Oleh Ratna Juwitasari Emha (Dosen Sastra Indonesia UNPAM)
Bahasa adalah karakteristik eksklusif manusia yang memisahkannya dari kerajaan hewan lainnya. Sejak lama, para ilmuwan dan filsuf telah mencari tahu dari mana bahasa berasal, karena pemahaman ini menyentuh inti dari kemanusiaan kita. Selama berabad-abad, pencarian ini telah mengubah bentuknya dari mitos kuno menjadi studi ilmiah modern.
Pada zaman kuno, banyak budaya percaya bahwa bahasa adalah anugerah ilahi. Bangsa Romawi, misalnya, menganggap bahwa bahasa diciptakan oleh dewa Janus. Dalam tradisi Alkitab, Yahweh diberi atribut menciptakan nama-nama untuk realitas, sementara Adam menamai hewan (Brown, 2018). Pandangan ini bertahan lama dan mendominasi wacana tentang bahasa.
Namun, pada era Romantisisme, filsuf seperti Herder dan Rousseau memperkenalkan gagasan bahwa bahasa mungkin berasal dari perkembangan manusia itu sendiri, bukan dari kekuatan ilahi. Perdebatan sengit antara pandangan-pandangan ini menciptakan ketegangan yang begitu besar sehingga Societé Linguistique de Paris melarang diskusi lebih lanjut tentang topik ini pada tahun 1866 (Linguistic Society of Paris, 1866).
Di abad ke-19 dan seterusnya, penelitian bahasa mulai berfokus pada rekonstruksi proto-bahasa dan analisis bahasa yang masih hidup. Pendekatan ini berusaha merekonstruksi bahasa purba yang membentuk dasar bahasa-bahasa modern, seperti bahasa Indo-Eropa, dan mempelajari bahasa yang ada untuk memahami struktur dan evolusinya (Thomason, 2008). Namun, meskipun penelitian ini memberikan wawasan berharga, banyak aspek asal-usul bahasa tetap misteri karena kurangnya bukti langsung dari periode awal.
Ahli bahasa kontemporer sering menghindari membahas asal-usul bahasa secara mendalam, mungkin karena keterbatasan teori yang ada. Beberapa teori, seperti onomatope (imitasi suara) dan pemerolehan bahasa anak, telah diajukan tetapi kurang diterima secara luas. Misalnya, kata-kata onomatope seperti “tic-tac” dan “bub-bub” jarang ditemukan dalam bahasa sehari-hari dan sebagian besar bahasa lebih bersifat konvensional daripada imitasi (Evans, 2015). Teori perkembangan bahasa anak juga terbatas, karena anak-anak belajar bahasa di lingkungan dengan penutur yang sudah ada, bukan dalam kekosongan linguistik seperti yang mungkin terjadi pada awal bahasa (Chomsky, 2005).
Penelitian mengenai asal usul bahasa masih dipengaruhi oleh keterbatasan bukti. Catatan tertulis pertama hanya berasal dari lima ribu tahun yang lalu, padahal Homo sapiens diperkirakan telah berbicara selama sekitar seratus ribu tahun (Crystal, 2010). Ketertarikan terhadap asal-usul bahasa tetap tinggi, didorong oleh penemuan-penemuan baru dalam evolusi manusia dan studi linguistik. Seperti yang dinyatakan Robert H. Robins, meskipun asal-usul bahasa seringkali berada di luar jangkauan pemahaman linguistik, topik ini terus memikat minat mereka yang tertarik pada isu-isu bahasa dan kemanusiaan (Robins, 1967; Tattersall, 2014).
Dengan penemuan-penemuan baru dan pendekatan yang terbaru pula, kita mungkin mendekati pemahaman yang lebih baik tentang bagaimana bahasa pertama kali muncul dan bagaimana ia membentuk cara kita berkomunikasi dan berpikir.