Oleh : Prof. Dr. Hafid Abbas (Komisioner/Ketua Komnas HAM RI ke-8 (2012-2017)
Pada rezim Apartheid di Afrika Selatan, penduduk terbagi dalam empat kategori ras. Mereka yang berkulit putih, asal Eropah atau Belanda, meski jumlahnya sedikit, hanya sekitar 10% dari jumlah penduduk seluruhnya, dikategorikan sebagai warga negara paling tinggi derajatnya, mendapat semua keistimewaan. Selanjutnya, penduduk yang berkulit berwarna yang umumnya berasal dari Asia, atau dari India (15%), mereka mendapat keistimewaan-keistimewaan tertentu. Namun, penduduk asli mayoritas berkulit hitam (75%) diperlakukan sebagai warga negara kelas paling rendah, dididskriminasi, dibiarkan hidup miskin dan terbelakang.
Jika warga kulit hitam hendak ke pantai, misalnya ke Durban, di sana sudah ada papan pengumuman yang tertancap di bibir pantai bertuliskan:
“CITY OF DURBAN, under section 37 of the Durban Beach by Laws, this bathing area is reserved for the sole use of white race colour.” Kawasan pantai ini hanyalah diperuntukkan bagi warga berkulit putih, Demikian pula di daerah-daerah pantai lainnya, atau di daerah-daerah perkotaan atau di mana pun di Afrika Selatan, jika tempat-tempat itu dinilai strategis oleh warga kulit putih, maka penduduk asli yang menghuninya harus segera digusur paksa (forced eviction). Penggusuran itu diatur dalam Undang-undang Group Areas Act (1950). Mereka tidak boleh dibiarkan pula hidup di daerah yang berdekatan dengan pemukiman warga kulit putih.
Penggusuran itu umumnya dilakukan dengan alasan demi pelaksanaan pembangunan strategis sesuai dengan zonasi peruntukannya. Penggusuran dilakukan dengan melibatkan aparat negara, polisi dan tentara. Namun di balik ini semua itu ada kontraktor-kontraktor swasta yang sudah siap membangun lokasi itu pasca penggusuran. Sebelum dilakukan penggusuran, sudah ada pemberitahuan berupa penyebaran selebaran ancaman agar semua warga segara meninggalkan tempat tinggalnya. Ancaman dan intimidasi itu dilakukan sebelum memutus akses-akses mereka ke kebutuhan hidupnya sehari-hari, seperti air, jalan, dsb. Jika ada perlawanan dari warga, mereka diancam, ditangkap, dan dipenjarakan.
Dampak dari penggusuran paksa itu, ternyata amat fatal. Warga kulit hitam hidup terlunta-lunta, kehilangan sumber kebidupan, tidak punya lagi tempat tinggal, anaknya tidak sekolah, keadaan kesehatan fisik dan mentalnya memburuk, dsb.
Jika kawasan strategis itu sudah berhasil dieksekusi dan dibangun lagi, misalnya, satu perumahan mewah bagi kulit putih yang menghadap ke pantai. Di sana ditulis lagi satu papan pengumuman:
“DANGER!, Natives, Indians, Coloureds. If you enter at this Premises at Night. You will be listed as missing. Armed Guard Shoot on Sight Savage Dogs Devour the Corpse. You Have Been Warned” BAHAYA, bagi semua warga kulit hitam, Indian dan berkulit berwarna. Jika anda memasuki kawasan ini di malam hari, anda dianggap sebagai orang hilang. Disini ada Penjaga Bersenjata siap menembak anda, dan ada Anjing Buas yang siap memangsa mayat. Anda sudah diperinatkan.
Rumah-rumah mewah warga kulit putih di Cape Town mislanya, umumnya menghadap ke pantai, dilengkapi dengan garasi mobil dan garasi speedboard, dan landasan hellipad. Jika warga yang istimewa ini ingin melarikan diri atau melakukan penyeludupan, sangat mudah dilakukan, karena mereka hidup sangat eksklusif.
Pelanggaran HAM Berat di PIK-2 vs Ketentuan PBB
Mirip sekali modus kejahatan apartheid di Afrika Selatan dengan modus penggusuran paksa warga di PIK-2. Pada 31 Mei 2024 lalu, TEMPO mengangkat laporan investigatifnya di Proyek Strategis Nasional (PSN) PIK 2 yang diduga sebagai pencaplokan tanah warga dengan cara menguruk tanpa membayar lebih dulu.
Dalam video yang diperoleh Tempo, seorang warga yang sudah tua marah akibat tanahnya seluas 12 hektare diuruk. Dia mengaku belum pernah menjual tanah bersertifikat hak milik (SHM) tersebut, tetapi alat berat telah menggulung lahan dengan meratakannya secara paksa.
Kakek di Desa Muncung Kecamatan Kronjo, Kabupaten Tangerang, itu mengatakan tanahnya belum pernah dijual. SHM lahan pun masih tertulis atas namanya. Dia mengaku menolak tanahnya dihargai Rp40 ribu per meter persegi.
Jika kawasan PIK2 akan menjangkau 9 kecamatan di kabupaten Tangerang dan Kabupaten Serang seluas 100 ribu hektar dan menggusur paksa ratusan ribu warga (Jakartasatu, 02/09/2024), mengacu pada panduan PBB, tragedi penggusuran PIK2 adalah salah satu kasus pelanggaran HAM berat dan kejahatan apartheid terbesar di abad ini.
Dari perspektif HAM, kasus penggusuran paksa di PIK2 ini dinilai sebagai bentuk pelanggaran HAM berat dengan dasar berikut.
Pertama, merujuk pada Basic Priciples and Guidelines on Development-Based Eviction and Displacement A/HRC/18, paragraf ke-6, oleh Dewan HAM PBB (2009) dikemukakan:
Forced evictions constitute gross violations of a range of internationally recognized human rights, including the human rights to adequate housing, food, water, health, education, work, security of the person, security of the home, freedom from cruel, inhuman and degrading treatment, and freedom of movement.
Ketentuan PBB ini menyebut pemindahan paksa merupakan pelanggaran HAM berat yang diakui secara internasional, karena hak atas perumahan yang layak, makanan, air, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, kebebasan bergerak dan keamanan adalah hak asasi setiap orang. Penggusuran paksa adalah perlakuan tidak manusiawi dan perlakuan merendahkan martabat seseorang yang semestinya harus dimajukan, dipenuhi dan dilindungi oleh negara. Penggusuran harus dilakukan secara sah, hanya dalam keadaan luar biasa, dan sepenuhnya harus sesuai dengan aturan HAM internasional dan hukum humaniter.
Kedua, pada Fact Sheet No. 25/Rev.1 yang dikeluarkan oleh PBB pada 2014 tentang Pemindahan Paksa (Forced Evictions), dinyatakan bahwa: Forced evictions violate, directly and indirectly, the full spectrum of civil, cultural, economic, political and social rights enshrined in international instruments. Kasus pemindahan paksa warga di PIK 2 yang luasnya ratusan ribu hektar dinilai sebagai pelanggaran HAM berat baik secara langsung atau tidak karena menyentuh seluruh aspek hak sipil, budaya, politik dan sosial yang dilindungi oleh hukum HAM internasional.
Ketiga, merujuk pada Undang-undang No. 26/2000 tentang Pengadilan HAM penggusuran paksa bagi warga dari 9 kecamatan di kabupaten Tangerang dan kabupateng Serang agar berpindah dari tempat pemukimannya ke tempat lain (population transfer), pemaksaan eksodus masal, yang menyebabkan warga tercabut dari akar kehidupan sosial budaya dan komunitasnya.
Tanggung Jawab Negara
Sesuai dengan Prinsip-prinsip Dasar dan Panduan HAM internasional yang telah diadopsi oleh Dewan HAM PBB (A/HRC/18), disebutkan antara lain: Negara harus memastikan bahwa penyelesaian hukum yang efektif atau tepat tersedia untuk setiap orang yang mengklaim bahwa haknya atas perlindungan terhadap penggusuran paksa telah dilanggar atau terancam dilanggar; Negara harus menahan diri untuk tidak melakukan langkah-langkah retrogresif yang disengaja sehubungan dengan perlindungan de jure atau de facto terhadap penggusuran paksa; dan Negara harus mengakui bahwa terdapat larangan penggusuran paksa termasuk pemindahan sewenang-wenang yang mengakibatkan perubahan komposisi etnis, agama atau ras dari populasi yang terkena dampak.
Selanjutnya, negara harus memastikan bahwa penggusuran paksa hanya terjadi dalam keadaan luar biasa. Penggusuran harus dihindari semaksimalnya karena menimbulkan berbagagai ragam dampak buruk dari aspek HAM yang diakui secara internasional. Penggusuran paksa hanya dapat dibenarkan apabila: dibenarkan oleh dasar hukum yang mengikat; dilakukan sesuai dengan hukum HAM internasional; dilakukan semata-mata untuk tujuan memajukan kesejahteraan umum bagi warga miskin; dapat diterima akal sehat dan proporsional; dan, dilakukan setelah adanya kepastian perolehan kompensasi dan rehabilitasi penuh dan adil (paragraf 21).
Karenanya, penggusuran paksa warga di PIK2 tidak boleh dilakukan hanya atas dasar keinginan atau keputusan seorang Presiden, Menteri atau Bupati, tetapi harus didasarkan pada undang-undang. Jika penggusuran itu terpaksa harus dilakukan maka terlebih dahulu harus dipastikan bahwa dilakukan semata-mata untuk tujuan memajukan kesejahteraan umum bagi di kedua kabupaten itu, dan dapat dilakukan setelah adanya kepastian kesepakatan perolehan kompensasi dan rehabilitasi penuh dan adil.
Sekiranya satu negara abai mematuhi ketentuan internasional ini dalam melakukan penggusuran paksa bagi warganya, negara itu dapat menjadi musuh bersama masyarakat internasional.