Pintu berderit terbuka. Seorang wanita anggun yang sedang duduk di sisian tilam yang beralaskan dipan itu lantas mengerling takjub, tanda bahagia. Akhirnya yang ditunggu-tunggu telah tiba, batinnya.
Meski dengan satu-dua langkah yang tersaruk-saruk, pria yang baru saja masuk itu kemudian menggayutkan mantel dan topi usangnya pada satu kapstok di salah sudut tembok yang sebagian kayunya telah habis dilahap rayap. Perawakan pria itu galibnya pria-pria rumpun Melayu, dengan kulit berwarna sawo matang dan rambut yang sedikit agak bergelombang.
“Syukurlah, Ipie, kau tidak mengingkari janjimu untuk pulang tepat di hari yang entah sudah berapa purnama pernah kau ucap”. Kata Maria yang telah lama membekap rindu seraya melingkari tangannya ke dada Ipie dari arah belakang.
Ipie terpejam lalu tersenyum kecil merasakan hangatnya pelukan Maria. Sambil menekan punggung tangan kekasihnya agar pelukan semakin melekat, ia menjawab, “Ketahuilah! Pria sejati tak pernah memutar lidahnya sendiri, Maria”.
“Badanmu bangsai sekali, Ipie. Sedemikian beratkah beban pelarianmu di negeri asing sana?” Kata Maria prihatin menatap tubuh Ipie bak tengkorak hidup, setelah mengajak Ipie duduk di sisian tilam.
Alih-alih menjawab pertanyaan Maria, Ipie malah lekat-lekat menatap mata kekasihnya itu. Maria menekur, sementara Ipie lantas bermadah, “Oh, Maria. Pendar cahaya Tuhan sungguh-sungguh terbit di sepasang matamu”.
“Tahukah kau apa azamku?” Lanjutnya.
Maria tersipu. Kedua pipinya merona karena malu. Ia terus tertunduk, tanda dirinya menyembunyikan kebungahannya lantaran disanjung Ipie. Sedetik-dua, ia lantas menggeleng lemah.
“Aku ingin menjadi usia bagi segenap kehidupanmu”. Kata Ipie sambil merapikan beberapa helai rambut Maria yang menghalangi pandangannya.
Perlahan Maria menengadah. Kedua matanya bersitatap dengan mata Ipie. Tetapi ada yang ganjil! Mata indah Maria yang sebesar biji kenari itu perlahan berkaca-kaca dan sebentar kemudian linangan air mata yang seperti tertahan mulai membanjiri pelupuk matanya.
Dengan tatapan sedikit sembap yang tak begitu kentara, seutas senyum kering kemudian terbit dari rekah bibirnya. Ia lantas berkata, “Azamku tak jauh berbeda denganmu, Ipie. Aku ingin menjadi kehidupan bagi segenap usiamu”.
Kemudian keduanya berpagutan, menghempaskan diri di atas tilam, memadu kasih, dan lantas bercumbu rayu di atas lembaran seprai yang keesokan paginya baru disadari bahwa ternyata mereka menyisakan sebercak darah berbentuk segitiga.
Tapi itu semua tidak pernah terjadi. Tepat seusai Maria menyatakan azamnya, Ipie dibekuk oleh beberapa anggota polisi intelijen yang tiba-tiba muncul dari arah punggungnya.
Ipie terperanjat, pengalaman panjangnya sebagai buronan politik sekonyong-konyong memantik nalar kritisnya: gerangan apa yang membuat kekasihnya berperilaku sedemikian kejam? Ia tak percaya kalau wanita yang amat dicintainya ternyata telah memasang perangkap untuknya.
“Kau menjebakku, Maria?” Kata Ipie tenahak seraya menatap nanar ke arah Maria.
Melihat Ipie diringkus oleh beberapa orang berperawakan kekar, tatapan kesedihan Maria spontan pecah menjadi sebuah tangisan. Ya, demikianlah. Bukankah menyaksikan langsung kekasih yang ditimpa kemalangan itu lebih menyayat hati ketimbang mengalami kemalangan itu sendiri?
Memang, pada sekian aspek kehidupan, terkadang keadaan mampu mengalahkan perasaan. Hal itulah yang sedang menimpa Maria. Andai saja bukan karena desakan kejam yang dilakukan berulang-ulang oleh para suruhan gubernemen terhadap keluarganya, mustahil Maria melakukan hal sebengis itu kepada Ipie.
Dengan sepatah kalimat klise, Maria berucap lirih sambil terus menahan isak, “Maafkan aku, Ipie. Maafkan aku”.