. Oleh karena itu bulan ini dinamakan dengan Dzul-qo’dah, yang berasal dari kata qo’ada (duduk). Pada saat itu orang-orang lebih suka tinggal (duduk) di rumah saja. Bulan ini bertepatan dengan bulan Juni.

Baca juga :   Ekonomi Kreatif Dapat Tekan Angka Kemiskinan Kabupaten Boyolali

Dan terakhir adalah bulan Dzul-hijjah yang berasal dari kata hajj, artinya bulan haji). Bulan ini adalah waktu dimana orang-orang Arab berkunjung ke Mekah untuk mengenang peninggalan nenek moyang mereka Nabi Ibrahim berupa batu Ka’bah.

September = Muharram (yang dimuliakan) Oktober = Safar (menguning) November = Rabi’ul Awal (gugur awal) Desember = Rabi’ul Akhir (gugur akhir) Januari = Jumadil Awal (stagnan awal) Februari = Jumadil Akhir (stagnan akhir) Maret = Rajab (meleleh) April = Sya’ban (lembah) Mei = Ramadhan (panas) Juni = Syawal (kenaikan) Juli = Dzul-qa’dah (duduk) Agustus = Dzul-hijjah.

Saat nabi mengubah kalender uni-solar menjadi kalender lunar secara penuh (sebagaimana dalam surat At-Taubah 36-37 di atas), Nabi masih tetap mempertahankan nama-nama bulan sebagaimana sebelumnya. Nama-nama bulan Muharram, Shafar, Rabi’ul Awwal, Rabi’ul Akhir, Jumadil Awal, jumadil Akhir, Rajab, Sya’ban, Ramadhan, Syawal, Dzulqo’dah, Dzulhijjah masih tetap digunakan, hanya saja tidak lagi merepresentasikan musim.

Perintah Allah melalui Nabi Muhammad untuk bergeser dari kalender luni-solar ke kalender lunar murni telah menciptakan perdamaian antara orang-orang Arab waktu itu. Orang-orang tidak lagi berkonflik hanya untuk menentukan tahun nasi ‘. Belajar dari cerita tersebut, kita dapat melihat bagaimana Islam (yang berarti damai) pada era Nabi Muhammad SAW adalah memang benar-benar menjadi sarana resolusi konflik dan membawa perdamaian bagi masyarakat.

Manfaat lain menggunakan kalender lunar murni bagi umat Islam adalah bahwa tujuan Islam sebagai agama yang tidak hanya diperuntukkan bagi orang Arab saja, melainkan bagi semua manusia, adalah benar. Wamaa arsalnaaka illa rahmatan lil’aalamiin (Allah tidak memilih dia sebagai utusan kecuali untuk memberkati bumi).

Bisa dibayangkan, jika penanggalan Islam masih menggunakan kalender matahari (solar), orang-orang yang berada di belahan bumi utara akan selalu memiliki hari-hari berpuasa Ramadhan lebih panjang dibandingkan dengan orang-orang yang hidup belahan bumi sebelah selatan bukan? Dengan menggunakan kalender lunar, orang-orang yang hidup di belahan bumi bagian utara kadang-kadang berpuasa Ramadhan lebih panjang dan juga kadang berpuasa lebih pendek – demikian juga sebaliknya. Artinya, ajaran-ajaran Islam cocok untuk diterapkan di belahan bumi mana saja.

Baca juga :   Adang Darajatun Apresiasi Peran Aktif Kaum Perempuan Dalam Donor Darah

Tentang Nama dan Angka Tahun Hijriyah

Pada era Nabi Muhammad SAW, sebenarnya belum ada istilah kalender tahunan Hijriyah. Yang ada adalah kalender bulanan dengan nama-nama bulan sebagaimana disebutkan di atas, tetapi tidak ada angka tahunnya. Waktu itu, tahun hanya ditandai dengan momen/kenangan terbesar yang terjadi pada saat itu.

Misalnya, tahun kelahiran nabi dinamakan tahun gajah (‘amul fiil) karena ada momen besar dimana waktu itu Raja Abrahah menyerang Mekkah dengan menggunakan tentara yang naik gajah. Maka tahun itu dinamakan tahun gajah.

Kalender tahunan Hijriyah muncul ketika era pemerintahan Khalifah Umar Bin Khattab (643-644 M). Sebuah komite yang terdiri dari enam orang, dipimpin langsung oleh Umar bin Khattab sendiri, bekerja untuk menetapkan dimulainya penggunaan kalender Islam.

Ide menggunakan nama Hijriyyah berasal dari Ali bin Abi Tholib, yang menjadi salah satua anggota komite. Tahun pertama penanggalan diawali dengan tahun ketika Nabi Muhammad SAW melakukan hijrah dari Mekah ke Madinah. Makanya namanya menjadi kalender Hijriyah.

Pertimbangan Ali bin Abi Thalib menjadikan momen hijrah nabi sebagai nama dalam kalender Islam adalah karena begitu bersejarahnya peristiwa tersebut sehingga ayat-ayat Al-Qur’an banyak memberikan kredit kepada seseorang yang melakukan hijrah. Masyarakat Islam didirikan secara independen setelah hijrah Nabi (bergerak) dari Mekah ke Madinah.

Disamping itu, menurut Ali bin Abi Thalib, setiap Muslim seharusnya memiliki inspirasi dari hijrah, yaitu memiliki kehidupan yang dinamis. Muslim seharusnya tidak stagnan pada satu kondisi, tetapi mereka harus secara aktif tumbuh dan berubah menjadi yang lebih baik. (*)

  • Oleh M. Chozin Amirullah – Alumni Ponpes Tebuireng
  • Tulisan ini telah diterbitkan oleh penulis di kompasiana
Peneliti, Penulis, Penikmat Bola

What's your reaction?

Related Posts

1 of 684