HeadlineInfo KlikersKlik News

Legislator Harap Indonesia Tak Terdampak Parah dari Situasi Stagflasi Global

Anggota Komisi XI DPR RI Andreas Eddy Susetyo berharap Indonesia tak terdampak para dari situasi stagflasi yang terjadi di tingkat global. Oleh karena, tambah politisi PDI-Perjuangan itu, jika stagflasi global benar-benar terjadi dan berkepanjangan, dampaknya akan sulit dihindari.

“Kita berharap Indonesia tidak mengalami dampak parah dari stagflasi global ataupun mengalami stagflasi,” jelas Andreas dalam keterangan tertulis yang diterima Parlementaria, Jumat (04/08/2022). Ia menambahkan saat ini ancaman terjadinya stagflasi semakin nyata. Bahkan, bukan tidak mungkin, ancaman tersebut akan menghantam perekonomian nasional.

Hal itu dapat merujuk dari rilis IMF dalam World Economic Outlook (WEO) edisi Juli 2022 yang memangkas perkiraan pertumbuhan ekonomi global untuk 2022 sebesar 0,4 ppt menjadi 3,2 persen. “Beberapa faktor pendorong pemangkasan tersebut adalah, pertama adanya perlambatan ekonomi yang lebih tajam di Tiongkok akibat perpanjangan lockdowns, sehingga memperburuk gangguan rantai pasokan global,” tambah Andreas.

Faktor kedua, kata Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI tersebut, pengetatan likuiditas global terkait dengan kenaikan suku bunga acuan yang lebih agresif oleh Bank Sentral dari beberapa negara maju, seperti The Fed, ECB, dan Bank of England). Faktor ketiga adalah dampak dari perang Rusia-Ukraina yang berkepanjangan.

Baca juga :   Gak Ikut Pemilu? Puan Maharani: Rugi Dong!

Diketahui, Bank Sentral Amerika Serikat, The Fed, kembali menaikkan Fed Funds Rate (FFR) sebesar 75 bps dari 1,50 – 1,75 persen menjadi 2,25 – 2,50 persen pada FOMC Juli 2022. The Fed menegaskan kembali bahwa kenaikan FFR lanjutan masih diperlukan, dan akan tetap melanjutkan proses pengurangan balance sheetnya secara signifikan. “Target suku bunga The Fed akan berada pada 3,5 persen di 2022 ini dan kemungkinan mencapai peak-nya di semester I tahun 2023 sebelum kembali turun di semester II,” ucap Andreas.

Sementara, kata Andreas, ekonomi Tiongkok juga hanya tumbuh 0,4 persen year on year (yoy) di 2Q22, melambat tajam dari pertumbuhan 4,8 persen di Quartal 1 2022. Pertumbuhan tersebut adalah laju ekspansi paling rendah sejak kontraksi pada Quartal 1 2020 ketika awal pandemi Covid-19 terjadi. “Tantangan perlambatan ekonomi AS dan Tiongkok akan berdampak kepada kinerja ekspor di semester II ini dan 2023, terutama dikaitkan dengan kinerja ekspor industri manufaktur,” kata Andreas.

Baca juga :   Soroti Dugaan Disunatnya Anggaran Pelantikan Petugas KPPS, Mardani: Jangan Kurangi Haknya!

Selain itu, kata legislator dapil Jawa Timur V itu, perang Rusia-Ukraina yang tidak kunjung berakhir, dan kebijakan proteksi yang dilakukan berbagai negara dalam rangka melindungi kepentingan dalam negeri mereka menyebabkan rantai pasokan global terganggu. Stagflasi merupakan kondisi di mana pertumbuhan yang stagnan cenderung lemah sementara di sisi lain inflasi meroket. Stagflasi terakhir kali terjadi pada 1970-an.

Antara 1973 dan 1981, inflasi AS selalu di atas 6 persen dengan pengecualian pada 1976 (4,86 persen). Sementara inflasi di AS pada Juni 2022 ini meroket hingga 9,1 persen. “Dampak yang akan terjadi di Indonesia yang jelas adalah akan terjadi perlambatan pemulihan ekonomi nasional karena arus investasi diperkirakan akan kembali ke pasar AS dan nilai tukar rupiah akan tertekan,” kata Andreas.

Dengan demikian ancaman melonjaknya pengangguran, merosotnya daya beli masyarakat serta kenaikan harga akan sulit dihindari. Situasi ini akan diperburuk dengan munculnya berbagai problem sosial seperti meningkatnya kejahatan.

Baca juga :   FGD DPR-ITB, Agung Budi Santoso Tekankan Pentingnya Pembentukan RUU Satu Data

What's your reaction?

Related Posts

1 of 3,789

Leave A Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *