Info KlikersOpiniSosial Budaya

Intoleransi Beragama dan Tanggungjawab Kita

Oleh : Haikal Fadhil Anam (Peneliti Agama dan Budaya)

Indonesia merupakan negara yang menjamin hak-hak kebebasan individu dalam keberagamaan dan kepercayaannya. Hal ini telah ditegaskan dalam Pasal 29 UUD 1945; Ayat (1) “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa”; Ayat (2) “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaan itu”.

Tidak hanya itu, bahkan dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) juga telah disepakati bahwa “Setiap orang berhak atas kemerdekaan berpikir, berkeyakinan dan beragama; hak ini mencakup kebebasan untuk berganti agama atau kepercayaan, dan kebebasan untuk menjalankan agama atau kepercayaannya dalam kegiatan pengajaran, peribadatan, pemujaan dan ketaatan, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, di muka umum atau secara pribadi.”

Sayangnya, idealitas berbanding balik dengan realitas yang ada dalam kehidupan keberagamaan masyarakat, jaminan kebebasan tersebut masih jauh dari kata sempurna dengan berbagai pelanggaran yang ada. Sebagai seseorang yang berasal dari Jawa Barat misalnya, saya sangat prihatin Provinsi Jawa Barat menempati posisi teratas sebagai provinsi paling intoleran di Indonesia dari hasil penelitian Setara institute.

Sebanyak 39 kali terjadi pelanggaran terhadap kebebasan beragama di Jawa Barat sepanjang tahun 2020. Dari Indeks keseluruhan pelanggaran kebebasan beragama di Indonesia-termasuk Jawa Barat di dalamnya-isu intoleransi menempati posisi paling atas kurang lebih 60% disusul dengan laporan penodaan agama 33%, penolakan tempat ibadah 17%, pelarangan aktivitas beribadah 8%, perusakan rumah ibadah 6%, kekerasan atas nama agama 5% dan penolakan kegiatan keagamaan 5%.

Baca juga :   Adang Darajatun Apresiasi Peran Aktif Kaum Perempuan Dalam Donor Darah

Selain itu, Indeks Kerukunan Beragama (IKB) di Provinsi Jawa Barat masih jauh di bawah IKB secara nasional yang mencapai 73,83%. Kementerian Agama merilis pada 2019, IKB di Jabar turun menjadi 68,5%. Kasubag Hukum dan Kerukunan Umat Beragama pada Kemenag Kanwil Provinsi Jawa Barat, Haidar Yamin Mustafa menuturkan, IKB di Jabar bahkan ada di urutan tiga terendah secara nasional.

Ini sangat memperlihatkan betapa masalah keagamaan di Jawa Barat khususnya intoleransi, konservatisme dan konflik antar umat beragama sangat tinggi. Ini hanyalah satu contoh provinsi yang merupakan bagian dari Indonesia, tentunya daerah yang lain banyak terjadi kasus-kasus intoleransi juga.

Tidak hanya secara realitas sosial dalam kehidupa nyata, nampaknya konservatisme dan intoleransi beragama juga merambah ke dunia maya atau digital. Pada tahun 2020 PPIM UIN Syarif Hidayatullah Jakarta merilis hasil penelitiannya yang berjudul “Beragama di Dunia Maya: Media Sosial Dan Pandangan Keagamaan di Indonesia”.

Baca juga :   Gelar Seminar Strategi Layanan Informasi di Era Global, Perpustakaan DPR Perkuat Kolaborasi di Kancah Internasional

Temuan penelitiannya menyebutkan bahwa adanya dominasi narasi paham keagamaan konservatif di dunia maya yang cenderung intoleran, dengan persentase narasi konservatif 67.2%, narasi moderat sebesar 22.2%, narasi liberal 6.1% dan narasi Islamis 4.5%. Ini jelas menjadi persoalan bersama mengapa kemudian narasi tersebut bisa menjadi yang dominan karena konsekuensinya yang cukup signifikan terhadap perilaku intoleran.

Indonesia juga memiliki memori yang memilukan terkait konflik agama. Pada tahun 1998-2000 terjadi konflik agama Islam dan Kristen di Poso yang begitu mengerikan menewaskan banyak orang. Selanjutnya, pada tahun 1999 juga terjadi konflik agama di Ambon antara Islam dan Kristen juga dipicu oleh pemalakan seorang muslim terhadap seorang Kristiani.

Pada tahun 2015 juga terjadi konflik Tolikara, dipicu oleh pembakaran sebuah masjid oleh para jemaat gereja Injil. Selain konflik-konflik di atas, masih banyak lainnya yang bahkan sampai sekarang masih sering terjadi seperti kekerasan terhadap aliran keagamaan yang berbeda seperti kepada Syiah dan Ahmadiyah. Sebut saja misalnya belakangan ini pada tahun 2021 ada pembakaran masjid Ahmadiyah di Sintang.

Baca juga :   Meski Logistik Pemilu Datang Terlambat, Pelaksanaan Pemilu di Pondok Pinang Tetap Lancar

Tentunya, kita tidak ingin memori lama itu kembali terjadi lagi saat ini. Ditambah lagi dengan melihat data-data di mana perilaku intoleransi meningkat lagi. Ini menjadi lampu kuning bagi kita untuk memikirkan bersama penyelesaiannya. Salah satu solusi yang paling efektif adalah kampanye toleransi secara digital. Kita yang memiliki paham dan pemikiran yang lebih toleran harus selalu terus menerus mengkampanyekan nilai-nilai toleransi.

Setidaknya ada dua metode kampanye digital saat ini; kontra-narasi atau narasi alternatif. Kontra-narasi adalah dengan memberikan narasi-narasi yang kontra terhadap narasi-narasi yang penuh intoleran. Kita mendebat dan menggugatnya secara argumentatif terhadap narasi-narasi intoleran. Sedangkan narasi alternatif adalah kita memberikan sajian wacana dan perspektif lain tentang narasi yang hangat khususnya untuk memberikan alternasi pada narasi intoleran.

Dengan begitu, mimpi buruk konflik khususnya agama tidak akan terulang lagi di negara Indonesia ini. Lebih lagi, tahun 2022 ini dinobatkan sebagai tahun toleransi. Tentunya, agenda-agenda kampanye toleransi ini harus dimassifkan dan ini menjadi tanggungjawab kita bersama sebagai warga masyarakat yang peduli akan kehidupan yang harmonis berkelanjutan

What's your reaction?

Related Posts

1 of 1,844

Leave A Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *