Oleh : Prof Dr. Hafid Abbas (Mantan Ketua Komnas HAM RI)
Sejak Oktober 2023, kasus pelaksanaan ferienjob di Jerman telah muncul ke publik dan hingga kini kasusnya belum selesai dan terus mendapat perhatian publik. Segala permasalahan dari 39 perguruan tinggi yang melibatkan 1047 mahasiswa (TEMPO 28/03/2024) telah diliput oleh media dalam dan luar negeri secara amat masif.
Ferienjob merupakan program kerja bagi mahasiswa pada masa liburan semester, bukan pada masa perkuliahan. Ferienjob tidak pernah bermitra dengan Kemendikbudristek karena merupakan program magang ketenagakerjaan (non akademik) dan bukan program magang akademik dan tidak pernah menjadi bagian dari program Merdeka Belajar Kampus Merdeka.
Kasus permasalahan fereinjob ini muncul setelah terdapat pengaduan yang disampaikan oleh empat mahasiswa di KBRI Berlin dan di Kepolisian dari satu di antara 39 perguruan tinggi yang mengikuti program Ferienjob, yaitu:
Satu orang mahasiswa yang memiliki komorbid dan mengalami sakit akibat kelelahan fisik maupun mental, dan dirawat di Rumah Sakit yang berakibat pada pemutusan kerja sepihak;
Satu orang mahasiswa yang akhirnya diberhentikan karena jenis pekerjaan yang tidak sesuai dengan yang dijanjikan;
Satu orang mahasiswa yang merasa tidak nyaman karena tantangan dan resiko terkait kondisi kerja, finansial dan sosial yang tidak dijelaskan terlebih dahulu sehingga orang tua mahasiswa bersangkutan menyarankan berhenti dan kembali ke Indonesia; dan
Satu orang mahasiswa yang administrasinya sudah lengkap dan tinggal berangkat ke Jerman, namun karena adanya surat dari Plt. Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi Kemendikbudristek sehingga pihak Imigrasi melarang yang bersangkutan untuk berangkat ke Jerman.
Salah seorang dari empat orang mahasiswa yang dilaporkan TEMPO (26/03/2024) mengungkapkan kisahnya ketika di Jerman. Ia dua kali masuk rumah sakit dan kerja tak dibayar. Sepulangnya dari ferienjob di Jerman, mahasiswa ini masih menanggung utang dana talangan kampus sebesar Rp 25,8 juta yang belum bisa dibayarnya. Keluarganya juga berutang kepada kerabat untuk melunasi biaya rumah sakitnya Rp 30 juta.
Sebaliknya, oknum dari salah satu di antara 39 perguruan tinggi itu, selain memperoleh KUM untuk percepatan kenaikan pangkatnya, juga ia mendapatkan keuntungan material sebesar Rp48 juta. Uang itu adalah honor sebagai narasumber pada kegiatan Ferienjob (ANTARA,04/04/2024).
Sangat ironis, seperti dilaporkan Kompas, para mahasiswa itu telah dijadikan kuli, dieksploitasi dan ditelantarkan. Ini kisahnya.
“Delapan pemuda menggigil karena kuyup diguyur hujan saat berjalan kaki di tengah gelap dan suhu 4 derajat celsius di Hanover, Jerman, 19 Desember 2023. Mereka adalah para mahasiswa asal Indonesia.”
”Aku sampai nangis karena dingin banget dan super-capek. Malam itu aku habis kerja 11 jam nyortir buah, full berdiri, dan aku lagi datang bulan, kata RM saat dihubungi dari Jakarta, Minggu (24/3/2024).”
Berdarsarkan realitas dan pengaduan tersebut, Plt. Dirjen Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi Kemendikbudristek mengeluarkan Surat Edaran Nomor 1032/E.E2/DT.00.05/2023 yang mengimbau Perguruan Tinggi di seluruh Indonesia untuk menghentikan keikutsertaan mahasiswanya dalam program Ferienjob karena ditemukan indikasi pelanggaran yang akan merugikan hak-hak mahasiswa.
Wakil Presiden Ma’ruf Amin bahkan mengutuk perguruan tinggi yang ikut melaksanakan Ferienjob yang dinilai amat memalukan ((wapres.go.id, 02/04/2024). Demikian pula Komisi III dan Komisi X DPR RI, KBRI Jerman, Kemlu dan sejumlah kementerian dan lembaga terkait mendukung kerja keras Bareskrim Polri yang telah melakukan penyelidikan dan penyidikan secara profesional dan proporsional dengan kesimpulan:
Bareskrim Polri telah menetapkan 5 orang tersangka yang disinyalir sebagai agen/oknum yang memberangkatkan mahasiswa untuk mengikuti program ferienjob tersebut. Bareskrim Polri telah memeriksa 2 oknum dari salah satu perguruan tinggi di Jakarta, 1 oknum dari salah satu perguruan tinggi di Jambi dan 2 orang agen yang menangani program Ferienjob di Jerman.
Bareskrim Polri telah menetapkan para tersangka dengan dugaan Tindakan Pidana Perdagangan Orang (TPPO) karena telah memenuhi unsur proses, cara, dan tujuan sebagai berikut: Proses perekrutan melalui cara-cara yang tidak benar, seperti dengan memberikan informasi tidak benar dan pemalsuan dokumen; Para pelaku mendapat keuntungan dari proses perekrutan program Ferienjob; dan Mahasiswa mengalami kerugian, karena melakukan pinjaman dana talangan guna mengikuti program Ferienjob.
Selain Bareskrim Polri yang telah menetapkan para tersangka dengan dugaan kejahatan TPPO, Perguruan Tinggi yang telah terbukti mengirimkan mahasiswanya sebagai kuli ke Jerman melalui Ferienjob dengan motif untuk memperoleh keuntungan bagi institusinya sungguh patut diduga telah melakukan salah satu pelanggaran HAM seperti yang dirumuskan dalam Undang-undang Pengadilan HAM Nomor 26 Tahun 2000.
Mahasiswa adalah pihak yang lemah, tugasnya hanyalah belajar untuk memperoleh ilmu dan keahlian di kampusnya, namun jika pimpinan satu perguruan tinggi mengeksploitasi mereka dengan mengirimnya keluar negeri sebagai pekerja kasar, ini wujud penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) sehingga memungkinkan terjadinya kejahatan atas kemanusiaan (pelanggaran HAM berat) yang indikatornya: Kejahatan itu dilakukan secara terstruktur, seperti terlihat ada peran kunci Rektor, Wakil Rektor, Dekan, Ketua Program Studi, Dosen, hingga ke Koperasi atau pemberi dana talangan dalam satu garis komando pelaksanaan kebijakan dan perintah pimpinan; Kejahatan itu dilakukan secara sistematis, seperti terlihat ada perencanaan, ada MoU dengan pihak ketiga yang akan memberangkatkan para mahasiswa ke Jerman, ada sumber pendanaan dari Kampus, ada keuntungan yang akan diperoleh sebesar sekian persen dari eksploitasi mahasiswa itu, dan seterusnya; dan Kejahatan itu dilakukan secara masif, seperti terlihat mahasiswa direkrut dari berbagai fakultas, berbagai program studi, dan didukung oleh seluruh unsur pimpinan perguruan tinggi.
Jika ketiga unsur itu terpenuhi, Perguruan Tinggi dengan kewenangan Rektor sebagai representasi negara yang telah menyalahgunakan kekuasaannya maka rektornya dapat dinilai telah melakukan kejahatan atas kemanusiaan (crimes against humanity) meski korbannya hanya satu orang mahasiswa.
Jika ada pihak dari satu perguruan tinggi yang oknumnya (dosen atau pegawai) telah ditetapkan sebagai tersangka atau ditahan atau dikenakan wajib lapor maka pihak yang paling bertanggungjawab atas kasus itu adalah rektor atau pimpinan perguruan tinggi itu. Oknum bawahan hanyalah pelaksana otoritas pimpinan.
Namun, jika bawahan itu telah terbukti berinisiatif melaksanakan sendiri Ferienjob itu, pimpinan perguruan tinggi itu tetap harus bertanggungjawab karena telah melakukan pembiaran (act of omission) terjadinya satu kejahatan di depan matanya sendiri. Semestinya, pimpinan perguruan tinggi itu secara aktif melakukan kewajibannya untuk mencegah segala kemungkinan terjadinya begitu banyak korban bagi mahasiswanya sendiri.
Komnas HAM sesuai mandatnya dapat membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta untuk mengungkap upaya-upaya yang terstruktur, sistematis dan masif, dan pembiaran itu sehingga menelan begitu banyak korban.
Akhirnya, menarik direnungkan tuturan William Scott Downey, seorang ilmuwan dan pengamat peradilan AS di abad ke-20, “Law without justice is a wound without a cure” – Hukum tanpa keadilan bagai luka yang tidak akan pernah sembuh. Berilah keadilan bagi para korban, dan para dosen atau pegawai dari satu perguruan tinggi dengan menghukum pucuk pimpinan perguruan tinggi itu sebagai pihak yang paling bertanggungjawab atas terjadinya segala malapetaka Ferienjob itu.