Klik NewsOpiniPendidikanSosial BudayaSpecial KlikStory Teller

Rakyat Dalam Sudut Pandang Cintanya KH. Amin Maulana Budi Harjono Al Jawi

KH. Amin Maulana Budi Harjono Al jawi, Tokoh Tari Sufi

RAKYAT

Kaulah lautan
Jabatan itu perahu-perahu kecil
Yang mengais kekayaanmu
Sudah kau tampung sampah
Dari era demi era
Bahkan bangkai-bangkai
Namun cintamu suci dan abadi

Kau tetap setia kepada bangsa
Selalu mandiri dan berdamai serta santun
Yang menjadi hujan cahaya
Jatuh pada setia hati warga
Menumbuhkan sifat baik
Menjelma taman kebahagiaan

Bila ada nada sumbang
Atas harapan pemimpin yang adil
Tak datang-datang
Kaulah rakyat yang adil itu
Selalu berwatak rendah hati
Mandiri dan bersaudara
Merasa sebangsa setanah air

Kaulah yang dicatat tinta emas
Yang palsu akan musnah
Yang suci tetap abadi
:
Rakyat adik makmur sentosa!

Klikers.id-Sebuah catatan atau puisi menyoal rakyat di negeri ini yang begitu unik dari sudut pandang cinta K.H. Amin Maulana Budi Harjono Al Jawi yang biasa dipanggil Kiai Budi, seolah memberikan sebuah tawaran bersikap dalam setiap peristiwa yang terjadi di negeri ini. Salah satu tokoh yang juga dikenal sebagai tokoh tari sufi itu, menawarkan sebuah cara pandang dalam memaknai keberadaan rakyat Indonesia dari sudut yang penuh kedamaian.

Rakyat yang diisukan terpecah belah, diberitakan saling bermusuhan, dan rakyat yang dicitrakan sebagai kemiskinan. Tetapi perjalanan bangsa ini seolah menjelaskan aspek paradoks atas ketakutan akan kehancuran rakyat dalam perjalanannya di masa mendatang. Apa yang diungkapkan dan coba dipresentasikan oleh Kiai Budi ini tidak lain adalah realitas bagaimana rakyat sesungguhnya dalam bingkai ke-Indonesiaan yang seringkali diabaikan.


Dalam satu catatan perjalanan demokrasi di negeri ini, kontestasi politik tak jarang memunculkan konflik dalam kehidupan sosial masyarakat di bentang negeri berjuluk Indonesia ini. Para calon pemimpin yang hendak duduk di kursi kekuasaan sebagai pengemban amanah rakyatnya, menjadi alasan akan munculnya perpecahan. Perbedaan pandangan, perbedaan gagasan, hingga pilihan, menjadikan tensi tersulut hingga melupakan bahwa kontestasi itu bukanlah sebuah ajang peperangan. Melainkan sebuah sarana untuk menemukan dan menentukan sosok terbaik yang dinilai akan mampu membawa masyarakat mewujudkan cita dalam kehidupan bersama. Pemandangan demikian seolah lazim dalam berbagai kontestasi yang dihadirkan, baik di tingkat terbawah (pemilihan RT) hingga pemilihan Presiden dan Wakil Presiden di negeri ini.


Persaingan yang melupakan nilai-nilai dalam hidup berbangsa dan bernegara, dan lebih mengedepankan ego masing-masing menjadikan kontestasi semacam itu seolah sebagai sebuah peperangan. Bahkan konflik yang terjadi seringkali berlanjut, meski kontestasi telah berakhir. Di tingkat bawah misalnya dalam pemilihan sosok kepala desa di desa-desa, persaingan yang terjadi tidak jarang memunculkan perselisihan antar tetangga dan saudara. Meski pemilihan telah usai, namun pertikaian tetap berlanjut bagi beberapa kalangan.

Baca juga :   Efek Pengganda Pembangunan Infrastruktur Belum Berdampak pada Sektor SDM di Kulon Progo

Bahkan telah menjadi perbincangan umum, bahwa masyarakat di negeri ini terpolarisasi selama dua kali diselenggarakan pemilihan presiden (pilpres). Meski jelas bahwa proses peilpres teah usai, tetapi pertikaian antara dua kubu pendukung calon terus berlanjut. Tidak jarang di berbagai media sosial sebutan kadrun, cebong pun selalu hadir dalam diskusi politik publik. Satu dengan yang lain saling mengolok dan merasa dirinya paling benar.


Meski calon lawan dalam perjalanannya telah bergabung dengan presiden terpilih dalam pemerintahan, tetap saja pertikaian itu masih berlangsung. Masih saja orang menyebut kadrun dan cebong saat ngomong politik (ngompol) di sosial media. Apa kemudian yang menjadikan orangs sedemikian berfikir picik sehingga sudi merendahkan saudaranya sebangsa dan setanah air dengan sebutan-sebutan yang terkesan merendahkan.

Apakah demi jabatan, sedang pada kenyataannya hanya Jokowi dan KH. Maaruf Amin yang mendapati jabatan dalam kontestasi tersebut. Rakyat yang bertikai tetaplah harus kembali ke sawah, ke lading, ke pabrik, ke kantor untuk kembali bekerja mengais rejeki. Apa kemudian keuntungan yang diperoleh dengan mengolok saudara sebangsanya, jika pada kenyataannya apa yang dilakukan jelas tidak memiliki manfaat apapun. Melainkan menjadi sebuah stimulant terjadi perpecahan.

Bising mungkin istilah yang tepat untuk menganalogikan berbagai perbincangan yang hadir di berbagai sudut media. Dan seolah tiada jenuh masing-masing kubu itu terus bertikai saling mendeskreditkan satu dengan yang lainnya. Entah sampai kapan pertikaian itu akan berlangsung dan dipelihara.

Teror Yang Tak Berarti

Di tengah kebisingan akibat rakyat ngompol di sosmed, begitu banyak peristiwa di negeri ini yang diberitakan dan tidak mengenakkan hati. Korupsi masih saja terjadi dan seolah kian menjadi. Tidak hanya pejabat tinggi, hampir di semua lini tercium busuk aroma korupsi. Sebegitu nikmat duit rakyat, hingga terlupa hati untuk menjalankan amanah diri. Kursi yang diduduki, sebagai amanah perjuangan rakyat seolah mudah dikhianati. Pertikaian, perang gagasan, hingga bentrok beneran, di tengah masyarakat karena memperjuangkan sosok pemimpinnya seolah tidak lagi dihargai. Gelap mata, untuk memperkaya diri rakyatnyapun dikelabuhi.


Tidak hanya itu, berita tentang kenaikan harga-harga barang layaknya sembako, seolah menjadi teror mengingatkan rakyat untuk kembali berhitung. Menghitung angka-angka ketahanan diri, berapa hari ia harus berpuasa kemudian dengan upah gaji yang tak segera meninggi. Pagi hari harga cabai naik, sore hari minyak goreng sulit didapati, esoknya pertalite enggan diam berhenti merangkak naik merubah harga.

Baca juga :   Jangan Ada Sekolah yang Tertinggal Karena Belum Siap Implementasikan Kurikulum Merdeka Belajar

Sulit? Iya tentunya bagi masyarakat yang kedung urbanisasi, karena penghasilannya pasti. Ukuran dan takaran telah disesuaikan dengan standar minimal kehidupan di setiap titik lokasi. Tapi apa daya, harga melambung tinggi setiap hari. Sedang upah mereka dapat berubah hanya setahun sekali, itupun menggunakan standar minimal bukan maksimal.


Kecewa tampaknya menjadi pasti, karena mimpi indah mereka tentang masa depan harus tertunda sejenak demi kebutuhan tercukupi. Demi cicilan tetap berjalan, porsi nasi harus dikurangi. Jika tak membeli, mereka tak memiliki lumbung untuk mempertahankan diri. Sedang sawah mereka di kampong terlanjur dijual untuk modal berjuang di negeri seberang.

Wakil mereka di gedung perwakilan terus berdiskusi, bebincang masalaha kebangsaan, berbincang masalah negara, dan undang-undang. Setiap waktu berdiskusi, hingga sebagian lupa menjenguk nasib orang-orang yang diwakilinya. Bahkan apa yang diperbincangkan mungkin jadi tak pernah didapati dari orang-orang yang diwakilinya. Dan tetaplah rakyat harus bangun pagi berangkat bekerja atau berharap mendapati PHK. Tak ada waktu untuk berteriak lantang dan menyampaikan aspirasi kepada wakil mereka.

Akhirnya cukup dipendam, dan dituangkan ketika berjumpa kawan di angkringan, di warkop, ataupun di warteg untuk memecah kesunyian saat duduk bersama. Ngomongin pemerintah di warung dianggap bermakna sebagai bahan gibah demi memecah sunyi.


Rakyat, menjadi bulan-bulanan dalam berbagai situasi. Dan mereka menerima seolah begitu ikhlas, dan sesekali melampiaskannya dengan begoyang di alun-alun mengikuti lantun sajian dangdut koplo. Jika tak sempat, mereka hanya duduk di sudut kampung sembari menikmati teh atau kopi untuk kembali saling menyemangati. Pergi memancing turut menjadi pilihan di era sekarang, untuk mengosongkan pikiran dari berbagai isu yang memusingkan kepala.

Mereka tertawa di pinggiran sungai sambil berkelakar untuk penguasa kalian tidak akan sanggup menghancurkan kegigihanku untuk hidup di negeri ini!!. Enggan untuk menyerah pada keadaan, entah apapun yang dilakukan oleh penguasa. Mereka tetaplah teguh, hidup, berlaku, dan bersikap sebagai rakyat.

Sinetron Negeri

Negeri ini begitu unik, dalam perjalanannya tanpa disadari rakyat begitu mengenali penguasa, pemimpin, ataupun wakilnya yang menjalankan roda pemerintahan. Saking percayanya, rakyat seolah enggan untuk khawatir tentang masa depan negeri ini. Meski bising terdengar di berbagai sudut pemberitaan, begitu banyak maling merong-rong dan merugikan rakyat dengan rakusnya.

Baca juga :   Gelar Seminar Strategi Layanan Informasi di Era Global, Perpustakaan DPR Perkuat Kolaborasi di Kancah Internasional

Rakyat tetaplah tak peduli, karena bagi rakyat hal terpenting adalah masih ada upaya untuk mempertahankan diri. Tetap makan, tetap bersekolah, tetap ke sawah, tetap ke pabrik, dan lain sebagainya. Tetapi para penguasa, para pemimpin seolah enggan untuk mengenali rakyatnya. Sebagian justru mencoba untuk memprovokasi rakyat menciptakan isu-isu perpecahan, menciptakan ruang-ruang permusuhan, demi mereka mengelabuhi dan membiaskan pandangan saat menjalankan aksi untuk menjarah dan mencuri. Tetap mereka tak mengenali rakyat yang begitu unik. Karena sejatinya, rakyat enggan ngurus mereka yang tengah asik mencuri.

Pasalnya rakyat di negeri ini kedung percaya bagimana hokum timbal balik akan berlaku bagi setiap pelaku kehidupan ini, entah berupa kebaikan ataupun keburukan. siapa menanam, toh ia juga yang akan menuai.


Ekspresi rakyat yang tertuang menanggapi berbagai isu tak ubahnya hanya sebatas greget yang diungkap saat menyaksikan tayangan sinetron. Rasa penasaran dihadirkan untuk mempercantik citra estetik dari setiap peristiwa yang coba dinarasikan. Begitu tinggi apresiasi rakyat terhadap setiap drama dan pertunjukan yang ditampilkan penguasanya. Tak lain karena mereka tak ingin para penguasa itu merasa kecewa dan sia-sia dalam setiap kisah cerita bernegara.

Bukankah rakyat di negeri ini telah begitu hafal dengan berbagai pola yang terjadi sebenarnya. Layaknya mereka menghafal setiap tayangan sinetron yang tak jarang hanya merubah judul semata, sedang alur cerita dan drama yang dimainkan kurang lebih sama. Bagi rumah produksi yang mengeluarkan cost produksi tinggi, biasanya menampilkan actor-aktor yang cukup ternama dan bening dipandang mata pun sebaliknya.


Di dalam diam menyaksikan berbagai pola dimainkan untuk me-reka drama perjalanan kehidupan berbangsa dan bernegara, rakyat hengkang menepi berdiam diri. Duduk menunggu sembari merapal mantra, memohon dengan segenap ketulusannya atas hadirnya sosok pemimpin sejati. Pemimpin yang benar memahami keadaaan dan keberadaan mereka, tanpa perlu menciptakan banyak drama.

Menjadikan rakyatnya makmur dengan bersikap adil, menjadi sebuah harapan akan negeri ini di suatu masa yang akan datang. Dan sosok pemimpin yang sedang dan telah berlalu, tampak menjadi ruang refleksi bagi rakyat untuk berbenah diri. Menjaga harmoni demi bangsa ini tetap utuh ada, hingga tiba saat sang pemimpin itu tiba untuk membawa mereka menuju ruang sentosa.

What's your reaction?

Related Posts

1 of 3,778

Leave A Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *